Monday, August 17, 2009

Anne of Green Gables

Ini adalah tentang kehidupan yang indah, penuh warna, menggairahkan, dan penuh cinta. Itulah kesan yang kudapat selama membaca buku ini. Buku yang bercerita tentang si yatim piatu berambut merah yang berpembawaan ceria, ceriwis, begitu mencintai alam, dan memiliki daya imajinasi yang tinggi dan hidup. Semangat dan keceriaannya cenderung meluap-luap, dan kehadirannya selalu membuat orang di sekitarnya gembira. Itulah Anne.

Awalnya, Avonlea adalah sebuah dusun pertanian kecil dengan pemandangan yang indah, namun dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Terutama di pertanian Green Gables yang dihuni oleh kakak beradik yang sudah setengah baya, Matthew dan Marilla Cuthbert. Mereka berdua tidak menikah, dan rumah mereka terasa sepi dan dingin. Sampai suatu ketika, Mrs. Rachel Lynde melihat sesuatu yang aneh. Pagi-pagi benar Matthew Cuthbert pergi naik kereta dengan berkemeja rapi. Di desa yang kecil, di mana kehidupan penghuninya sudah terjadwal, perginya Matthew membuat heran Mrs. Rachel. Maka ia mengunjungi Marilla. Dan dari mulut Marilla meluncurlah berita heboh: Matthew pergi ke stasiun menjemput seorang anak lelaki dari Panti Asuhan!

Ya, Matthew butuh seseorang untuk membantunya di pertanian, maka mereka titip pesan pada Mrs. Spencer untuk membawakan seorang anak lelaki dari panti asuhan. Pagi itu, ketika Matthew tiba di stasiun, yang ia dapati hanyalah seorang anak perempuan berpakaian lusuh, wajah pucat berbintik-bintik dan rambut merah. Rupanya ada kesalahpahaman dengan Mrs. Spencer! Tapi, si anak perempuan sudah terlanjur kegirangan mengetahui bahwa ada keluarga yang menginginkannya, sehingga ia tak perlu menetap di panti. Maka, diajaknyalah si anak perempuan itu pulang oleh Matthew. Sebagian karena ia tak tega meninggalkannya begitu saja di stasiun, dan sebagian lagi karena karakter unik si anak perempuan.

Bayangkan, sepanjang perjalanan naik kereta itu ia menyerocos terus. Begitu melihat pohon ceri dan birch yang berbunga putih menjulur agak rendah ke jalan, Anne bisa membayangkan cadar halus putih seorang pengantin! Benar-benar imajinasi yang hebat! Dan itulah yang akan anda baca dan rasakan di sepanjang buku ini.

Awalnya, Marilla tak dapat menerima kehadiran Anne. Namun, mau tak mau diakuinya juga bahwa Anne telah sedikit demi sedikit memberi warna dalam kehidupannya yang tadinya membosankan. Maka akhirnya Marilla pun luluh, dan berniat tetap mengadopsi Anne. Anne begitu bahagia dengan keputusan itu, dan ia berusaha keras untuk memuaskan Marilla. Masalahnya, ia terlalu banyak berkhayal. Ketika disuruh melakukan tugas rumah tangga, ia begitu rajin awalnya. Namun, di tengah-tengah pekerjaannya pikirannya akan melantur kemana-mana saat ia memandang ke arah pepohonan, misalnya. Dan akhirnya ada saja tugas yang ia lupakan.

Waktu Anne mulai masuk sekolah, Marilla menjahitkannya gaun-gaun yang amat sederhana (dan membosankan buat anak kecil). Padahal yang diinginkan Anne adalah gaun dengan lengan model menggelembung yang waktu sedang populer.

Lalu Anne menemukan seorang sahabat, yang ia sebut sebagai ‘belahan jiwa’, seorang anak bernama Diana. Rumah Diana terletak di pertanian di seberng Green Gables, tapi jendela kamar tidur Diana bisa dilihat oleh Anne dari kamarnya sendiri. Kedua gadis kecil ini sering mengirimkan isyarat berupa kilatan sinar senter (mirip kode morfe). Kalau salah satu dari mereka melihat signal ini, maka ia akan segera bergegas ke rumah yang lain, karena pasti si pengirim signal memiliki berita penting untuk diberitahukan pada yang lain.

Begitulah, kedatangan Anne ke Avonlea ternyata membawa banyak perubahan pada hidup di sekitarnya. Ia adalah virus keceriaan di sebuah dusun yang membosankan, warna-warna yang hidup pada selembar kain putih yang menjemukan. Anne adalah seseorang dengan emosi yang meluap-luap. Ia bisa menjadi sangat antusias pada suatu rencana yang indah, namun bisa dengan cepat menjadi putus asa saat keinginannya tak tercapai.

Ada seorang anak laki-laki bernama Gilbert Blythe yang cerdas tapi senang mengusili Anne. Anne jengkel sekali padanya ketika Gilbert memanggilnya ‘wortel’. Anne sangat sensitif kalau mengenai warna rambutnya yang semerah wortel. Ia bisa sangat tersinggung, seperti halnya reaksinya terhadap Gilbert. Alhasil, ia memusuhi Gilbert selama sekolah, dan bersaing dengannya dalam hal prestasi, karena ia dan Gilbert sama pintarnya di kelas.

Ketika sekolah hampir berakhir, dalam sebuah adegan ‘penyelamatan’ di sungai, Gilbert meminta maaf pada Anne bahwa ia dulu mengoloknya. Anne merasakan debaran aneh jantungnya, tapi harga diri yang tinggi membuatnya menolak mentah-mentah ajakan Gilbert untuk kembali berteman.

Pada akhir tahun pelajaran, mereka berdua (Anne dan Gilbert) beserta beberapa murid lain mengikuti ujian masuk ke Akademi Queen di kota. Sayangnya orang tua Diana tidak mengijinkan anak mereka untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anne akhirnya menjadi nomor satu dalam ujian itu, dan ia pun bersiap-siap untuk melanjutkan pendidikan di Queen.

Di Queen, Anne belajar dengan tekun dan berusaha untuk melupakan home-sicknya. Ia mendengar bahwa Queen akan memberikan sebuah beasiswa Avery, untuk menempuh pendidikan di sebuah universitas di Inggris. Namun Anne lebih terpacu untuk mengejar medali emas. Dan di penghujung masa belajar di Queen, ketika Anne pulang untuk berlibur di rumah, ia begitu yakin akan masa depan cemerlang yang terbentang di depannya ketika ia ternyata justru memenangkan beasiswa Avery (sedang medali emasnya direbut saingan beratnya, Gilbert). Anne begitu bahagia terutama karena Matthew, yang sudah mulai menua dan sakit-sakitan, malam itu mengungkapkan pada Anne bahwa ia sangat bangga pada pencapaian Anne.

Namun, seperti dalam kehidupan manapun juga, duka itu datang dengan sangat tiba-tiba. Sang malaikat maut menjemput Matthew Cuthbert. Maka kini tinggallah mereka berdua, Marilla dan anak angkatnya, Anne. Apakah yang akan dilakukan Anne? Tetap pergi ke kota untuk meraih cita-cita tertingginya dan meninggalkan Marilla sendirian? Ataukah ia menemani Marilla dan melepas impiannya?

Apapun penutup kisahnya, Anne of Green Gables memang menyediakan keindahan dan kisah yang penuh cinta di setiap kata dan kalimatnya. Bukan sebuah masterpiece seperti To Kill A Mocking Bird atau Harry Potter, namun tetap sebuah bacaan yang akan membuat hati ini gembira demi melihat keindahan dan merasakan cinta!

Judul : Anne of Green Gables
Pengarang : Lucy Montgomery
Penerbit : Qanita, 2008
Harga : Rp 50.150,- (toko buku online)

Monday, August 3, 2009

The Adventure of the Christmas Pudding

Membaca sinopsis novel ini sudah cukup untuk membuatku memutuskan tuk membeli buku ini. Kenapa? Apakah karena ceritanya yang tegang? Bukan! (kan aku belum baca?) Pertama-tama karena ada nama Hercule Poirot di sinopsis itu, dan kedua karena ada ‘pudding natal’. Alasan yang romantis ya? Entah kenapa, aku suka dengan novel-novel yang menceritakan dengan detail tentang makanan. Apalagi makanan ala Inggris, Perancis atau Italy. Masih ingat kan dengan Lima Sekawan? Aku paling suka dengan bagian ketika mereka akan piknik, dan dari rumah dibekali dengan makanan yang (kedengarannya) enak-enak itu. Membacanya saja sudah bikin aku ngiler.

Nah, ternyata aku tidak salah. Novel ini adalah kumpulan cerita misteri. Cerita utamanya berjudul Skandal Perjamuan Natal, dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya. Settingnya adalah pas hari Natal, dengan perjamuan ala Inggris kuno dengan ayam isi, kalkun, dan pudding plum dengan saus kental yang dicampuri sedikit brandi. Tuh kan...bikin ngiler ga?

Aku jadi teringat pada perayaan Natal khas keluarga kami waktu aku kecil dulu. Sorry ya tante Agatha, cerita tante aku ulas belakangan, abis pengen share dulu kenangan indah masa kecilku pas Natal...

Waktu aku umur 10-12 tahunan, kondisi keuangan keluarga kami sudah mulai membaik, namun waktu itu kami belumlah serius menjalankan ibadah kami. Kami menganggap Natal sebagai sebuah pesta kecil keluarga yang harus dirayakan. Perayaan itu selalu jatuh pada malam Natal, yakni tgl. 24 Desember. Beberapa hari sebelumnya kami sudah mengeluarkan pohon Natal plastik beserta semua mainannya, lampu-lampunya dan hiasan lainnya. Jaman itu, belum ada pohon Natal yang langsung jadi, melainkan harus dirakit. Perakitan itu kami kerjakan bersama-sama, aku, mama dan papaku. Dari batangnya dulu, lalu menancapkan kelompok daun-daun cemaranya. Habis itu melilitkan lampunya, lalu menggantung mainan-mainannya, dan terakhir menancapkan bintang besar di puncak cemara. Setelah selesai, kami akan mencoba menyalakan lampu-lampu Natalnya untuk mengecek apakah ada bolam yang mati dsb. Pohon Natal itu lalu kami letakkan di meja sudut di ruang tamu kami.

Untuk hidangan malam Natal, mamaku biasanya memasak sendiri, dibantu oleh pembantu setia kami waktu itu. Sedang untuk kue Natal, kami memesan di toko kue. Kue Natal itu sangat khas, namanya Kerstkraans (dalam bahasa Belanda, artinya ‘lingkaran Natal’). Sesuai namanya, kuenya berbentuk seperti donat, bulat dengan lubang di tengah. Diameternya sekitar 24 cm. Tekstur kuenya agak kering, mirip dengan Sosisbroot (bener ga ya tulisannya?). Bedanya kalo sosisbroot diisi daging, Kerstkraans ini diisi kacang tanah dan almond yang digiling halus. Lalu bagian luar kuenya diberi lapisan gula dan ada taburan kismis dan manisan kulit jeruk. Enak sekali deh rasanya!

Biasanya tgl. 24 sore, setelah mandi kami langsung mengenakan baju bagus. Heran ya, pesta sendiri di rumah tapi pake baju bagus? Begitulah tradisi kami. Lalu ketika hari mulai gelap, sekitar jam 6 kami mulai menutup korden (biar ga diganggu tamu!), mematikan lampu ruang tamu, lalu memasang lampu pohon Natal. Wow...sampai sekarang pun aku paling suka ngeliat lampu-lampu kecil berwarna warni yang bergantian berkerlap-kerlip itu. Rasanya ada suasana yang damai dan ayem. Oh ya ada yang kelupaan. Biasanya sebelum hari H kami juga telah menyiapkan kado-kado. 2 buah kado untuk masing-masing orang, jadi total ada 6 kado, yang akan dibungkus kertas kado, lalu ditaruh di kaki pohon Natal. Tentu saja kado-kado itu bukan barang-barang yang mahal. Cuma kotak pensil buatku, atau sebuah buku buat papa, atau seperangkat cermin dan sisirnya untuk mama. Memang semuanya hanya untuk fun saja.

Nah, diiringi dengan lagu-lagu Natal yang syahdu dari kaset, kami mulai makan kue Natal (biasanya sudah kami potong-potong lalu disajikan di dua piring berbentuk daun). Lalu kami saling bertukaran kado, membuka kado, sambil ngobrol. Kadang-kadang papaku yang hobi fotografi, mengabadikan momen-momen ini dengan kameranya. Lalu ketika sudah pk 7, atau ketika kami sudah mulai lapar, kami akan pindah ke ruang makan. Hidangannya biasanya Sup Merah, disajikan di mangkuk-mangkuk kecil, lengkap dengan sepotong roti tawar untuk dicelupkan ke kuah sup. Saat-saat ini biasanya mamaku mengeluarkan perangkat makan spesial, hadiah perkawinannya dulu (hebat ya barang pecah belah jadul, tahan sampai bertahun-tahun). Kemudian disambung dengan satu hidangan utama. Favoritku adalah Spaghetti Bolognese (hidangan utama bisa berbeda-beda tiap tahun). Harus kuakui, resep Spaghetti milik mamaku ini yang paling top dibanding dengan milik restoran manapun!.

Setelah itu kami cuma ngobrol-ngobrol di ruang tamu lagi sambil terus mendengarkan lagu Natal (dan aku menonton lampu Natal sambil terus terpesona..). Setelah perut tidak terlalu kenyang, kami makan Longans kalengan yang diberi es batu. Hmmm...nikmat. Dan itulah perjamuan Natal ala keluarga kami. Memang tidak seru karena cuma bertiga, namun momen-momen itu begitu menggoreskan kenangan bagiku yang selalu kuingat sampai kapanpun.

Saat aku telah dewasa, dan ortuku mulai ‘bertobat’, kami lebih mementingkan malam Natal untuk mengikuti misa di gereja. Pohon Natal tetap ada, tapi yang langsung jadi dan ukurannya kecil. Tapi ritual itu sudah tak pernah kami lakukan lagi....

Nah, sekarang kembali pada Perjamuan Natal ala Inggris kuno, dimana Hercule Poirot diundang untuk melacak permata batu delima yang hilang, tentu saja di novelnya tante Agatha, bukan di rumahku yak! Anehnya sebelum perjamuan, Poirot mendapat peringatan untuk tidak makan pudding plum yang akan dihidangkan. Ada ritual yang unik dalam cerita ini yang berkaitan dengan hidangan khas Natal itu, pudding Natal. Dalam pudding akan disisipkan kancing baju, cincin dan uang logam. Kalo pas makan seseorang dapet kancing, berarti ia akan jadi perjaka seumur hidup (kebetulan yang dapet Poirot!! Cocok kan?), yang dapet cincin mungkin akan menikah ya? Yang tak disangka-sangka dan jelas tak ada dalam tradisi, si tuan rumah malah menggigit batu delima yang hilang itu.

Lebih seru lagi, beberapa anak muda di pesta itu ingin memberikan lelucon buat Poirot dengan sandiwara pembunuhan. Salah satu dari mereka pura-pura menggeletak jadi mayat, pake cat merah yang menyerupai darah dan ada jejak-jejak kaki juga di atas salju. Tentu saja Poirot takkan terkecoh, justru para anak muda itu yang gantian melongo ketika mendapati bahwa si ‘mayat’ benar-benar seperti sudah tak bernyawa! Pemecahannya ternyata simpel sekali, karena memang ini sebuah kisah misteri ringan. Tapi tetap saja menarik!

Yang jauh lebih menarik justru kisah kedua. Masih bertokoh-kan Hercule Poirot, kisah yang berjudul Misteri Peti Spanyol ini sangat menarik. Ada intrik cinta dan cemburu, dan pembunuhannya sendiri mirip sebuah seni. Seperti biasa khas Agatha, tak ada darah-darah atau ledakan yang sensasional. Hanya seonggok mayat yang ditemukan di sebuah peti besar di sebuah rumah. Padahal selama itu, ada lima orang lainnya yang sedang berpesta, minum-minum dan dansa-dansi di ruangan di mana peti itu berada. Padahal, si korban: Arnold Clayton juga diundang ke pesta itu, namun tak bisa datang.

Jika saja Poirot tidak tergelitik untuk memecahkan misteri kasus ini, sang tuan rumah: Mayor Rich atau pembantunya akan langsung dihukum karena pembunuhan. Habis, siapa lagi yang mungkin membunuh si korban dan memasukkannya ke dalam kotak? Namun..apa benar mereka melakukannya? Di sinilah kecerdikan Poirot akan diuji. Dan seperti biasanya juga, tante Agatha selalu membeberkan semua fakta dengan gamblang. Tinggal kitalah yang ditantang untuk beradu kepintaran dengan Poirot (atau dengan tante Agatha tepatnya?). Ah..aku menyerah deh! Mending menikmati saja kisah pembunuhan berseni ini.

Sebenarnya ada 4 kisah lagi dalam kumpulan cerita ini, selain 2 kisah utama itu. Hercule Poirot muncul di tiga kisah diantaranya, dan sebuah kisah - yang diibaratkan tante Agatha sebagai makanan pembuka pada sebuah jamuan Natal. Kisah ini, Greenshaws’ Folly, adalah satu-satunya kisah Miss Marple di kumpulan cerita ini. Tapi, untuk menutup postingku ini, aku hanya akan beberkan sebuah kisah yang menurutku cukup menarik dari judulnya: Buah Blackberry. Mungkin anda akan teringat pada gadget yang sekarang lagi beken, tapi sebenarnya aku mengharap ada cerita-cerita tentang makanan lagi. Hehehe...Dan ternyata memang benar.

Kali ini Poirot tergelitik pada kebiasaan seorang tua nyentrik yang suka makan di restoran yang sama selama 10 tahun. Harinya selalu Selasa dan Kamis, waktunya selalu setengah delapan malam. Menunya juga selalu sama. Info ini ia dapat ketika sedang makan ayam kalkun isi kenari (tuh..benar kan, makanannya mengundang selera?) bersama sahabatnya di resto yang sama. Si pelayan bingung, karena si tua pernah sekali ke resto itu pada hari Senin, dan memesan makanan yang tak biasa: sup tomat kental (padahal ia tak pernah pesan sup kental), dan juga kue tar buah blackberry, padahal tak pernah suka blackberry selama ini.

Sahabat Poirot, seperti mungkin banyak orang lain, akan menganggap enteng sesuatu yang di luar kebiasaan ini. Mungkin si tua sedang gundah, jadi tidak sadar akan apa yang dipesannya. Padahal menurut Poirot, orang yang sedang gundah justru akan secara otomatis melakukan sesuatu yang biasa ia lakukan, ia takkan ingin mencoba sesuatu yang baru. Masuk akal juga teori psikologis ini! Maka ketika si tua dikabarkan menginggal di rumahnya karena jatuh dari tangga, Poirot langsung curiga bahwa si tua dibunuh. Hebat kan? Mencurigai sebuah pembunuhan hanya karena kue tar blackberry? By the way, tahukah anda kalo buah blackberry itu membuat gigi menghitam? Satu lagi pelajaran dari tante Agatha kita yang tersayang. Bagi Poirot, itu salah satu cara menemukan pembunuh di kisah ini...

Akhirnya, kalo anda tertarik dengan buku ini, cepetan aja mencarinya karena kayaknya agak langka di toko buku. Ini rinciannya:

Judul buku: Skandal perjamuan Natal (The Adventure of Christmas Pudding)
Pengarang: Agatha Christie
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Halaman: 352
Harga: Rp 31.875,- (setelah diskon 15% - bukabuku.com)


Wednesday, July 1, 2009

To Have And Have Not

Ernest Hemingway adalah salah seorang penulis sastra besar di dunia. Sampai saat ini aku hanya familiar dengan nama dan reputasinya, namun belum pernah sekalipun menikmati karyanya. Maka, begitu menemukan bukunya yang berbahasa Indonesia ini, aku ingin sekali menjajalnya. Ternyata, memang seperti yang kubayangkan, ini adalah bacaan berat. Berat dalam arti tidak hanya melibatkan logika dan imajinasi, namun juga ‘rasa’, khas karya-karya sastra murni. Kalau pada novel-novel modern kita pada umumnya disuguhi hal-hal yang indah atau spektakuler, kisah sastra biasanya membumi. Mengupas pergulatan hidup orang-orang biasa dengan hal-hal biasa pula. Disitulah keahlian si penulis akan ditantang untuk meramu hal-hal biasa itu menjadi menarik.

Membaca karya sastra, bagiku tak dapat dilakukan sepintas lalu. Ini jelas bukan bacaan penghantar tidur atau pembuang waktu luang. Meski Hemingway menggunakan kalimat-kalimat pendek yang mudah dimengerti, namun banyak metafora di dalamnya yang kadang sulit dipahami. Butuh dua-tiga kali mengulang, baru aku mendapatkan sedikit gambaran tentang apa yang dimaksud. Berbicara tentang alur dan ending, keduanya tak sehebat dalam fiksi populer. Karena mungkin yang dipentingkan adalah nilai-nilai kehidupannya. Berikut ini kira-kira yang dapat aku simpulkan dari buku ini. Mungkin anda yang juga membacanya akan punya pandangan lain? Sah-sah saja...

To Have And Have Not berpusat pada pergulatan hidup tokoh Harry Morgan, seorang nelayan yang sekaligus berbisnis penyewaan kapal. Penjelasan Hemingway yang begitu detail tentang kapal, memancing dan kehidupan keras para pelaut ini sesuai dengan kecintaannya akan laut. Setting kisah ini di Havana, Kuba.

Bagian I mengilustrasikan banyaknya orang Kuba yang tak tahan dengan keadaan di negaranya, dan ingin menyelundup masuk ke Amerika. Untuk itu mereka hendak menyewa kapal Harry dengan bayaran yang lumayan menggiurkan, namun ditolaknya karena resikonya juga besar: penjara dan kehilangan kapalnya. Begitu para calon penyewa yang ditolak ini keluar dari bar tempat mereka bertemu, ketiga orang Kuba itu langsung disambut oleh insiden penembakan. Tak jelas siapa yang menembak dan mengapa, namun ilustrasi itu cukup memberi gambaran pada kita akan carut-marutnya keadaan di Kuba.

Harry lalu menyewakan kapal pada seorang wisatawan yang mau memancing. Di sini tampak keahlian Hemingway dalam hal mengemudikan kapal dan memancing. Dengan cermat digambarkannya tiap adegan dalam petualangan memancing ini, sambil kita bisa belajar trik-trik memancing. Bagiku, inilah bagian yang paling kusukai dan menghibur dari buku ini. Hemingway membuat kita terhanyut, seakan turut merasakan hempasan angin laut menerpa wajah kita, bau air laut, dan memandang bayangan ikan di antara gelombang air yang biru jernih. Lihat juga penggambaran Hemingway tentang sosok ikan besar yang sempat memakan umpan si penyewa kapal,

Lalu kulihat sebuah suara deburan keras seperti ledakan bom di kedalaman, lalu tampak mata, rahang terbuka dan kepala hitam pekat-besar seekor marlin hitam. Sirip atasnya yang mencuat ke permukaan air tampak seperti layar terkembang, dan ekor belakangnya yang melengkung menghempas umpan tuna. Bibir moncongnya setebal tongkat bisbol dan mendongak ke atas, dan ketika dia memangsa umpannnya dia berkecipak membelah permukaan air lebar. Warnanya hitam pekat dan matanya sebesar mangkuk sup. Ukurannya sangat besar. Kukira beratnya sekitar seribu pon.

Lihat kan? Hanya sastrawan dan penulis bagus lah yang akan bisa mendeskripsikan seekor ikan besar berwarna hitam seberat seribu pon sampai bisa sedetil itu, hingga kita jadi punya perasaan takjub dan seolah melihat dengan mata kepala sendiri kejadian ikan yang sedang memakan umpan itu!

Johnson, si penyewa kapal bukanlah pemancing kawakan, sehingga sudah tiga minggu berlayar mereka belum juga mendapat tangkapan besar. Namun, yang paling mengesalkan, Johnson akhirnya melarikan diri tanpa membayar sepeser pun pada Harry yang sudah terlanjur bokek, dan sebenarnya mengharapkan uang hasil sewa itu untuk memberi nafkah keluarganya. Habis sudah harapannya!

Setelah boleh dibilang bangkrut, seorang sahabat Harry menawarkan pekerjaan. Kali ini Harry berurusan dengan seorang Cina bernama Tuan Sing. Ia hendak menyewa kapal Harry untuk menyelundupkan beberapa orang Cina keluar dari Kuba. Tarif sewa pun disepakati, $1200. Uang muka $200, sisanya pada saat para penumpang sudah terangkut. Resikonya tetap: 10 tahun penjara. Namun, bisakah anda bayangkan seorang nelayan yang sudah bangkrut akan menampik tawaran ini? Bayangan akan istri dan dua anak perempuan yang manis-manis yang sedang menunggu ayah mereka pulang untuk membeli makanan dan membayar uang sekolah, mau tak mau membuat pria mana pun menjadi nekat.

Maka kesepakatan dibuat, pelayaran akan dilakukan malam hari. Harry akan menjemput di sebuah tempat yang disepakati di perairan. Awalnya Harry berencana akan berangkat sendiri, namun Eddy si pemabuk, yang biasa membantunya ngotot ingin ikut, walaupun tak terdaftar dalam manifes (daftar penumpang).

Sekilas nampaknya semua baik-baik saja, sampai pada bagian di mana Harry diam-diam menyiapkan senjata api yang biasa ia sembunyikan di ruang bawah kapal. Kedua senapan dan pistol itu ia isi pelurunya, memberikan 1 pistol kepada Eddy lalu menunggu malam tiba...Bakal ada apa nih?

Ternyata memang Harry sudah merencanakannya dari awal. Ia merencanakan untuk membunuh Tuan Sing segera setelah semua penumpang sudah masuk kapal dan uang sudah berpindah tangan. Waktu Eddy bertanya mengapa? Harry menjawab karena Tuan Sing terlalu gampang setuju pada negosiasi mereka, dan itu mencurigakan. Tapi mengapa dibunuh? Agar tidak membunuh 12 orang penumpang lainnya. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Aku sendiri tak mengerti!

Bagian II gaya penulisan agak berubah. Kalau di bagian I Hemingway menuliskan tokoh Harry dari sisi orang pertama, di bagian II ditulisnya dari sisi orang ke 3. Cerita langsung bergulir ke kondisi di kapal Harry setelah ia dan seorang negro asistennya mengalami kesialan gara-gara mengangkut liquor (miras), yang jelas-jelas melanggar hukum. Si negro tertembak, begitu juga Harry. Yang terakhir tertembak lengannya. Saat mereka mencoba membuang liquor ke laut, ada sebuah kapal berpapasan dan melihat aksi tersebut dan akan melaporkan ke pihak berwajib. Bagian ini berakhir dengan sangat singkat, yakni saat Harry pulang ke rumah setelah membuang semua liquor.

Lalu cerita masuk ke bagian III. Yang cukup membingungkan di sini adalah gaya penulisan berganti arah lagi. Harry bukan sebagai orang pertama, namun ada tokoh baru yang sampai agak ke tengah baru terungkap jati dirinya, dan kisah ini diceritakan dari sisinya. Di bagian ini diceritakan Harry terpaksa dipotong lengannya akibat tertembak di cerita bagian II. Kapalnya pun disita oleh pegadaian. Namun, karena mendapat order baru dengan nilai yang menggiurkan, Harry kembali menjalani perjalanan yang mendebarkan dan sangat berbahaya. Ia sampai begitu gelisah pada malam sebelum berangkat. Namun, demi keluarganya, bagi Harry pekerjaan ini adalah pertaruhan yang seimbang.

Di lain pihak, terpisah dari kisah Harry, diceritakan juga beberapa keluarga kaya yang tinggal di yacht-yacht terpisah yang bersandar di sebuah pangkalan. Ternyata di balik kemewahan yacht-yacht itu tersimpan cerita-cerita pilu para penghuninya. Cerita keserakahan, perselingkuhan, penyakit kronis, dan semua ketidak-bahagiaan lainnya. Kalau menilik pada judul buku ini, To Have and Have Not, mungkin Hemingway mau menunjukkan kenyataan dalam hidup. Baik yang kaya maupun yang melarat, semuanya bergulat dengan masalahnya masing-masing. Saat yang melarat merasa terdesak urusan perut dan tak melihat jalan keluar, mereka dapat menjadi kalap. Sedang yang serakah dapat meninggalkan moralnya saat ia tak dapat mengendalikan keserakahannya. Hasil keduanya sama: ketidak bahagiaan...

Kembali pada tokoh utama kita, Harry, si nelayan buntung. Akan berhasilkah ia dalam pekerjaan kali ini? Dan pekerjaan apakah itu yang lebih berbahaya daripada pekerjaan-pekerjaannya yang lalu? Kalau anda menyukai atau merasa tertantang dengan bacaan sastra macam ini, anda bisa langsung membacanya. Yang jelas, aku sekarang sudah tahu bahwa untuk membaca sastra, diperlukan permenungan selain pemahaman. Baru saat aku menulis posting ini, pahamlah aku akan apa makna yang Hemingway inginkan kita untuk menemukannya. Endingnya gimana, Fan? Mungkin ada yang bertanya begitu? Ah..itu tak terlalu penting, karena Hemingway hanya ingin anda menemukan makna terdalamnya saja. Buat anda...selamat mencari dan menemukannya!!

Judul: To Have And Have Not
Pengarang: Ernest Hemingway
Penerbit: Selasar
Terbit: Februari 2009
Tebal: 288 hlm

Sunday, January 25, 2009

Catatan Harian Anne Frank



Inilah sebuah diary paling sensasional yang pernah diterbitkan secara luas. Anne Frank adalah seorang gadis remaja berusia 13 tahun, yang karena invasi Jerman atas Belanda, dan karena pembersihan atas etnis Yahudi pada jaman Hitler, maka ia dan keluarganya dan beberapa orang lagi harus menyembunyikan diri di sebuah loteng. Disinilah ia menulis diary selama hampir 4 tahun. Edisi yang pertama kali diterbitkan adalah diary yang sudah disensor oleh Otto Frank, ayahnya (satu-satunya yang hidup setelah peristiwa Holocaust itu), mulai beredar tahun 1947 dengan judul The Diary Of A Young Girl. Namun, setelah Otto Frank meninggal, ia mewariskan hak penerbitan diary itu pada Jawatan Dokumentasi Perang Belanda, yang kemudian menggabungkan versi tsb dengan versi aslinya, dan dengan beberapa tambahan yang berguna agar pembaca memahami kondisi pada saat itu. Maka, pada tahun 1995 terbitlah sebuah edisi revisi terbaru: The Diary Of A Young Girl: The Definitive Edition. Edisi inilah yang terjemahannya dalam Bahasa Indonesia akan kuulas disini. Selamat membaca....

-----

Anne Frank adalah seorang gadis yang periang dan cerdas berusia 13 tahun. Ia terlahir dari pasangan Yahudi, Otto dan Edith Hollander Frank. Otto Frank adalah seorang Direktur di Dutch Opekta Company, perusahaan di Amsterdam yang memproduksi selai. Kakak perempuan Anne bernama Margot. Kehidupan mereka menyenangkan dan baik-baik saja, hingga saat Jerman menginvasi Belanda dalam Perang Dunia II, dan pemerintahan Hitler mengeluarkan dekrit 'anti Yahudi'. Mulailah masa-masa terkekang bagi kaum Yahudi, mereka harus memakai semacam pin berbentuk bintang warna kuning (yellow star), mereka dipaksa menyerahkan kendaraan, dilarang mengendarai mobil, dilarang menggunakan jalan raya, dilarang masuk tempat hiburan, dilarang terlihat di jalanan antara jam delapan malam hingga jam enam pagi, dll.

Pada ulangtahun Anne yang ke-13 pada 20 Juni 1942, ia mendapat hadiah sebuah diary. Pada hari itulah ia mulai mencurahkan seluruh perasaan, pandangan dan pengalaman hidupnya pada diary yang ia beri nama "Kitty". Anne merasa bahwa bila ia menumpahkan perasaan pada orang lain, orang itu tidak akan mengerti dia, malah mengomeli, menyalahkan dsb. Maka Kitty ia anggap teman terbaiknya yang paling mengerti dirinya, dan karena diary tidak dapat menghakiminya.

Pada saat itu sebenarnya pembersihan etnis Yahudi mulai digembar-gemborkan, dan Otto Frank mulai merencanakan untuk melarikan keluarganya. Namun, sebelum rencana itu terwujud, pada tgl. 8 Juli 1942, Margot menerima surat panggilan dari pemerintah Hitler. Surat Panggilan berarti kamp konsentrasi dan sel tahanan, maka Otto Frank harus mengubah rencananya. Otto Frank dan Van Daan (rekan bisnis Otto Frank) membuat rencana baru sementara Anne dan lainnya berkemas-kemas. Maka pada tgl. 9 Juli 1942 keluarga Frank meninggalkan apartemen mereka yang nyaman untuk terakhir kalinya, dan pindah ke sebuah loteng yang terletak di gedung tempat Otto Frank bekerja. Loteng tempat persembunyian mereka itu akan dikenal dengan "Secret Annex". Kepindahan mereka dibantu oleh pasangan Miep dan Jan Gies yang adalah teman dekat keluarga Frank. Miep bekerja sebagai sekretaris Otto Frank. Karyawan lain Oto Frank adalah Tuan Kleimann, Tuan Kugler dan Bep Voskuijl.

Secret Annex, ruang loteng di lantai tiga itu akan menjadi tempat persembunyian Anne dan keluarga (4 orang), serta keluarga Van Dann (3 orang), dan seorang dokter gigi bernama Tuan Dulles, total 8 orang. Pintu masuk yang memisahkan gudang dan Secret Annex diberi lemari buku untuk menyamarkan, dan selama bersembunyi mereka tidak boleh keluar sama sekali. Miep dan Bep yang bertugas untuk berbelanja kebutuhan semua penghuni Secret Annex. Selama jam kantor, mereka harus tetap berada di atas loteng, tidak boleh ribut, tidak boleh menyiram toilet karena kucuran air bisa terdengar dari bawah. Jadi mereka harus tinggal di tengah ketakutan, keterbatasan bahan makanan (kadang mereka harus makan buncis atau selada sepanjang hari), baju yang usang (dan kekecilan bagi Anne yang sedang dalam masa pertumbuhan), ruangan yang bau (karena tidak bisa setiap saat mengguyur toilet). Namun, di saat yang sama Anne, Margot dan Peter Van Daan (yang berusia 16 tahun) tetap mendapatkan pelajaran sekolah dari buku-buku yang di-suplai oleh Tuan Kleimann dan Tuan Kugler.

Sepanjang waktu di Secret Annex, semua penghuni sering mengalami perdebatan dan perselisihan antar penghuni maupun antar keluarga. Selain itu, mereka juga sering mendengar suara sirene meraung-raung yang merupakan peringatan bila ada pesawat udara lawan melintas. Juga tembakan-tembakan di malam hari. Seperti yang ditulisnya: "..Semua orang takut. Malam hari ratusan pesawat terbang melintasi Belanda menuju kota-kota di Jerman, menjatuhkan bom di tanah Jerman. Tiap jam ratusan bahkan ribuan orang terbunuh di Rusia dan Afrika. Tidak ada yang mencegah perang, seluruh dunia dilanda perang, meskipun sekutu telah berusaha, perang belum juga berakhir.." Beberapa kali ada juga percobaan pencurian di gedung tsb. Saat-saat itu, semua orang menahan napas dan begitu ketakutan bahwa persembunyian mereka ditemukan seseorang.

Di tengah-tengah suasana itulah, Anne remaja tumbuh menjadi seorang gadis. Ia membentuk pribadi dan mengatasi ketakutan, kecemasan, ketidakmengertian, dan kenyataan hidup bersama 5 orang dewasa lain yang sering menyalahkan dan menganggapnya bodoh, nakal, lancang, dsb. Padahal, Anne sebenarnya adalah sosok pribadi yang berani, terbuka dan kritis. Namun, karena pada saat itu sikap itu dianggap tabu, dan seorang anak tidak boleh menyatakan pendapatnya, maka hanya pada Kitty-lah Anne dapat menumpahkan seluruh pemikiran dan perasaannya, termasuk gejolak seksualitas pada awal masa pubernya. Anne tidak cocok dengan Ibunya, ia sering mengungkapkan rasa benci pada sang Ibu. Ia tidak suka pada Nyonya Van Dann, dan pada Tuan Dulles yang terpaksa harus berbagi kamar dengannya, dan karena ia dianggap seorang anak kecil, maka Tuan Dulles lebih banyak menguasai kamar mereka. Namun di saat-saat lain, Anne juga merasa menyesal telah menyakiti Ibunya. Khas seorang remaja yang tengah membangun karakternya.

Anne memiliki cara pandang yang mengagumkan sebagai remaja usia 13 tahun saat itu. Ia membenci perang, ketidak-adilan dan kekejaman. "..Aku merasa jahat tidur di tempat tidur yang hangat, sementara di luar banyak sahabat karibku kelelahan atau dipukuli habis-habisan. Aku dibuat takut sendiri sewaktu memikirkan teman-teman yang dijajah oleh monster-monster kejam yang tiada kenal belas kasih. Dan itu semua harus mereka alami, semata-mata karena mereka Yahudi." Di lain kesempatan, "Sepanjang siang dan malam, orang-orang miskin diseret keluar dari rumahnya. Saat anak-anak sekolah pulang, mereka melihat orang tuanya sudah hilang. Saat seorang perempuan pulang dari berbelanja ia menjumpai rumah mereka telah disita dan keluarganya-pun hilang. Semua orang takut." Itulah beberapa penggalan curahan hatinya pada Kitty.

Namun, di tengah ketakutan dan ketidak pastian serta kerinduan yang amat besar akan kebebasan itu, Anne memiliki harapan yang amat tinggi. Dan harapan serta optimisme itulah yang membantunya melewati masa-masa sulitnya. Pada pagi hari atau malam hari saat jendela boleh dibuka, Anne akan duduk di depan jendela lantai paling atas bersama dengan Peter Van Dann dan melihat ke langit. "...Pagi ini saat aku duduk di depan jendela dan sangat lama disana, menatap betapa dalamnya Tuhan dan alam, aku bahagia. Kekayaan, kehormatan, segala sesuatu dapat hilang. Tapi kebahagiaan di dalam hatimu hanya dapat berkurang, ia akan selalu di sana, selama kamu masih hidup untuk membuat dirimu kembali bahagia. Bila kamu merasa sedih, cobalah naik ke loteng pada hari yang indah dan menatap ke luar. Bukan pada rumah-rumah dan atapnya, namun pada langit. Selama kamu dapat menatap langit tanpa rasa takut; kamu akan tahu bahwa kamu suci di dalamnya dan akan menemukan kebahagiaan sekali lagi."

Anne menemukan persahabatan yang indah dengan Peter. Itu juga salah satu hal yang memberikan secercah kegembiraan di tengah suramnya suasana di Secret Annex. Pada malam hari Anne sering naik ke loteng paling atas bersama dengan Peter. Mereka akan duduk berduaan dan memandang langit. Itulah saat-saat paling tenang dan membahagiakan bagi Ann. Simaklah bagian tulisan Anne Frank yang amat terkenal, dan mengilhami banyak orang akan arti kebebasan, cinta dan harapan: "...Sulit dalam masa seperti ini: idealisme, mimpi dan harapan yang dihargai dapat tumbuh dalam diri kami, semuanya hancur oleh realitas yang suram. Suatu kejutan aku tidak meninggalkan semua idealisme-ku, sementara mereka tampak begitu absurd dan tidak praktis. Aku masih berpegang teguh pada mereka karena aku masih percaya, disamping hal lain, bahwa orang pada dasarnya berhati baik. Sangat tidak mungkin bagiku membangun hidupku di atas pondasi kekacauan, kesengsaraan, dan kematian. Aku melihat dunia lambat laun berubah menjadi hutan belantara, aku mendengar suara guruh mendekat, dan suatu hari juga akan membuat kami hancur, aku ikut merasakan penderitaan berjuta-juta orang. Namun saat aku menatap langit, aku merasakan bahwa semuanya akan berubah menjadi lebih baik, dan perang ini akan berakhir, aku juga berpikir, perdamaian dan ketenangan sekali lagi akan kembali. Pada suatu saat aku harus berpegang pada idealismeku. Barangkali waktunya akan tiba, saat aku mampu mewujudkannya."

Tulisan ini ditulis oleh Anne hanya tiga hari sebelum akhirnya Secret Annex ditemukan, dan ke-8 penghuninya ditangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi. Anne akhirnya meninggal karena tifus, akibat buruknya gizi dan sanitasi di kamp konsentrasi. Ia meninggal sekitar akhir Pebruari atau awal Maret 1945. Walau ia tak lagi hidup dan tak dapat mewujudkan kebebasan dan kebahagiaan yang ia cita-citakan, namun pengharapannya yang besar akan terus hidup dan mengilhami banyak orang hingga saat ini.

Catatan Fanda:
Anne adalah anak yang cerdas dan berpikiran tajam. Pandangannya tentang kekejaman, perdamaian dan harapan adalah hal-hal yang perlu kita teladani. Kita semua diciptakan sebagai manusia yang sama oleh Tuhan. Bahwa kita lahir dalam etnis tertentu, dibesarkan dengan ajaran agama tertentu, tinggal di negara tertentu, janganlah itu lantas membuat kita saling membenci dan saling menghakimi. Biarlah negara-negara berperang, namun kita secara personal dapat menciptakan kedamaian mulai dari keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar kita. Dan yang terpenting, teruslah berharap dan biarkan Tuhan yang menentukan yang terbaik untuk kita.

Saturday, January 10, 2009

To Kill A Mockingbird


Kali ini aku akan mengulas isi sebuah novel klasik yang pernah memenangkan Hadiah Pulitzer pada 1961, dan sejak itu telah menjadi salah satu bacaan wajib hampir semua anak sekolah di Amerika, serta ditetapkan oleh Guiness Book of World Records sebagai novel terlaris sepanjang masa. Aku sudah lama ingin membaca buku ini versi English-nya, tapi baru beberapa hari lalu ketemu versi Indo-nya di Gramed. Pada setiap novel yang aku tulis di blog ini, aku akan menyertakan juga opiniku mengenai pelajaran apa yang kupetik dari novel tsb atau bagaimana novel tsb menyentuh bagi aku. To Kill A Mockingbird ini jelas akan mempengaruhi (kalau bukan merubah) cara pandang anda tentang kasih, prasangka dan hubungan antar manusia. Selamat membaca!

------

By : Harper Lee

To Kill A Mockingbird dapat digolongkan sebagai novel anak-anak atau remaja, karena ditulis seolah-olah dari sudut pandang seorang gadis cilik berusia sembilan tahun. Namun pelajaran tentang hidup, tentang kasih, tentang prasangka dan pelajaran moral tentang bagaimana kita harus menilai orang lain, yang dapat dipetik dari novel ini, membuatnya sebagai buku yang layak (kalau tidak dapat disebut wajib) dibaca semua orang dewasa pada jaman ini. Mungkin kita semua telah mulai melupakan nilai-nilai tersebut, dan perlu pemikiran jernih seorang gadis cilik untuk menyadarkan kita akan nilai-nilai yang lebih luhur dalam hidup ini.

Gadis cilik itu bernama Jean Louise Finch (namun biasa dipanggil ‘Scout’). Ia tinggal di Maycomb County, sebuah kota kecil di negara bagian Alabama, bersama dengan abangnya, Jeremy Finch (biasa dipanggil Jem) yang berusia tigabelas tahun. Scout adalah gadis yang cerdas, berpenampilan tomboy dan suka mengenakan overall (pada saat itu wanita terhormat selalu mengenakan rok dan korset). Sedangkan Jem mewarisi keberanian, keluhuran budi, dan kekritisan berpikir seperti ayahnya. Sang ayah adalah seorang pengacara county, dan merupakan laki-laki terhormat yang selalu menjunjung kesopanan dan kejujuran, serta dengan bijaksana membesarkan kedua anaknya. Namanya Atticus Finch. Salah satu nasihatnya tentang keberanian sejati: “...Keberanian sejati tidak selalu identik dengan lelaki bersenapan. Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan kau merampungkannya, apapun yang terjadi”.

Kisah ini ber-setting sekitar tahun 1960-an, jaman dimana perbudakan, rasisme dan perbedaan sosial masih sangat kental di Amerika. Orang Negro dianggap lebih rendah dari orang kulit putih. Dan orang kulit putih yang tidak terpelajar dianggap lebih rendah dari mereka yang berpendidikan dan terhormat. Masing-masing tingkatan tidak boleh bergaul satu sama lain, dan mereka yang melanggarnya, beresiko untuk dikucilkan dari ‘kaum’nya. Keluarga Finch-pun memiliki seorang budak berkulit hitam yang bernama Calpurnia. Di Maycomb juga tinggal warga kulit hitam lain, namun rumah-rumah mereka terletak di bagian lain kota.

Tinggal di kota kecil membuat Scout dan Jem mengenal dengan baik para tetangga, yang oleh Harper Lee-si pengarang, digambarkan secara sangat rinci watak serta cara berpikir masing-masing. Dalam perjalanan hidup kakak beradik ini, mereka akan berhadapan dengan berbagai peristiwa kecil yang melibatkan para tetangga ini. Contohnya Mrs. Dubose yang sudah tua dan lemah, namun menyeramkan karena cara bicaranya yang begitu tajam dan suka marah-marah. Atau Mr. Arthur Radley (Boo Radley) yang misterius. Ia tinggal di rumah yang selalu gelap, sepi, menyeramkan, dan tak pernah terlihat keluar rumah. Kedua tokoh diatas sangat ditakuti oleh Jem dan Scout.

Namun setelah beberapa peristiwa yang mereka alami dengan tokoh-tokoh itu, mereka belajar bahwa hidup itu tidak selalu hitam dan putih. Ada banyak hal yang tersembunyi dari pandangan kita, yang hanya akan kita pahami apabila kita mau meletakkan diri kita di tempat orang lain berdiri. Jem, yang dihukum oleh Mrs. Dubose untuk membacakannya buku setiap hari setelah pulang sekolah, tidak bisa mengerti mengapa ia selalu saja dimarah-marahi oleh si nenek tua itu. Jem dan Scout menganggap Mrs. Dubose adalah makhluk yang jahat dan kejam. Namun, apakah memang benar begitu? Jika Jem dan Scout mau mencoba memahami situasi dan kondisi yang dialami Mrs. Dubose (yang memang tidak pernah beliau ungkapkan), mungkin mereka berdua akan menghadapi Mrs. Dubose dengan cara yang berbeda.

Demikian halnya dengan Boo Radley yang dalam gambaran mereka adalah makhluk jahat dan kejam yang menunggu di dalam rumahnya yang gelap dengan senapan di tangan, siap membunuh anak yang mengganggunya, sehingga setiap kali melewati rumahnya, anak-anak selalu berlari atau paling tidak mempercepat langkah. Padahal, Boo Radley hanyalah seorang manusia, sama seperti mereka. Yang harus mereka lakukan adalah memahaminya.

Hingga usianya yang ke-sembilan tahun, Scout menjalani hidup yang biasa-biasa saja, bermain dan pergi ke sekolah bersama abangnya Jem. Sampai pada suatu musim panas yang akan mengubah seluruh hidup mereka, yakni ketika ayah mereka harus membela kasus seorang klien kulit hitam yang dituduh memperkosa seorang gadis kulit putih. Keluarga Finch mengalami masa-masa sulit, karena orang Negro dianggap sampah masyarakat, dan tidak pantas bagi seorang terhormat di kota itu untuk membelanya. Kecaman terus berdatangan, dan selama proses itu, Scout dan Jem mendapatkan banyak pelajaran tentang manusia. Menarik juga merenungkan perdebatan kedua anak ini, yang tengah berusaha memahami tentang perbedaan. Jem berpendapat bahwa manusia itu terbagi atas empat tipe, yang masing-masing diwakili oleh pribadi-pribadi unik para tetangga mereka. Jem berpikir bahwa perbedaan itu disebabkan level kepandaian dan tingkat pendidikan mereka. Namun Scout menyanggah, karena pada saat baru lahir, toh semua manusia itu sama saja. Inilah pertanyaan yang dikemukakan Jem, pertanyaan yang ada di benak seorang anak lugu, namun yang seringkali justru luput dari benak (dan terutama hati nurani) kita: “...Kalau hanya ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun? Kalau mereka semua sama, mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci?...”

Catatan Fanda : Dari novel ini, aku disadarkan (lagi!) bahwa semua manusia pada hakekatnya sama. Kita semua adalah ciptaan Tuhan. Yang membedakan kita adalah cara berpikir. Jadi kalau demikian, sudah seharusnyalah kita tidak membedakan perlakuan kita terhadap sesama, meskipun keadaan kita berbeda. Dan hanya dengan kasih, maka kita akan mampu menegakkan keadilan.

Mengapa Mockingbird?

Mockingbird adalah seekor burung yang sangat merdu saat berkicau. Membunuh seekor mockingbird berarti membunuh seekor makhluk yang tidak berdosa, yang tak pernah menyakiti kita, padahal tujuannya hidup di dunia ini adalah demi kebaikan manusia, yaitu untuk menyanyikan nada-nada indah yang menghibur manusia.

Tentang Novel Ini

Harper Lee adalah seorang pengarang jenius (sayangnya To Kill A Mockingbird adalah satu-satunya novel yang ia hasilkan). Dengan mengambil sudut pandang seorang anak, ia mampu menyajikan suatu karya yang menghibur, membuat kita tertawa (akan keluguan anak-anak), membawa kita bertualang (tegang), sekaligus mengusung nilai dan pendidikan moral yang sangat dalam (cara Atticus mendidik, memperlakukan dan menasihati anak-anaknya patut ditiru oleh semua orang tua yang ingin anak-anaknya tumbuh dengan nilai-nilai yang luhur).

Akhirnya, seperti yang tercantum dalam sinopsis buku ini: Sebuah keadilan hanya dapat dilahirkan dari rasa cinta, yang tak membedakan apa pun latar belakang seseorang.