Tuesday, May 31, 2011

Wuthering Heights

Dalam arti harafiahnya, wuthering adalah cuaca buruk semacam badai dengan angin yang kencang. Namun dalam novel klasik bersetting abad 19 karangan Emily Bronte ini, Wuthering Heights adalah nama sebuah rumah milik keluarga Earnshaw. Meskipun, nama Wuthering memang pas juga disandang oleh rumah itu kalau melihat sejarah para penghuninya yang membuat ketenangan dan kedamaian tak pernah ada di dalam Wuthering Heights.

“Wuthering” [baca: badai] pertama ditiupkan oleh Mr. Earnshaw ke tengah keluarganya yang (saat itu) harmonis, ketika suatu hari ia pulang dari luar negeri. Entah dengan alasan apa, ia memungut seorang bocah keturunan gipsi untuk menjadi anggota keluarga baru Earnshaw. Anak itu diberi nama Heathcliff. Kombinasi pemanjaan dan pemujaan dari ayah angkatnya, ditambah perlakuan buruk semua orang kepadanya, membuat Heathcliff tumbuh sebagai orang yang kasar, pahit, jahat, pendendam dan cenderung brutal. Hindley, putra sulung Mr. Earnshaw teramat sangat membencinya karena ayahnya kini mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatiannya pada Heathcliff kecil, dan mencampakkan Hindley dan adiknya Catherine begitu saja. Di sisi lain, Catherine yang tumbuh sebagai gadis liar justru menyukai dan berteman akrab dengan Heathcliff.

Bertetangga dengan Wuthering Heights, hiduplah Mr. & Mrs. Linton beserta Edgar dan Isabella anak-anak mereka, di rumah yang berjuluk Thrushcross Grange. Edgar muda tertarik pada Catherine Earnshaw, sementara si gadis lebih menyukai Heathcliff yang juga membalas perasaannya. Sementara itu, setelah Hindley meninggalkan rumah untuk kuliah, Mr. Earnshaw pun meninggal dunia. Kematiannya menjadikan Hindley yang telah menikah, pemilik Wuthering Heights yang baru. Dan untuk membalaskan dendam kesumatnya, ia menurunkan derajat Heathcliff menjadi setara pelayan yang hina. Sementara Catherine, yang tadinya sama liar dan tak terurusnya seperti Heathcliff mendadak berubah menjadi lebih anggun dan bermartabat setelah menginap beberapa minggu di rumah keluarga Linton. Hal ini menjadikan ia semakin jauh dari Heathcliff, dan semakin dekat dengan Edgar…

Rasanya setelah membaca sekilas 3 paragraf di atas, novel ini hanyalah menyajikan sebuah drama keluarga biasa yang membosankan dan datar-datar saja. Anda keliru! Novel ini justru cenderung bernuansa “gelap”, tragis dan brutal. Emily Bronte rupanya adalah, entah seorang penulis yang ahli masalah kejiwaan, atau memang memiliki latar belakang kehidupan yang sangat kelam. Karena, persoalan dua keluarga yang biasa ditemui pada jaman itu: jatuh cinta, perkawinan, iri, dendam…dirangkai olehnya sehingga sanggup mempengaruhi emosi dan bahkan kebencian pembaca. Boleh dibilang, amarah anda rasanya akan tersulut tiap kali salah seorang dari tokoh-tokohnya berbicara kasar sambil menebarkan ancaman yang sangat kejam dan sadis.

Dan Emily dengan cerdiknya membungkus kisah itu sebagai cerita bersambung Ellen (Nelly) Dean, seorang pengasuh di Wuthering Heights, yang dikisahkannya atas permintaan Mr. Lockwood, seorang pria yang menyewa rumah Thrushcross Grange dimiliki Mr. Heathcliff. Tokoh Heathcliff memang menjadi benang merah novel sepanjang 488 halaman ini. Setelah tamat membaca buku ini, aku merasa bahwa Heathcliff adalah karakter yang paling kuat di kisah Wuthering Heights ini. Saking kuatnya, Heathcliff dapat mencengkeramkan pengaruhnya (dan meniupkan “wuthering” demi “wuthering”) ke dalam hidup orang-orang di sekitarnya. Seolah, karena ia sepanjang hidupnya harus menderita, maka tak ada orang lain yang boleh merasa bahagia. Berkat Heathcliff pula, jalan hidup semua tokoh lainnya jadi berubah. Dan hebatnya, tak ada yang dapat menolak pengaruh jahat Heathcliff ini, apalagi memeranginya. Mereka semua hanya dapat bertahan.

Lihat saja Catherine yang menderita karena cinta, meski Edgar mencintainya sepenuh hati (yang sangat aku herankan mengingat karakter Catherine yang liar dan cintanya pada Heathcliff). Lihat juga bagaimana Hindley menjadi setengah gila karena dendam, sehingga mempengaruhi pertumbuhan Hareton, anak lelakinya, menjadi bocah yang bodoh dan berperangai kasar. Dan cengkeraman jahat Heathcliff ini tak berhenti setelah ia mengawini Isabella Linton yang ia benci (lebih heran lagi aku pada kebodohan Isabella yang jelas-jelas melihat karakter buruk Heathcliff tetapi tetap mencintai dan menikahinya!). Perangai Heathcliff juga tak berubah setelah ia memiliki anak lelaki yang cengeng. Kenyataan bahwa mereka yang segenerasi dengannya telah tiada, tetap tak menyurutkan obsesi Heathcliff untuk membalaskan dendam pada anak-cucu mereka.

Aku jadi berandai-andai…kalau saja semua perangai jahat Heathcliff itu diganti dengan perangai yang baik, maka karakter Heathcliff akan bisa menjadi panutan. Di kisah ini ia begitu konsisten membenci, berbuat jahat dan memastikan orang lain hidup menderita. Alangkah baiknya kalau seseorang bisa konsisten mengasihi sesamanya, selalu berbuat baik, dan membaktikan seluruh hidup, pikiran dan tenaganya untuk membuat kehidupan orang lain lebih baik! Ah…seandainya saja… Tapi, mungkin kalau Emily Bronte menulis kisah dengan tokoh yang sedemikian baik, bukunya tak akan selaris dan sefenomenal Wuthering Heights ini. Sebagai catatan, di Goodreads aku mengamati bahwa kebanyakan orang memberi bintang 5 (amazing) atau 2 dan bahkan 1 (didn’t like it), jarang orang memberikan bintang 3 atau 4. Yang artinya, kebencian dan kejahatan di satu sisi bisa membuat anda muak setengah mati, namun di sisi lain bisa sangat mempesona. Berada di kubu manakah anda? Oh ya, tentu saja anda harus membacanya dulu sebelum bisa menjawab. Yang jelas aku seharusnya bisa memberikan 1 atau 2 bintang saja, namun aku juga tak bisa mengabaikan kepiawaian Emily Bronte dalam menulis kisah ini. Buktinya? Ia mampu membuatku sangat muak pada Heathcliff dan semua yang ada di Wuthering Heights ini hanya melalui tulisannya. Hebat bukan?....

Judul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Bronte
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: April 2011
Tebal: 488 hlm

Wednesday, May 25, 2011

Quo Vadis?


Apakah pengertian anda tentang “kemenangan”? Ketika dua orang samurai bertarung misalnya, pemenangnya pastilah samurai yang masih hidup, dan pecundangnya adalah samurai yang mati karena kalah oleh lawannya. Kisah klasik karya Henryk Sienkiewicz akan menjungkar balikkan pengertian kita tentang kemenangan sekaligus kematian. Quo Vadis adalah sebuah roman yang dibingkai latar belakang sejarah pada tahun 60-an, saat Nero menjadi kaisar kerajaan terbesar yang memimpin dunia : kerajaan Romawi. Adalah seorang bangsawan yang menjadi pejabat militer di kerajaan bernama Marcus Vinicius. Pamannya merupakan salah satu orang terdekat Nero yang sangat mencintai keindahan dan seni bernama Petronius. Segalanya berawal dari keinginan Vinicius untuk mendapatkan seorang gadis yang berasal dari kerajaan kecil bernama Lygia, untuk dijadikan selir di rumahnya. Lygia saat itu tinggal di rumah Aulus, maka Vinicius minta bantuan Petronius untuk merayu Aulus agar mau melepas Lygia.

Lygia adalah seorang gadis saleh yang telah menjadi Kristen. Tahun 60-70 itu memang diperkirakan dalam sejarah sebagai tahun mulai berkembang pesatnya agama Kristen, berkat pengajaran Rasul Petrus dan Paulus, setelah Kristus disalibkan dan bangkit. Roma sendiri pada saat itu sedang dalam kebobrokan moral yang amat parah. Sebagian besar karena kebiasaan Nero yang dipenuhi pesta-pora, kecabulan, dan sadisme menular pada pengikut dan rakyatnya. Petronius seorang pengapresiasi seni, maka sarannya sering didengarkan oleh Nero, terlebih karena gaya bicara Petronius yang “manis” sering melambungkan puji-pujian selangit yang disukai Nero. Karena itu Petronius akhirnya berhasil “memaksa” Lygia keluar dari rumah Aulus. Namun sebelum Vinicius yang berhasrat memiliki Lygia berhasil membawa pulang si gadis, Lygia melarikan diri karena takut kesuciannya ternoda dengan menjadi selir Vinicius. Dalam pengejaran Lygia inilah, kehidupan Vinicius tiba-tiba berbalik 180 derajat.

Ternyata Lygia berlindung pada teman-teman sesama pemeluk Kristen. Di sinilah Vinicius mengalami sendiri hal-hal aneh yang sangat berbeda dengan kebiasaan masyarakat pada saat itu. Salah satunya adalah sikap mengasihi dan mengampuni musuh yang diperlihatkan pelindung Lygia: Ursus dan seorang tabib bernama Glaucus. Alih-alih membunuh atau mencelakainya karena ingin merebut Lygia, mereka justru memperlakukan Vinicius dengan penuh kasih. Namun yang paling mengesan pada Vinicius barangkali adalah kotbah Rasul Petrus pada sebuah pertemuan para orang Kristen. Ini sebuah ajaran baru, dan tiba-tiba hati Vinicius bak dipenuhi oleh gelombang kedamaian. Di hati Vinicius benih baru saja tertabur…

Salah satu bukti nyata perubahan pada diri Vinicius adalah cintanya pada Lygia yang tulus dan murni, menggantikan cinta penuh nafsu yang dulu ia pendam dalam hatinya. Sementara itu kesintingan Nero semakin parah. Nero yang terobsesi menjadi penyair agar disanjung rakyatnya, tiba-tiba muak pada Roma. Keangkuhannya sebagai penguasa dunia mendorongnya untuk membakar habis Roma untuk dibangun kembali sesuai keinginannya. Sejarah memang mencatat kota Roma yang sengaja dibakar atas perintah Nero ini. Dan lihatlah…sang Kaisar naik dan berdiri di atas bukit, bukan untuk menangisi kemalangan rakyatnya, namun justru untuk mengarang sebuah puisi. Sinting!

Rakyat pun mengamuk karena banyak saudara mereka yang meninggal, dan mereka kehilangan rumah serta mata pencarian. Nero yang telah bertindak ceroboh itu pun sadar bahwa kedudukannya akan terancam kalau desas-desus bahwa ia sengaja membakar Roma tersebar luas. Maka ia pun cepat-cepat menimpakan kesalahan kepada orang-orang Kristen, memfitnah bahwa merekalah yang telah membakar kota Roma. Semua orang Kristen lalu ditangkap dan dipenjara, termasuk Lygia, Ursus dan teman-temannya. Berkali-kali Vinicius dibantu oleh Petronius merencanakan pembebasan Lygia dari penjara, namun tanpa hasil. Sementara itu, untuk memuasakan nafsu sadisme dirinya sendiri dan demi menyenangkan hati rakyatnya, Nero merancang pertunjukan penyiksaan orang-orang Kristen di amphitheater. Orang-orang Kristen, laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak digiring ke tengah stadion bak hewan tontonan pada pertunjukan sirkus. Ada yang dibantai oleh para gladiator, ada yang disalibkan, ada yang dibuat obor hidup di taman dengan membakar mereka sementara mereka diikat pada tiang. Ada juga yang dimangsa oleh singa, harimau, serigala dsb yang sengaja dibuat kelaparan selama 2 hari sebelumnya. Herannya, bukannya ngeri dan jijik pada pemusnahan berdarah-darah itu, para penguasa dan rakyat justru bertepuk tangan penuh semangat, seolah pertunjukan itu hanyalah pertunjukan tari-tarian biasa.

Selama hari-hari penyiksaan beradab yang di luar batas kemanusiaan itu, Vinicius tetap berikhtiar untuk dapat membebaskan Lygia. Ia bahkan memohon Rasul Petrus untuk memohonkan keselamatan bagi Lygia dari Tuhan. Anda dapat membayangkan bagaimana perasaan Rasul Petrus pada saat itu. Dengan susah payah ia mengumpulkan satu-persatu jiwa untuk diselamatkan dengan percaya kepada Kristus, namun kini setelah jemaat telah mulai berkembang, saat ia menyangka tugasnya telah usai, mereka semua dimusnahkan dengan cara yang mengenaskan hanya dalam sekejap. Padahal Petrus melakukan semuanya karena amanat dari Kristus sendiri. Bagaimana mungkin kini Ia membiarkan mereka semua musnah? Maka tak heran kalau pada suatu titik tertentu, karena bujukan terus menerus pengikutnya, Rasul Petrus pun setuju untuk melarikan diri dari Roma menuju tempat yang aman. Lalu, dalam perjalanan itu ia tiba-tiba melihat sebuah cahaya menyilaukan menghampirinya di jalan itu. Itu Kristus! Maka bertanyalah Petrus kepadaNya: “Quo Vadis, Domine?” (ke mana Engkau hendak pergi, Tuhan? = where are you going, Lord?). Pertanyaan yang biasa saja mungkin, kalau saja Kristus tidak menjawabnya: “Karena kini kau meninggalkan umatKu, Aku akan pergi ke Roma, untuk disalibkan yang kedua kalinya” (hlm. 513). Sebuah tamparan bagi Petrus yang langsung membalikkan langkahnya kembali ke Roma….

Kita semua seperti Petrus juga. Saat kesulitan datang bertubi-tubi, dan nampaknya tak ada lagi yang dapat kita lakukan, apalagi kalau kengerian tampak mendatangi kita, kita ingin melarikan diri saja. Itu memang kodrat manusia untuk menjauh dari sengsara, mengelakkan diri dari kehancuran. Padahal kematian, apalagi kematian demi Dia, bukanlah kekalahan. Lewat pertanyaan sederhana Quo Vadis?, Petrus mengingatkan kita untuk tetap tegar dalam iman meski semua di sekitar kita telah musnah, kalau itu memang kehendakNya. Bukankah benih itu memang harus jatuh ke tanah dahulu, baru ia akan dapat tumbuh dan berbuah? Kalau memang penderitaan yang menanti kita, kita harus menghadapinya dengan penuh iman, seperti halnya orang-orang Kristen pada saat penyiksaan. Alih-alih menangis ketakutan dan memohon-mohon, pancaran kebahagiaan malah keluar dari sorot mata mereka, karena mereka yakin bahwa kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan kekal telah disediakan bagi mereka di RumahNya. Sikap orang-orang Kristen yang pasrah dan berani itulah yang justru membuat rakyat takjub, dan akhirnya semakin banyak yang menjadi Kristen. Kerajaan Romawi akhirnya jatuh (yang kita ketahui juga dalam sejarah), Nero pun akhirnya binasa, namun kerajaan Kristus justru tumbuh makin subur dan bergaung hingga kini. Meski itu harus ditebus dengan kematian banyak orang, termasuk Petrus dan Paulus. Kematian duniawi memang menandakan kekalahan, namun kematian dalam Kristus bukanlah kekalahan, tapi kemenangan. Aku jadi teringat pada cuplikan syair dalam sebuah nyanyian yang setiap tahun dinyanyikan saat Malam Paskah:

“..Ajari pula kami tekun dan tak gentar, bersamaMu berjuang, dan kami pun menang!
Terpuji Kristus Pemenang, lenyaplah maut yang kejam…

Pada akhirnya, benih yang ditaburkan oleh Petrus, Paulus dan semua orang Kristen yang dibantai maupun yang masih hidup akhirnya berbuah, jauh lebih banyak daripada yang disangka-sangka semua orang, seperti halnya benih di dalam hati Vinicius yang akhirnya berbuah iman. Lalu bagaimana dengan cinta Vinicius dan Lygia? Akankah cinta mereka berbuah juga? Dan apakah Kristus mengabulkan doa Vinicius yang telah memberikan hati padaNya, untuk menyelamatkan Lygia? Rasul Petrus telah menyuruhnya tetap memiliki iman dan terus berdoa. Akankah Vinicius melakukannya, atau malah menyerah di tengah jalan? Jawabnya hanya bisa anda temukan di buku ini. Tak banyak dalam hidup kita ada buku yang mampu menggugah hati sekaligus iman kita, buku ini salah satunya!

Judul: Quo Vadis?
Penulis: Henryk Sienkiewicz
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: November 2009
Tebal: 552 hlm

Thursday, May 12, 2011

Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada

Judul: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Penulis: Leo Tolstoy
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Atta Verin
Cetakan: Februari 2011
Tebal: 197 hlm

“Ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan. Ketika Aku haus, kamu memberi aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan….” --Mat 25:35

“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” –Mat 25:40

Kedua ayat Kitab Suci itu langsung memenuhi pikiranku saat aku selesai membaca kisah pertama dalam buku kumpulan cerita bertema cinta spiritual karya sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy ini. Sebenarnya ayat itu bahkan tidak dicantumkan dalam cerita itu, namun aku langsung menemukan kesamaan dengan esensi ceritanya. Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada. Demikianlah judul kisah pertama di buku ini, yang sekaligus menjadi judul buku ini sendiri. Berkisah tentang seorang perajin sepatu bernama Martin, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati istri dan putra semata wayangnya. Ia lalu mengalami kehampaan dalam hidupnya, berhenti pergi ke Gereja dan malah mengomel pada Tuhan karena mengambil putranya terlebih dahulu alih-alih mengambil dirinya. Hingga suatu hari ia kedatangan tamu dari biara yang menasihatinya untuk mulai membaca Kitab Suci. Dan kedamaian pun perlahan-lahan mulai bersemi dalam hati Martin tiap kali ia membaca sabda Tuhan.

Hingga suatu hari ia berandai-andai, apakah yang akan dilakukannya bila Tuhan sendiri bertamu ke rumahnya? Lalu dalam tidur, ia memimpikan Tuhan memanggil namanya, dan mengatakan bahwa Ia akan datang keesokan harinya. Maka begitu pagi menjelang, Martin pun mulai menanti-nantikan “Tamu Istimewa”nya itu. Ia yang biasa mengenali warga dengan mengintip sepatu mereka dari ambang jendela, terus menerus menunggu. Banyak orang yang melewati rumahnya, namun tak seorang pun yang berhenti, apalagi singgah. Orang pertama yang berdiri di luar di depan jendelanya adalah seorang pembantu rumah yang kedinginan saat menyekop salju. Merasa iba, Martin mengajak si pembantu rumah itu masuk dan menyuguhkan teh untuk memberinya kehangatan. Dan sambil si pembantu menikmati bercangkir-cangkir teh hangat, Martin juga menghangatkan jiwanya dengan kata-katanya tentang Tuhan yang ia ambil dari kitab suci. Si pembantu pun kembali ke dinginnya salju untuk bekerja, namun kini dengan tubuh maupun hati yang lebih hangat…

Sepanjang hari Martin menunggu, namun tak satupun tamu yang datang, apalagi yang bisa disebut “Istimewa”. Yang ada malah seorang wanita dengan bayi di gendongannya yang tampak kedinginan di balik pakaiannya yang tipis, sedang berdiri di luar rumah Martin. Maka Martin pun mengundang wanita itu masuk untuk menghangatkan diri. Bersama roti dan sup hangat yang dihidangkan Martin, wanita itu bertutur tentang kemalangan dirinya yang ditinggal suaminya perang, dan kini jatuh miskin, bahkan selendang untuk menghangatkan diripun harus ia gadaikan sehingga kini mereka berdua harus kedinginan di jalanan. Martin memberinya uang sekadarnya untuk bisa menebus kembali selendangnya, dan membekalinya mantel usang untuk dapat melindunginya dan si bayi dari kedinginan.

Dan begitulah, ternyata hari itu berlalu tanpa ada yang istimewa sama sekali. Hanya kejadian-kejadian kecil semacam itu yang membuat Martin berinteraksi dengan orang-orang asing yang ditolongnya. Entah itu untuk memberikan kehangatan raga, kehangatan jiwa, maupun untuk belajar mengampuni dan berdamai dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan “Tamu Istimewa” yang berjanji akan mengunjunginya? Maka akupun teringat kembali pada ayat Kitab Suci yang aku kutip di awal tulisan ini. Dan kembali aku serasa diingatkan (lagi)… bahwa Tuhan tak perlu dicari-cari, ia hadir dalam diri setiap orang yang membutuhkan kita. Setiap hari. Setiap saat. Hanya tinggal kitalah yang peka untuk menyadarinya, dan bertindak. Sebuah kisah yang sederhana namun sangat berkesan bagiku.

Itu barulah kisah pertama dalam buku kumpulan cerita ini. Dalam 4 cerita selanjutnya pun, anda akan diajak untuk melihat indahnya kasih. Kasih bisa berwujud maaf, seperti terungkap dalam kisah kedua: Tuhan Tahu, Tapi Menunggu, yang bercerita tentang seorang saudagar bernama Aksionov yang ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan membunuh teman sepenginapannya saat ia sedang bepergian. Cinta juga menampakkan wajahnya kepada seorang saudagar kaya bernama Vasili, yang pikirannya selalu dipenuhi dengan bisnisnya dan kebanggaan dirinya yang sukses berbisnis. Suatu hari ia harus bepergian di tengah badai salju yang membekukan, bersama dengan pembantunya, Nikita. Di saat itulah Tuhan “memanggilnya” lewat kejadian yang tak masuk akal. Vasili yang berkereta kuda bersama Nikita tak pernah dapat menemukan jalan sehingga harus tersesat di tengah badai salju dan terancam mati membeku. Saat itulah Vasili harus memilih. Apakah ia akan tetap memikirkan dirinya sendiri, atau membiarkan Tuhan mengambil alih? Sekali lagi kita menyadari, bahwa di mana ada cinta, di sana Tuhan ada. Keseluruhan kisahnya bisa anda baca di kisah no. 4: Majikan dan Pelayan.

Kisah penutup atau kisah kelima mungkin yang paling tegas menjelaskan pada kita, bagaimana Tuhan menginginkan kita untuk menjalani hidup ini dan mengisinya. Di kisah Dua Lelaki Tua ini, adalah Efim dan Elisha, dua pria tua yang ingin pergi berziarah ke Yerusalem bersama-sama. Efim adalah pria yang selalu mengkhawatirkan segalanya, dan menginginkan semuanya sempurna. Kalau saja bukan karena desakan Elisha yang lebih santai, Efim mungkin takkan pernah berangkat ziarah karena sibuk dengan ini-itu yang tak habis-habisnya. Sayangnya, walaupun berangkat bersama-sama, kedua lelaki tua ini harus berpisah jalan tanpa sengaja ketika Elisha singgah di sebuah rumah untuk sejenak memuaskan dahaganya dengan meminta segelas air. Di titik ini Leo Tolstoy ingin menunjukkan pada kita ziarah seperti apa yang sebenarnya lebih berkenan bagi Tuhan, dan bahwa ziarah itu sejatinya terjadi di sepanjang hidup kita tanpa terkecuali. Hidup kita ini adalah sebuah peziarahan. Apakah kita ingin mendapat hasil yang baik dari ziarah ini, itu adalah pilihan kita. Yang jelas, Tuhan telah menyediakan “sarana”nya, yakni lewat sesama kita, tinggal kitalah yang mau memilih memanfaatkannya sebaik mungkin, atau melewatkannya…

Buku yang diterbitkan oleh Serambi ini, bagiku merupakan salah satu buku yang isinya sederhana, namun isinya akan selalu meresap hingga ke relung-relung jiwa yang paling dalam. Cara bercerita Leo Tolstoy telah membuat kisah-kisah sederhana itu menjadi hidup berkat kemampuannya merangkai detail-detail yang sangat cermat menjadi sebuah cerita yang mengalir, sehingga kita seolah merasa mengalami atau melihat sendiri semua kejadian di kisah itu. Bravo Leo Tolstoy! Dan untuk itu aku memberikan 5 bintang untuk karya ini!

Tuesday, May 3, 2011

Dua Versi The Phantom of The Opera

Dunia perbukuan Indonesia patut berbangga hati karena akhir-akhir ini para penerbit mulai berlomba-lomba menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya sastra klasik dunia. Bahkan sebuah karya mungkin saja diterbitkan oleh dua penerbit yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Suatu usaha yang patut diacungi jempol. Ini akan memberi sebuah tantangan bagi penerbit untuk menyuguhkan karya yang terbaik, karena pembaca akan memiliki pilihan. Di sisi lain, ini kabar baik bagi pembaca karena mereka sekarang punya pilihan karya yang terbaik. Masalahnya, agak sulit menilai buku hanya sekedar dari sampul dan sinopsis kan? Karena itu kali ini aku akan mencoba melakukan studi perbandingan 2 novel klasik keren: The Phantom Of The Opera. Penerbit Serambi telah menerbitkannya sejak Februari 2011 lalu, sedang Gramedia baru menerbitkan versinya April 2011. Kebetulan, aku sudah pernah mereview terbitan Serambi (karena waktu itu belum ada pilihan lain) di sini. Dan hanya untuk mengobati penasaran, dan berkat sebuah voucher belanja, aku pun memutuskan untuk memiliki juga versi dari Gramedia. Dan inilah tinjauanku mengenai kedua versi. Ini adalah tinjauan pribadi, tidak ada pengaruh dari kedua penerbit, dan tidak ada tendensi untuk mempengaruhi anda untuk memilih salah satu versi. Ini hanya pendapatku secara jujur dan tidak berpihak. Terserah anda pada akhirnya untuk menentukan pilihan… Yang jelas, buku ini layak dibaca!

Yang paling jelas berbeda dari kedua versi tentu saja covernya…



Cover dof milik Gramedia bergambar tokoh si hantu opera dan penyanyi Christine Daae dengan background interior gedung opera bernuansa emas dan merah. Cover ini berkesan mewah, elegan, dan romantis yang tentu saja cocok dengan penggambaran sebuah opera. Cover milik Serambi lebih berkesan “kelam” dengan dasar hitam dari bahan dof, namun anggun lewat sekilas warna ungu tua pada jas milik si hantu. Sedang warna putih berpernis kilap di bagian judul menampilkan kesan “murni”, dan setangkai mawar merah menambahkan aura keromantisan cinta. Secara keseluruhan, cover Serambi lebih mewakili kisah The Phantom Of The Opera yang cenderung gothic. Perpaduan mencolok hitam pekat dan putih cemerlang itu seolah mewakili ironi keberadaan hantu opera yang kelam di suatu tempat di bawah opera yang gemerlapan, atau sifat kejam si hantu di balik kejeniusan dan keromantisannya.


2 cover versi bahasa Inggris terbitan Harper Perennial; New edition thn. 1987, dan Tribeca Books, April 2, 2011:



Di sisi lain, simbol “stempel lilin warna merah” di novel-novel klasik versi Gramedia akan membuat para kolektor tergiur memiliki versi ini. Masih bingung, pasti? Mari lanjut ke isi bukunya…

Perbedaan mencolok kedua (yang juga membuatku penasaran) adalah jumlah halaman. Versi Serambi terdiri dari 485 halaman, sedangkan versi Gramedia hanya 376 halaman. Dan akupun penasaran, di mana letak perbedaannya sehingga selisihnya bisa berkisar 100 halaman? Maka mulailah aku membaca sambil membandingkan. Ditilik dari kualitas penerjemahannya, kedua versi memiliki kualitas yang sebanding, meski tetap ada plus dan minusnya…

Terjemahan dari Serambi ternyata memang cenderung lebih panjang sehingga tidaklah heran, jumlah halamannya lebih banyak ketimbang versi Gramedia. Aku sendiri merasa lebih cocok dengan versi panjang karena lebih mencerminkan sastra klasik yang memang cenderung bahasanya tidak ringkas. Bagi pembaca klasik pemula yang mementingkan alur cerita yang ringkas, mungkin akan lebih menyukai versi lebih singkatnya. Akan aku kutipkan sebuah bagian dari buku ini, berupa surat yang ditulis oleh Christine Daae kepada Viscount/Vicomte Raoul de Chagny. Tentu saja aku akan kutipkan 2 versi, versi yang lebih singkat dan versi yang panjang.


“Aku tidak lupa pada anak laki-laki yang masuk ke laut untuk mengambil syalku. Aku merasa harus menulis surat ini kepadamu hari ini, ketika aku pergi ke Perros demi menggenapi tugas penting. Besok hari peringatan kematian ayahku, orang yang kaukenal dan yang sangat menyukaimu. Ia dimakamkan di sana bersama dengan biolanya, di pemakaman gereja kecil di dasar tanah melandai tempat kita sering bermain ketika kecil, di samping jalan tempat kita mengucapkan salam perpisahan terakhir kali ketika kita telah sedikit lebih besar.” (hal. 75)


“Aku belum melupakan anak laki-laki yang menceburkan diri ke laut untuk mengambilkan selendangku. Aku tidak tahan untuk tidak menuliskan kejadian tersebut kepadamu, mengingat saat ini aku sedang bersiap-siap menuju Perros-Guirec untuk melaksanakan tugas mulia. Besok merupakan hari peringatan meninggalnya ayahku. Kau mengenalnya, dan dia menyukaimu. Ayah dikuburkan di Perros-Guirec bersama biolanya, di sebuah tempat pemakaman yang mengelilingi gereja kecil, di kaki bukit tempat kita sering bermain ketika masih kecil, dan di ujung jalan itu, usia kita sedikit lebih tua saat itu, kita saling mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya.” (hal. 90)

Entah bagaimana dengan anda, tapi aku menemukan versi kedua lebih mirip dengan isi sebuah surat yang akan ditulis seorang wanita pada sahabat kecilnya pada masa itu. Ada sebuah kehangatan dan keakraban yang terungkap di sana. Atau mungkin bagi anda sama saja? Mari kita lanjutkan ke perbandingan yang lain…

Di samping versi singkat dan panjang, aku menemukan pula beberapa kutipan yang dicantumkan di versi Serambi, tidak kutemukan di versi Gramedia. Hal ini mungkin saja terjadi kalau kedua penerbit mengambil naskah yang berbeda untuk diterjemahkan. Memang, ketidak hadiran kutipan itu tidak sampai mempengaruhi jalan cerita, namun aku merasa justru kutipan-kutipan itu makin menguatkan imajinasi kita pada kisahnya sendiri. Lagipula, kalau anda belum tahu, kisah ini bukan murni fiksi rekaan, melainkan merupakan sebuah laporan yang ditulis Gaston Leroux dari hasil investigasi terhadap hantu opera. Jadi wajarlah menurutku kalau ia menyertakan kutipan-kutipan yang entah dia ambil dari tulisan seorang wartawan di koran atau dari sumber lainnya, demi memperkuat laporannya. Sekali lagi, kutipan-kutipan itu mungkin akan memperlambat alur cerita, namun di sisi lain juga tetap memberikan nuansa tersendiri saat kita membaca.

Selain itu, menurutku The Phantom Of The Opera ini seharusnya secara kental menampilkan ke-Prancis-annya. Salah satunya lewat istilah atau nama-nama dalam bahasa Prancis. Misalnya saja judul pertunjukan (opera) Romeo et Juliette seharusnya tetap ditulis demikian, alih-alih menjadi Romeo and Juliet (hal. 32) yang kutemukan di versi Gramedia. Atau Funeral March of a Marionette (hal. 32) seharusnya tetap saja ditulis sebagai La marche funebre d’une marionette karena toh kita sebagai pembaca tak butuh memahami arti judul sebuah pertunjukan opera, justru judul dalam bahasa Prancis (yang tak kita mengerti) itu lebih mengesankan sebagai judul sebuah pertunjukan opera di Prancis. Apalagi pada bagian “Le Roi de Lahore” harusnya kata “Le” tidak dihilangkan sehingga menjadi “Roi de Lahore” (hal. 50), karena dalam bahasa Prancis selalu ada kata sandang (le) di depan kata benda (roi). Le Roi adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan begitu saja.

Bagaimana pun juga, kita harus berterima kasih kepada kedua penerbit yang telah mempersembahkan yang terbaik demi menyuguhkan sebuah bacaan klasik sepanjang masa The Phantom Of The Opera ini. Mana yang terbaik? Tak ada menurutku. Pilihan tentu saja ada di tangan anda masing-masing. Apakah anda menginginkan edisi yang enak dibaca dan bagus untuk dikoleksi dengan cover yang elegan dan jenis kertas serta cetakan yang ekslusif? Atau anda lebih mementingkan keutuhan isi buku aslinya yang lebih klasik daripada jenis kertas dan cetakan biasa-biasa, tapi toh dikemas dalam cover yang sangat pas mewakili isinya? Kalau anda masih saja bingung, itu bukan salahku. Aku telah berusaha menjelaskannya selengkap mungkin. Sekarang giliran anda memilih, namun pastikan anda memilih untuk membaca The Phantom Of The Opera ini! Selamat membaca...

[Bukan Review] Dua Versi The Phantom Of The Opera

Dunia perbukuan Indonesia patut berbangga hati karena akhir-akhir ini para penerbit mulai berlomba-lomba menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya sastra klasik dunia. Bahkan sebuah karya mungkin saja diterbitkan oleh dua penerbit yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Suatu usaha yang patut diacungi jempol. Ini akan memberi sebuah tantangan bagi penerbit untuk menyuguhkan karya yang terbaik, karena pembaca akan memiliki pilihan. Di sisi lain, ini kabar baik bagi pembaca karena mereka sekarang punya pilihan karya yang terbaik. Masalahnya, agak sulit menilai buku hanya sekedar dari sampul dan sinopsis kan? Karena itu kali ini aku akan mencoba melakukan studi perbandingan 2 novel klasik keren: The Phantom Of The Opera. Penerbit Serambi telah menerbitkannya sejak Februari 2011 lalu, sedang Gramedia baru menerbitkan versinya April 2011. Kebetulan, aku sudah pernah mereview terbitan Serambi (karena waktu itu belum ada pilihan lain) di sini. Dan hanya untuk mengobati penasaran, dan berkat sebuah voucher belanja, aku pun memutuskan untuk memiliki juga versi dari Gramedia. Dan inilah tinjauanku mengenai kedua versi. Ini adalah tinjauan pribadi, tidak ada pengaruh dari kedua penerbit, dan tidak ada tendensi untuk mempengaruhi anda untuk memilih salah satu versi. Ini hanya pendapatku secara jujur dan tidak berpihak. Terserah anda pada akhirnya untuk menentukan pilihan… Yang jelas, buku ini layak dibaca!

Yang paling jelas berbeda dari kedua versi tentu saja covernya…


Cover dof milik Gramedia bergambar tokoh si hantu opera dan penyanyi Christine Daae dengan background interior gedung opera bernuansa emas dan merah. Cover ini berkesan mewah, elegan, dan romantis yang tentu saja cocok dengan penggambaran sebuah opera. Cover milik Serambi lebih berkesan “kelam” dengan dasar hitam dari bahan dof, namun anggun lewat sekilas warna ungu tua pada jas milik si hantu. Sedang warna putih berpernis kilap di bagian judul menampilkan kesan “murni”, dan setangkai mawar merah menambahkan aura keromantisan cinta. Secara keseluruhan, cover Serambi lebih mewakili kisah The Phantom Of The Opera yang cenderung gothic. Perpaduan mencolok hitam pekat dan putih cemerlang itu seolah mewakili ironi keberadaan hantu opera yang kelam di suatu tempat di bawah opera yang gemerlapan, atau sifat kejam si hantu di balik kejeniusan dan keromantisannya.


2 cover versi bahasa Inggris terbitan Harper Perennial; New edition thn. 1987, dan Tribeca Books, April 2, 2011:


Di sisi lain, simbol “stempel lilin warna merah” di novel-novel klasik versi Gramedia akan membuat para kolektor tergiur memiliki versi ini. Masih bingung, pasti? Mari lanjut ke isi bukunya…

Perbedaan mencolok kedua (yang juga membuatku penasaran) adalah jumlah halaman. Versi Serambi terdiri dari 485 halaman, sedangkan versi Gramedia hanya 376 halaman. Dan akupun penasaran, di mana letak perbedaannya sehingga selisihnya bisa berkisar 100 halaman? Maka mulailah aku membaca sambil membandingkan. Ditilik dari kualitas penerjemahannya, kedua versi memiliki kualitas yang sebanding, meski tetap ada plus dan minusnya…

Terjemahan dari Serambi ternyata memang cenderung lebih panjang sehingga tidaklah heran, jumlah halamannya lebih banyak ketimbang versi Gramedia. Aku sendiri merasa lebih cocok dengan versi panjang karena lebih mencerminkan sastra klasik yang memang cenderung bahasanya tidak ringkas. Bagi pembaca klasik pemula yang mementingkan alur cerita yang ringkas, mungkin akan lebih menyukai versi lebih singkatnya. Akan aku kutipkan sebuah bagian dari buku ini, berupa surat yang ditulis oleh Christine Daae kepada Viscount/Vicomte Raoul de Chagny. Tentu saja aku akan kutipkan 2 versi, versi yang lebih singkat dan versi yang panjang.

“Aku tidak lupa pada anak laki-laki yang masuk ke laut untuk mengambil syalku. Aku merasa harus menulis surat ini kepadamu hari ini, ketika aku pergi ke Perros demi menggenapi tugas penting. Besok hari peringatan kematian ayahku, orang yang kaukenal dan yang sangat menyukaimu. Ia dimakamkan di sana bersama dengan biolanya, di pemakaman gereja kecil di dasar tanah melandai tempat kita sering bermain ketika kecil, di samping jalan tempat kita mengucapkan salam perpisahan terakhir kali ketika kita telah sedikit lebih besar.” (hal. 75)

“Aku belum melupakan anak laki-laki yang menceburkan diri ke laut untuk mengambilkan selendangku. Aku tidak tahan untuk tidak menuliskan kejadian tersebut kepadamu, mengingat saat ini aku sedang bersiap-siap menuju Perros-Guirec untuk melaksanakan tugas mulia. Besok merupakan hari peringatan meninggalnya ayahku. Kau mengenalnya, dan dia menyukaimu. Ayah dikuburkan di Perros-Guirec bersama biolanya, di sebuah tempat pemakaman yang mengelilingi gereja kecil, di kaki bukit tempat kita sering bermain ketika masih kecil, dan di ujung jalan itu, usia kita sedikit lebih tua saat itu, kita saling mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya.” (hal. 90)

Entah bagaimana dengan anda, tapi aku menemukan versi kedua lebih mirip dengan isi sebuah surat yang akan ditulis seorang wanita pada sahabat kecilnya pada masa itu. Ada sebuah kehangatan dan keakraban yang terungkap di sana. Atau mungkin bagi anda sama saja? Mari kita lanjutkan ke perbandingan yang lain…

Di samping versi singkat dan panjang, aku menemukan pula beberapa kutipan yang dicantumkan di versi Serambi, tidak kutemukan di versi Gramedia. Hal ini mungkin saja terjadi kalau kedua penerbit mengambil naskah yang berbeda untuk diterjemahkan. Memang, ketidak hadiran kutipan itu tidak sampai mempengaruhi jalan cerita, namun aku merasa justru kutipan-kutipan itu makin menguatkan imajinasi kita pada kisahnya sendiri. Lagipula, kalau anda belum tahu, kisah ini bukan murni fiksi rekaan, melainkan merupakan sebuah laporan yang ditulis Gaston Leroux dari hasil investigasi terhadap hantu opera. Jadi wajarlah menurutku kalau ia menyertakan kutipan-kutipan yang entah dia ambil dari tulisan seorang wartawan di koran atau dari sumber lainnya, demi memperkuat laporannya. Sekali lagi, kutipan-kutipan itu mungkin akan memperlambat alur cerita, namun di sisi lain juga tetap memberikan nuansa tersendiri saat kita membaca.

Selain itu, menurutku The Phantom Of The Opera ini seharusnya secara kental menampilkan ke-Prancis-annya. Salah satunya lewat istilah atau nama-nama dalam bahasa Prancis. Misalnya saja judul pertunjukan (opera) Romeo et Juliette seharusnya tetap ditulis demikian, alih-alih menjadi Romeo and Juliet (hal. 32) yang kutemukan di versi Gramedia. Atau Funeral March of a Marionette (hal. 32) seharusnya tetap saja ditulis sebagai La marche funebre d’une marionette karena toh kita sebagai pembaca tak butuh memahami arti judul sebuah pertunjukan opera, justru judul dalam bahasa Prancis (yang tak kita mengerti) itu lebih mengesankan sebagai judul sebuah pertunjukan opera di Prancis. Apalagi pada bagian “Le Roi de Lahore” harusnya kata “Le” tidak dihilangkan sehingga menjadi “Roi de Lahore” (hal. 50), karena dalam bahasa Prancis selalu ada kata sandang (le) di depan kata benda (roi). Le Roi adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan begitu saja.

Bagaimana pun juga, kita harus berterima kasih kepada kedua penerbit yang telah mempersembahkan yang terbaik demi menyuguhkan sebuah bacaan klasik sepanjang masa The Phantom Of The Opera ini. Mana yang terbaik? Tak ada menurutku. Pilihan tentu saja ada di tangan anda masing-masing. Apakah anda menginginkan edisi yang enak dibaca dan bagus untuk dikoleksi dengan cover yang elegan dan jenis kertas serta cetakan yang ekslusif? Atau anda lebih mementingkan keutuhan isi buku aslinya yang lebih klasik daripada jenis kertas dan cetakan biasa-biasa, tapi toh dikemas dalam cover yang sangat pas mewakili isinya? Kalau anda masih saja bingung, itu bukan salahku. Aku telah berusaha menjelaskannya selengkap mungkin. Sekarang giliran anda memilih, namun pastikan anda memilih untuk membaca The Phantom Of The Opera ini! Selamat membaca...