Wednesday, February 29, 2012

The Murder of Roger Ackroyd

Andai pria eksentrik yang sudah pensiun dari profesinya itu tidak memilih kota kecil bernama King’s Abbot untuk melewatkan masa tuanya dengan bertanam labu, pasti pembunuhan itu takkan pernah terungkap.

Serangkaian peristiwa kematian telah terjadi di kota kecil King’s Abbot. Setelah Mr. Ferrars meninggal—banyak orang menduga ia diracuni istrinya—kini King’s Abbot tiba-tiba dikejutkan oleh kematian sang janda itu sendiri. Di rumah Dokter Sheppard terjadi pembicaraan seru akan penyebab kematian Nyonya Ferrars. Caroline, kakak perempuan Dokter Sheppard yang kerjaannya mengorek informasi—dan menyebarkannya secepat ia mendapatkannya—yakin bahwa Nyonya Ferrars bunuh diri karena menyesali perbuatannya. Benarkah demikian?

Selama ini desas-desus telah menyebar di kota bahwa Nyonya Ferrars adalah kekasih Roger Ackroyd, pria terkaya di kota yang memiliki rumah besar bernama Fernly Park. Kematian Nyonya Ferrars mengejutkan Ackroyd, maka ketika ia berjumpa dengan Dokter Sheppard sahabatnya, Ackroyd pun mengundang sang dokter untuk makan malam di rumahnya.

Sementara itu keluarga Sheppard memiliki hal lain yang patut diperdebatkan. Yaitu kedatangan tetangga baru misterius mereka di rumah sebelah. Seorang pria tua pensiunan dari—entah apa pekerjaannya—yang ingin menyendiri dari kebisingan dunia. Caroline yang jago mengorek rahasia orang pun menyerah kalah dan tak bisa menebak jati diri pria misterius yang sedang gemar bertanam labu itu.

Kembali ke Fernly Park, saat Dokter Sheppard datang untuk makan malam, kita pun diperkenalkan kepada tokoh-tokoh kisah ini. Ada Mrs. Ackroyd, ipar Roger Ackroyd yang menjanda; lalu Flora Ackroyd putrid semata wayangnya. Lalu para bawahan Ackroyd: Raymond sang sekretaris efisien, Mrs. Russel si pengurus rumah tangga, dan Parker si kepala pelayan. Dari luar keluarga, ada Hector Blunt—sahabat keluarga yang pendiam dan sedang menginap di sana. Sebenarnya Ackroyd memiliki seorang putra yang bandel dan sering terlibat kesulitan bernama Ralph Paton, yang saat itu sedang jauh dari rumah.

Malam itu merupakan malam terakhir Roger Ackroyd di dunia. Karena hanya beberapa saat setelah Dokter Sheppard tiba di rumah kembali, sebuah panggilan telepon masuk membawa berita bahwa Roger Ackroyd ditemukan telah meninggal dunia di ruang kerjanya. Pasti itu terjadi gara-gara surat yang diterimanya malam itu. Surat terakhir Nyonya Ferrars yang mungkin akan mengungkap jatidiri orang yang selama ini memerasnya. Pemerasan yang harus ia alami karena ada orang yang mengetahui bahwa ia telah meracuni suaminya. Pemerasan yang terlalu menekannya sehingga membuatnya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Itulah sebabnya Roger Akroyd kini harus mati…

Polisi segera dipanggil, dan penyelidikan pun segera berlangsung. Namun Flora Ackroyd secara pribadi mengajak Dokter Sheppard untuk berkunjung ke rumah si tetangga misterius, yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot yang sedang menjalani masa pensiunnya! Ya, M. Poirot sang detektif ternama yang telah membongkar banyak misteri pembunuhan itu ternyata tinggal di King’s Abbot. Dan gara-gara pembunuhan Roger Ackroyd, buyarlah rencananya untuk menyepi sambil bertanam sayuran.

Seperti biasanya Hercule Poirot langsung beraksi dengan keunikan-keunikannya—dibantu oleh sel-sel kecil kelabu otaknya yang sangat dibanggakan itu. Menggantikan posisi Hastings, sahabat yang dikasihi dan dirindukannya, ia menawarkan kesempatan kepada Dokter Sheppard untuk menyelidik bersama. Satu persatu petunjuk terkuak, dan tiap kali selalu menunjuk ke Ralph Paton sebagai pelakunya. Motif, kesempatan, dan kenyataan bahwa Ralph menghilang begitu saja begitu pembunuhan itu terjadi. Benarkah ia pelakunya? Atau seperti biasanya, si pelaku adalah orang yang paling tak mungkin sebagai pelakunya?

The Murder of Roger Ackroyd ini ditulis dalam bentuk sebuah catatan yang ditulis oleh Dokter Sheppard (mencontoh Hastings). Dengan demikian, kisah ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama. Dengan piawainya Agatha menulis buku ini seolah memang ditulis oleh pribadi Dokter Sheppard. Seolah lewat kisah ini pula kita mengenal Dokter Sheppard secara personal. Yang jelas, ada perbedaan yang signifikan dengan gaya penulisan kasus Poirot yang dikisahkan oleh Hastings.

Sebenarnya ini adalah kali ketiga aku membaca buku ini. Waktu pertama membaca, aku baru bisa menduga-duga pelakunya pada bab terakhir. Dan memang, kasus ini adalah kasus yang paling tak terduga endingnya dari semua karya Agatha Christie yang pernah kubaca. Bahkan saat kedua dan ketiga aku membaca ulang, aku masih terkesima dengan kepiawaian Agatha untuk menyusupkan petunjuk-petunjuk mulai dari awal kisah. Seperti yang selalu dikatakan Poirot kepada Hastings maupun Dokter Sheppard, kita selalu disediakan semua petunjuk yang ada dari semula. Yang harus kita lakukan adalah tidak mempercayai suatu fakta sebelum terbukti kebenarannya. Dengan membersihkan otak (dan emosi) dari semua praduga, maka mungkin kita akan bisa menyelami pikiran Hercule Poirot dengan sel-sel kelabu kecil milik kita sendiri. Tapi…kalau kita telah tiba pada tahap itu, bukankah membaca novel misteri Agatha Christie akan menjadi membosankan? Aku pribadi lebih suka menikmati kisah-kisah ini apa adanya, apalagi Agatha selalu menyediakan studi psikologi yang menarik dari profil pembunuhnya, seperti juga si pembunuh Roger Ackroyd di kisah ini. Sangat menarik!

Pembunuhan Atas Roger Ackroyd—yang menjadi judul terjemahan buku ini—merupakan salah satu dari 3 karya terfavoritku dari Agatha Christie. Buku ini juga satu-satunya karya Agatha yang masuk ke dalam daftar 1001 books to read before you die. Lima bintang untuk buku ini!

Judul: The Murder of Roger Ackroyd
Judul terjemahan: Pembunuhan Atas Roger Ackroyd
Penulis: Agatha Christie
Penerjemah: Maria Regina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 1990
Tebal: 338 hlm

Tuesday, February 28, 2012

[A Classic Challenge] February #2: Dr. Sheppard

Untuk A Classic Challenge bulan Februari yang kedua, aku mengambil seorang tokoh dari buku The Murder of Roger Ackroyd by Agatha Christie (awas **SPOILER** Jangan teruskan membaca kalau anda belum membaca bukunya!) :

**Dokter Sheppard**

What phrases has the author used to introduce this character?
Inilah uniknya! The Murder of Roger Ackroyd ini ditulis seolah-olah sebagai catatan yang ditulis oleh Dokter Sheppard sendiri, maka tentu saja tak pernah ada perkenalan khusus terhadapnya. Kita hanya membaca terus, dan akhirnya tahu sepotong demi sepotong tentang dirinya. Dan setelah kupikirkan lagi, ternyata hingga tamat membaca, aku masih belum “kenal” sepenuhnya dengan Dokter Sheppard. Mungkin karena ia memang tak suka menonjolkan diri di dalam tulisannya, persisi seperti kata Hercule Poirot.

What are your first impressions of them?
Aku membayangkan Dokter Sheppard sebagai pria tua yang “lembek” dan tak berani melakukan hal-hal besar. Hal itu juga tersirat dari perkataan Caroline bahwa Dr. Sheppard selalu lemah dalam kepribadian. Juga dari fakta bahwa menurut Hercule Poirot, Dr. Sheppard selalu “sembunyi di balik layar” dalam catatan yang ditulisnya mengenai kasus pembunuhan Roger Akcroyd.

Find a portrait or photograph that closely embodies how you imagine them.

Sosok Dokter Sheppard dalam film

How has the character changed?
Meski awalnya aku mengira Dr. Sheppard tak berani melakukan hal-hal besar, tapi kenyataannya, ia justru sanggup membunuh dengan darah dingin.

Has your opinion of them altered?
Saat pertama membaca, aku memang menganggap Dr. Sheppard sebagai pengganti Hastings, yakni pendamping Poirot dalam menyelidiki suatu kasus, sekaligus menuliskannya sebagai (calon) buku. Tapi saat mengetahui endingnya, yah…tentu saja kini aku melihat Dr. Sheppard sebagai pembohong. Tapi kalau melihat bahwa ia memang berkepribadian lemah, sebenarnya tak heran juga bahwa ia akan jadi pemeras.

Are there aspects of their character you aspire to? or hope never to be?
Tak ada yang layak diteladan dari sosok Dokter Sheppard, justru aku berharap takkan pernah keinginan untuk membunuh melintas di pikiranku walau sedetikpun, seburuk apapun keadaanku. Selalu ada titik terang di ujung terowongan gelap!

What are their strengths and faults?
Kekuatannya? Hmm…harusnya keahlian Dokter Sheppard dalam mengutak-atik mesin digunakan untuk hal yang lebih berguna, ketimbang untuk menciptakan alat bantu pembunuhan…

Kelemahannya sangat jelas. Uang. Serakah. Itulah yang awalnya membuat ia melihat peluang untuk melakukan pemerasan. Lagipula sosok seperti Dokter Sheppard hanya focus pada diri sendiri, tak sekalipun ia memikirkan diri Ralph Paton yang hendak ia jadikan kambing hitam. Ia juga tak menyesali perbuatannya pada Nyonya Ferrars yang membuat si janda bunuh diri, atau pada Rober Ackroyd yang selama ini mempercayainya.

Do you find them believable? If not, how could they have been molded so?
Di dunia ini sangat banyak pribadi-pribadi lemah, tamak seperti Dokter Sheppard.

Would you want to meet them?
Tidak. Sama sekali tidak!

Sunday, February 26, 2012

Les Miserables

Les Miserables. Dua kata dalam bahasa Prancis yang semenjak aku kecil telah menarik hatiku. Padahal saat itu aku bahkan tak tahu apa artinya. Selain merupakan judul buku karya salah seorang penulis klasik terbesar dunia--Victor Hugo, Les Miserables juga telah banyak dimainkan sebagai drama maupun film. Baru tahun ini aku berhasil mendapatkan versi terjemahannya (berkat penerbit Bentang Pustaka). Ternyata, arti kata Les Miserables tidaklah seeksotik kedengarannya. Les Miserables dapat diartikan sebagai para jembel (the miserable ones atau the poor ones). Memang bahasa Prancis selalu mampu menyulap semua kata menjadi terdengar indah bukan?

Kembali pada Les Miserables, novel ini bernuansa ganda. Di satu sisi, Hugo hendak menyoroti situasi sosial di Prancis--khususnya Paris pada sekitar tahun 1832, di mana para jembel--atau yang dalam kisah ini diwakili mahasiswa dan masyarakat menengah ke bawah, melakukan pemberontakan yang disebut Pemberontakan bulan Juni (June Rebelion). Di sisi lain, Hugo juga ingin menggambarkan bagaimana kebaikan dan kejahatan selalu berperang dalam batin manusia. Dengan kata lain, manusia selalu memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi jahat yang selalu berperang. Sisi mana yang akan menang, semua tergantung pada diri kita sendiri. Namun bagaimana pun juga, sisi gelap manusia akan selalu membayanginya, sekeras apapun ia berusaha memenangkan sisi baiknya.

Dalam kisah ini, Hugo memakai tokoh Jean Valjean untuk menggambarkan "perang" itu. Gara-gara mencuri sepotong roti, lalu dihukum kerja paksa di sebuah kapal, menjadikan jiwa Valjean muda menjadi gelap. Setelah sembilan belas tahun mengalaminya, ia akhirnya bebas. Bebas dari kerja paksa, namun tak bebas dari stempel "narapidana" yang terus menempel pada dirinya. Dan kalau kita membaca terus, tampaknya pengaruh buruk dari penghukuman itu juga terus membayangi dirinya.

Valjean tiba di kota D____ (yang identitasnya disembunyikan dalam versi novel ini, dan sebenarnya adalah kota Digne), dan merasakan keramahan dan kepercayaan seorang uskup yang baik hati. Meski perlakuan baik sang Uskup menghangatkan hatinya, mau tak mau kecenderungan untuk berbuat jahat tetap muncul dalam diri Valjean. Valjean lalu melarikan diri ke kota M___ sur M___ (Montreuil sur Mer), dan berkat kecerdikannya, berhasil menjadi pengusaha dengan menggunakan nama Monsieur Madeleine. Ia bahkan akhirnya menjadi walikota. Namun bayangan kejahatannya di masa lampau kembali mengejarnya dalam bentuk seorang Inspektur Polisi berdedikasi bernama Javert. Di sini sisi baik dan sisi jahat Valjean berperang lagi.

Melarikan diri lagi, Valjean pun bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya di novel ini, perempuan malang bernama Fantine yang memiliki putri kecil bernama Cosette. Fantine menitipkan Cosette pada keluarga Thenardier, yang ternyata adalah keluarga jahat dan pemeras. Valjean lalu menjadikan Cosette putrinya, dan berpindah lagi ke ibukota Prancis, Paris. Meski selama itu Valjean berusaha hidup dengan baik, bayangan kelam masa lalu tetap mengikutinya. Ketika Cosette dewasa dan mulai jatuh cinta pada pemuda Marius, Paris dilanda pemberontakan oleh mahasiswa dan masyarakat miskin. Mau tak mau, para tokoh kita pun terlibat di dalamnya. Bermunculan juga di bagian ini para tokoh mahasiswa.

Terus terang, aku agak terganggu dengan narasi panjang yang disuguhkan Hugo mengenai ekskalasi politik yang berujung pada pemberontakan, yang memang tercatat dalam sejarah Prancis itu. Aku hampir tertidur membaca bagian ini, padahal aku tengah penasaran untuk mengetahui kelanjutan nasib Jean Valjean dan Cosette. Akhirnya aku terpaksa melompati beberapa bagian yang kurasa tak penting dan tak berkaitan langsung dengan kisah utama. Jujur saja, aku agak kecewa dengan Les Miserables ini. Aku lebih menyukai karya Victor Hugo lainnya, yaitu The Hunchback of Notre Dame yang sama-sama bersetting di Prancis.

Tampaknya, Hugo memiliki dua fokus cerita yang kemudian berusaha ia jalin menjadi satu. Antara sejarah sosial dan pergulatan batin seseorang. Menurutku sah-sah saja, namun kadang menjadikan novel ini jadi kehilangan gregetnya. Belum lagi, karena ada dua fokus cerita, tokoh-tokohnya menjadi begitu banyak, sehingga aku seringkali 'tersesat'. Untunglah endingnya lumayan menawan, sehingga memberikan kesan mendalam setelah Anda membacanya. Bagaimana pun, cara bertutur Victor Hugo yang khas dan menghibur tetap tak menghalangiku untuk meneruskan kisah ini hingga tamat, dan memberikan empat bintang baginya.

Review ini kupersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Victor Hugo yang jatuh tepat pada hari ini, tanggal 26 Februari 2012. Happy Birthday opa Hugo!

Judul: Les Miserables
Penulis: Victor Hugo
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juli 2008
Tebal: 602 hlm

Tuesday, February 21, 2012

[Classic Movie] Treasure Island


Buku karya Robert Louis Stevenson yang berjudul Treasure Island telah beberapa kali difilmkan. Kali ini yang kutonton adalah mini seri produksi BSkyB (UK) yang beredar awal tahun 2012. Diproduseri Laurie Borg, miniseri terbaru ini didukung oleh
beberapa nama besar seperti Elijah Wood yang memerankan Ben Hunn (anak buah Kapten Flint yang terdampar di Treasure Island), dan Donald Shutterland yang hanya muncul sekilas sebagai Kapten Flint.

Namun yang tampil paling menonjol di sini menurutku justru Eddie Izzard yang memerankan Long John Silver, si bajak laut berkaki satu dengan burung kakaktua-nya yang kemudian menjadi model bajak laut-bajak laut modern. Dengan ram
but plontos, tubuh atletis, mata tajam dan senyum sinis, Eddie Izzard suskes menghidupkan karakter Long John yang cerdik, tenang, disegani dengan sedikit humor. Ditambah ganteng pula!

penampakan asli Mr. Eddie Izzard

Sebaliknya, si tokoh utama protagonisnya, yaitu Jim Hawkins malah tenggelam dalam pesona Silver. Diperankan oleh Toby Regbo, di sini Jim masih tergambar sebagai cowok alim yang tiba-tiba terseret ke dalam petualangan berbahaya. Masih pas di awal cerita ketika ia ketakutan melihat Billy Bones (orang Jamaika di film ini) datang ke penginapan Admiral Benbow. Namun, ketika Jim Hawkins yang sama bertindak heroik menyelamatkan kapal Hispaniola dari tangan anak buah Silver, rasanya Toby Regbo agak terlalu “feminin”. Dokter Livesey yang di buku terkesan orang yang teguh dan berani, digambarkan agak terlalu feminin juga, serta agak pengecut di film ini. Yang perlu diacungi jempol juga adalah penampilan Elijah Wood sebagai Ben Hunn, yang terus terang saking “anehnya”, aku sampai tak mengira bahwa sosok di balik Ben Hunn yang memakai warna putih di sekitar mata itu adalah Elijah Wood.

Yang menarik (atau mengesalkan?) beberapa hal yang seingatku berbeda dari bukunya. Yang pertama adalah tokoh Mr. Trelawney—si hakim yang berangkat bersama dengan Jim dan Dokter Livesey memburu harta karun ke Treasure Island naik kapal Hispaniola. Di versi miniseri ini, Mr. Trelawney digambarkan sebagai tokoh yang angkuh dan serakah. Bahkan endingnya cukup mencengangkan [spoiler], saat di kapal dalam perjalanan pulang, Mr. Trelawney digambarkan ingin mengangkangi harta yang berhasil mereka angkut dari Treasure Island. Jim cepat-cepat memotong tali jala yang menghubungkan harta karun itu ke kapal, dan dengan demikian harta karun itu terjun bebas ke laut. Dan coba terka, apa yang dilakukan Mr. Trelawney? Ia ikut terjun ke laut, dan saking serakahnya hingga tak memedulikan nyawanya sendiri. Jelas berbeda dengan versi asli bukunya!

Yang kedua, keberadaan wanita kulit hitam yang digambarkan sebagai istri Long John Silver. Di versi aslinya, ia hanya disebutkan sepintas saja, tapi tak berperan di kisahnya. Di miniseri ini, ia dikisahkan berusaha mencuri perhiasan ibu Jim Hawkins yang terusir dari rumahnya yang disita. Rasanya, ibu Jim Hawkins juga tak dikisahkan tersendiri di bukunya.

Secara keseluruhan, versi miniseri ini lebih “dewasa” dan lebih menegangkan dari versi buku aslinya. Adegan-adegan di tengah lautan dan sosok para bajak lautnya juga asyik. Dan bagaimana pun, adaptasi kisah klasik selalu menggiring kita untuk bernostalgia kan? Dengan begini kita justru akan selalu ingat akan kisah-kisah menawan yang terus bergema sepanjang masa dari para penulis klasik dunia!

Trailer miniseri Treasure Island bisa dilihat di sini:

Friday, February 17, 2012

Back to The Classics Challenge 2012


Satu lagi reading challenge yang kuikuti untuk blog ini. Hosted by blogger luar, inilah challenge-nya. Ssstt...challenge ini ada hadiah undiannya kalau kita sukses menyelesaikan semua tantangannya.

  1. Challenge runs from January 1, 2012 through December 31, 2012. Books started before January 1st do not count, and all links/reviews/comments for each category must be posted in the correct place by December 31st. Feel free to join in at any time, but the end date is December 31.
  2. Please feel free to use books in this Challenge toward any other Challenge you may be participating in. However, you must read a different book for each category of this challenge. Audio and e-books are allowed.
  3. Please sign up for the Challenge using the linky list (or comment section if you do not have a blog/website). If you would be so kind, please spread the word about this challenge by creating a post on your blog/website and link back to this sign up page.
  4. Once the Challenge has begun, you will see a new bar on the left hand side of this blog. This will list the places for you to link/comment your reviews of the book you have read for each category as well as a "wrap up" page. I will not be doing monthly check-in posts this year. I will probably do a "Half Way" post in June. These will be important because....
  5. THERE IS A PRIZE THIS YEAR! People who complete the challenge (and I will check that all categories are completed!) will be entered into a random drawing for $30 worth of books (Book Depository will be used for an International Winner). I may have other prizes as well. Make sure you are following me via GFC, Email, Twitter, or Facebook/Networked Blogs so you are in the know!

Dan ini kategory tantangan yang harus kita selesaikan, beserta calon buku yang akan kubaca untuk masing-masing tantangan:


Any 19th Century Classic -- The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde (READ)

Any 20th Century Classic -- Lord of the Flies by William Golding (READ)


Reread a classic of your choice -- The Murder of Roger Ackroyd by Agatha Christie (READ)

A Classic Play -- A Midsummer Night's Dream -- by William Shakespeare (READ)

Classic Mystery/Horror/Crime Fiction -- The Adventures of Sherlock Holmes by Sir Arthur Conan Doyle (READ)


Classic Romance -- Love in the Time of Cholera by Gabriel Garcia Marquez (READ)


Read a Classic that has been translated from its original language to your language -- A Tale of Two Cities by Charles Dickens (READ)
To clarify, if your native language is NOT English, you may read any classic originally written in English that has been translated into your native language.


Classic Award Winner -- Gone With The Wind by Margaret Mitchell
To clarify, the book should be a classic which has won any established literary award. (READ)


Read a Classic set in a Country that you (realistically speaking) will not visit during your lifetime -- Doctor Zhivago by Boris Pasternak (READ)
To Clarify, this does not have to be a country that you hope to visit either. Countries that no longer exist or have never existed count.


Total ada 9 kategori yang boleh kita selesaikan hingga akhir tahun ini. Tertarik? Silakan meluncur ke sini.

Thursday, February 16, 2012

[A Classic Challenge] February #1: Sidney Carton

Tema tantangan challenge ini untuk bulan Februari adalah : “Character”. Aku akan bikin dua kali, masing-masing untuk buku klasik yang aku baca bulan ini. Ini yang pertama, diambil dari A Tale of Two Cities by Charles Dickens:

**Sydney Carton**

What phrases has the author used to introduce this character?
Penulis menyisipkan tokoh Sydney Carton beberapa kali sebelum pembaca mengetahui siapa dia. Secara garis besar, Carton digambarkan sebagai:

“Pria berambut palsu yang nampak sedang berkonsentrasi menatap langit-langit ruang pengadilan.”

“Tuan Carton, duduk bersandar, dengan jubahnya yang tersingkap, rambut palsu yang diletakkan begitu saja setelah tadi dilepas, tangannya di dalam kantungnya, dan matanya menatap langit-langit seperti yang telah dilakukannya sepanjang hari.”

What are your first impressions of them?
Awalnya aku membayangkan Sydney Carton adalah pria yang cuek dengan dandanan tak rapi, napas berbau alkohol, wajah muram—pokoknya pria dengan ‘aura’ pecundang yang tak layak diperhatikan. Meski kalau mau dicermati, sebenarnya ada sedikit ketampanan pada dirinya.

Find a portrait or photograph that closely embodies how you imagine them.


How has the character changed?
Di awal kisah, Sydney Carton adalah orang yang tidak punya wibawa, minder, dan cenderung diabaikan orang karena tak pernah melakukan sesuatu yang berarti. Namun berkat cintanya yang besar pada Lucie, Carton mampu berubah menjadi sosok pahlawan. Tiba-tiba saja dia dengan tegas dan tangkas merencanakan pelarian keluarga Manette dan Lorry dari Prancis. Kali ini—alih-alih menunggu perintah Lorry—justru Carton lah yang berinisiatif dengan percaya diri. Selain itu, pengorbanannya untuk Darnay jelas adalah tindakan yang paling pahlawan yang bisa dibayangkan orang.

Has your opinion of them altered?
Pasti. Kalau awalnya aku sebal pada Sydney Carton yang payah, kini aku membayangkan saat Carton hendak dihadapkan pada hukuman. Bagaimana wajahnya bercahaya sambil menggenggam tangan wanita yang dihukum bersamanya itu. Sydney bukanlah pecundang, ia pahlawan!

Are there aspects of their character you aspire to? or hope never to be?
Meski mungkin aku tak sanggup menjalani pengorbanan yang se-dahsyat yang dilakukan Sydney Carton, tapi sikapnya membuat aku makin menyadari bahwa cinta menumbuhkan keberanian, termasuk keberanian untuk berkorban. Karena ketika cinta mendasari pengorbanan, tindakan itu bukan lagi pengorbanan, melainkan sesuatu yang kita ingin lakukan demi orang yang kita kasihi.

Yang jelas, aku tidak berharap menjadi sosok Carton sebelum berubah…

What are their strengths and faults?
Mungkin kekuatan Carton terletak pada cintanya yang tulus dan kuat. Jenis cinta sejati yang tidak mengarah pada diri sendiri tapi tertuju pada orang yang ia cintai. Ia tak segan-segan melakukan apa saja tanpa ragu, demi orang yang ia cintai. Dan perasaan itu tak berubah meski orang yang dicintai lebih memilih orang lain. Cinta yang sejati tak mengenal cemburu!

Kelemahannya adalah sekian lama ia hidup dengan menyia-nyiakan hidup karena berpikir bahwa dirinya payah dan pecundang. Andai Carton memiliki pandangan yang lebih terbuka dari awal, mungkin hidupnya akan berubah, dan ia akan menemukan kebahagiaan.

Do you find them believable? If not, how could they have been molded so?
Tentu saja. Banyak orang di dunia ini seperti Sydney Carton. Percaya bahwa diri mereka tak berguna, padahal mereka hanya belum pernah mencoba saja.

Would you want to meet them?
Tentu saja aku ingin bertemu Sydney Carton, tapi saat dia sudah berubah. Aku paling tidak tahan berdekatan dengan orang yang pesimis

Monday, February 13, 2012

[Classic Movie] Oliver Twist

Kegiatan apa yang paling pas dilakukan di bulan Februari ini dalam rangka Bicentennial-nya Charles Dickens, selain mengapresiasi semua bentuk karya-karya Dickens? Selain membaca buku, aku menyempatkan diri menonton film adaptasi kisah Oliver Twist.

Film yang kutonton di DVD ini adalah versi terbaru yang beredar tahun 2005. Nama Roman Polanski sebagai produsernya membuat DVD film ini layak dibeli. Dan ternyata benar, aku suka banget film ini karena jalan ceritanya sama persis dengan yang ada di buku. Selain itu, suasana abad 19 amat terasa di film ini.

Di jajaran para aktor/aktrisnya, yang paling menarik perhatian adalah Ben Kingsley yang memerankan Fagin. Kupikir, peran Fagin di film ini sangat kuat. Dan percaya atau tidak, sosok si Fagin yang kubayangkan lewat buku, ternyata mewujud dengan persisnya di dalam sosoknya di film. Dan seperti juga di bukunya, di mana Oliver Twist digambarkan sebagai bocah yang lemah dan rapuh, Barney Clark tampil di film ini seperti itu juga. Lemah, rapuh, tampan-imut-cenderung-manis, menimbulkan belas kasihan siapa pun yang melihat.

Yang lebih keren lagi, aku baru menyadari bahwa versi terjemahan Oliver Twist terbitan Bentang yang kubaca, mengambil gambar cover-nya dari film ini! Sehingga saat aku membacanya, memang aku mengimajinasikan sosok Oliver seperti di covernya. Mungkin karena itu, aku langsung merasa "klik" dengan Oliver di layar televisiku.

Secara keseluruhan, aku sangat suka film yang tidak mengubah cerita aslinya seperti ini, dan digarap dengan sangat baik pula. Mungkin anda yang memiliki putra/putri, dapat menggugah kecintaan anak-anak anda pada karya klasik, salah satunya dari film ini.

Trailernya dapat anda tonton di sini:




Judul film: Oliver Twist
Produser: Roman Polanski
Produksi: Sony Pictures
Screenplay: Ronald Harwood
Pemeran : Ben Kingsley (Fagin), Barney Clark (Oliver Twist)
Beredar: 2005, di DVD 2006

Friday, February 10, 2012

Doctor Zhivago

Nama yang menjadi judul buku ini merupakan sisa-sisa kenangan masa kecilku. Entah pada usia berapa, aku ingat pernah diajak menonton bioskop oleh kedua orangtuaku. Ingatan samar-samarku hanya berisi judul film itu—Doctor Zhivago, tokoh utama prianya yang berkumis tebal (kelak aku tahu pemerannya adalah Omar Sharif), dan adegan—entah awal atau akhir film—seseorang berlari di tengah kemuningnya ladang. Yang paling jelas kuingat justru theme song film ini, yakni lagu Somewhere My Love. Setelah aku dewasa, aku baru mengetahui bahwa film Doctor Zhivago diambil dari sebuah buku yang ditulis Boris Pasternak. Dan kini, lebih dari 30 tahun setelah nonton film itu, barulah aku memiliki kesempatan untuk membaca bukunya.

Doctor Zhivago bersetting di Rusia pada awal abad 20, tepatnya setelah Perang Dunia I. Kisah dibuka dengan sebuah pemakaman. Saat itu Zhivago kecil menjadi yatim piatu setelah ibunya meninggal, sementara ayahnya sudah lebih dulu tiada. Yura—panggilan Zhivago kecil—kemudian diantar oleh pamannya menuju kediaman orang tua angkatnya: keluarga Gromeko. Kemudian kisah berpindah ke sudut pandang seorang bocah teman sekolah Yura yang bernama Misha Gordon. Misha sedang mengingat-ingat kejadian tragis bunuh dirinya seorang pria di kereta api yang ia tumpangi bersama keluarganya. Ternyata pria itu adalah seorang pengusaha bernama Zhivago, yang tak lain dan tak bukan ayah si Yura kecil.

Dari kedua intro itu, kita bisa mulai mengenal gaya bertutur Boris Pasternak. Ia bercerita dari sudut pandang banyak orang, kadang berupa dialog panjang, kadang narasi. Di tiap bab kita akan dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Seolah-olah ada begitu banyak kepingan-kepingan puzzle yang tak beraturan dan tak berhubungan. Dan semuanya itu ia jalin sedemikian rupa hingga pelan-pelan terjawablah semua pertanyaan dan terbangunlah sebuah kisah yang menawan.

Kembali ke kisah awal, selain Yura dan Misha, kita pun diperkenalkan pada beberapa tokoh penting lainnya. Ada Tonia (putri keluarga Gromeko) yang kelak menikah dengan Yura—menjadi Yurii Zhivago setelah dewasa. Lalu Lara (Larisa Feodorovna—nama yang cantik bukan?) gadis cantik yang terlalu cepat dewasa dan terlibat affair dengan pengacara keluarga dan pacar ibunya: Komarovsky. Ada juga Pasha, pemuda yang juga tinggal di rumah keluarga di mana Lara tinggal. Lara akhirnya menikahi Pasha dalam kekalutannya akibat hubungannya dengan Komarovsky.

Awalnya kisah mereka tampak tak berhubungan, baru di bab 2 lah Pasternak “mempertemukan” mereka semua dalam sebuah insiden. Setelah itu pecahlah revolusi di Petersburg—yang menurunkan Tsar—dan dimulailah perubahan besar-besaran bagi rakyat Rusia, yang diwakili oleh tokoh-tokoh kita. Melalui mereka semua, kita bisa melihat bagaimana rakyat yang tak bersalah mau tak mau terseret dalam arus perubahan yang dibawa kelompok-kelompok radikal. Bukan saja menjadi miskin secara fisik, namun perang juga memporak-porandakan keluarga.

Pasha bergabung dengan militer karena kecewa dengan perkawinannya. Yurii telah menjadi dokter dan bertugas di Medical Unit. Saat istrinya tengah melahirkan di rumah sakit, Yurii terkena ledakan. Dan ketika siuman, ia dipertemukan dengan Lara yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit di mana Yurii dirawat. Di titik ini cinta pun tumbuh. Yurii yang sudah sejak kecil memuja Lara meski tetap setia pada Tonia, dan Lara yang mendengar isu bahwa Pasha telah tewas dan baru menyadari bahwa ia tak sepenuhnya mencintai Pasha.

Dari curahan hati Yurii kepada Lara sebelum mereka berpisah, kita dapat memahami apa yang dialami manusia saat perang, yaitu bahwa mereka mau tak mau telah berubah (atau dipaksa berubah oleh perang). Yurii kembali ke Moskow karena tak tahan dengan revolusi, mencoba untuk menemukan kembali hidupnya yang lama bersama Tonia dan putranya: Sasha. Ternyata saat itulah Sovyet akhirnya menguasai Rusia, dan di musim dingin yang tak bersahabat, bencana kemiskinan menghadang. Keluarga Zhivago pun memutuskan untuk pindah ke sebuah kota kecil Varykino.

Akankah Yurii, sang doctor Zhivago mampu menyelamatkan keluarganya? Dapatkah ia--yang telah berubah dalam pribadi dan pemikiran--menjalani kembali hidup yang sama seperti sebelum perang? Bagaimana dengan cintanya yang terbagi antara Tonia dan Lara? Mengapa sebenarnya Yurii mencintai Lara? Dan bagaimana dengan nasib Lara sendiri? Dengan amat perlahan Boris Pastermak akan membawa anda menemukan jawaban-jawabannya, sampai pada akhir kisah ini, yang boleh dibilang tragis namun indah.

Lewat Doctor Zhivago, Pasternak hendak menyoroti efek-efek negatif perubahan yang sedang terjadi di negara Rusia. Seperti kita ketahui, begitu Perang Dunia I usai, kaum proletarian menggulingkan rezim Tsar. Pemerintahan monarki pun tumbang, namun dalam gejolak saat itu—saat di mana belum jelas siapa yang akan berkuasa—seluruh rakyat Rusia turut menderita dalam jungkir baliknya kondisi negara.

“All customs and traditions, all our way of life, everything to do with home and order, has crumbled into dust in the general upheaval and reorganization of society. The whole human way of life has been destroyed and ruined.” ~hlm. 421 (Lara)

“The war is to blame for everything, for all the misfortunes that followed and that hound our generation to this day.” ~hlm. 422 (Lara).

Doctor Zhivago adalah kisah tentang percintaan dan tragedi yang dihadapi manusia. Namun jangan membayangkan nuansa gelap selalu menaungi kisah ini, karena dengan lihainya Pasternak menghujani kita dengan metafora-metafora indah di sepanjang buku ini. Metafora itu membuat hal-hal nan sederhana menjadi terasa begitu indah. Aku kutip beberapa agar anda bisa merasakan sedikit keindahan yang membuatku jatuh cinta pada buku ini!

“It was a clear, frosty autumn night. Thin sheets of ice crumbled under his steps. The sky, shining with stars, threw a pale blue flicker like the flame of burning alcohol over the black earth with its clumps of frozen mud.” ~hlm. 113.
“In the foreshortened view from the bunk it looked as if the train were actually gliding on the water. Only here and there was its smoothness broken by streaks of a metallic blue, but over all the rest of its surface the hot morning sun was chasing glassy patches of light as smooth and oily as melted butter that a cook brushes with a feather on a pie crust.” ~hlm. 246.

Bisakah anda membayangkan pemandangan yang melahirkan untaian kalimat seindah itu? Itulah sebabnya diperlukan waktu yang lama dan suasana yang mendukung untuk membaca buku ini. Bila anda membacanya tergesa-gesa dan hanya mengambil inti cerita saja, anda akan melewatkan banyak keindahan—yang menjadi kekuatan utama buku ini.

Empat bintang untuk Doctor Zhivago, kuhadiahkan kepada Boris Pasternak yang—andai beliau masih hidup—tengah berulang tahun ke 122 tahun tepat pada hari ini, 10 Februari 2012!

Pada akhirnya, perang dan revolusi itu selalu menghasilkan penderitaan, namun toh keduanya diperlukan demi membangun sesuatu yang lebih baik di masa depan: kebebasan. Seperti yang dikatakan Boris Pasternak dalam epilog:

“Although victory had not brought the relief and freedom that were expected at the end of the war, nevertheless the portents of freedom filled the air throughout the postwar period, and they alone defined its historical significance.” ~hlm. 544.
versi film th. 1965 dengan Omar Sharif sebagai Dr. Zhivago & Julie Christie sebagai Lara

Judul: Doctor Zhivago
Penulis: Boris Pasternak
Penerbit: Pantheon Books, Inc.
e-book source: The New American Library
Terbit: unknown
e-pages: 615 hlm

Tuesday, February 7, 2012

A Tale of Two Cities: Kisah 2 Kota


Diperlukan sebuah pengorbanan besar demi mencapai sesuatu yang lebih baik. Tampaknya pesan inilah yang hendak diusung oleh Charles Dickens dalam salah satu masterpiece-nya, yang menjadi salah satu novel paling terkenal dalam sejarah penerbitan literatur di dunia ini: A Tale of Two Cities. Dan pengorbanan itu berlaku dalam cinta maupun dalam tatanan kehidupan, seperti halnya buku ini berkisah tentang cinta dan kesengsaraan hidup. Revolusi Prancis merupakan tonggak perubahan dalam negara itu; pergolakan rakyat kelas bawah terhadap kekejaman dan keserakahan kaum aristrokat yang selama itu berkuasa. Meski demikian—sesuai judulnya—A Tale of Two Cities ini tidak hanya ber-setting di Prancis saja, namun juga di London.


Kisah dibuka dengan perjalanan seorang bankir Inggris bernama Tuan Jarvis Lorry dari Inggris ke Prancis demi membawa pulang seorang pria yang telah 18 tahun dipenjara dengan tidak adil, meski tak bersalah. Pria itu adalah Dokter Manette. Bersama dengan Tuan Lorry, ikut juga Lucie Manette—anak gadis Dokter Manette—yang mengira ayahnya selama ini telah meninggal. Saat itu Dokter Manette tinggal di rumah pemilik kedai anggur bernama Defarge, yang dulu adalah pelayan sang dokter. Ada sesuatu yang aneh di kedai anggur ini, yaitu Madame Defarge yang selalu duduk diam sambil merajut. Ya, ia tak henti-hentinya merajut. Acuh pada keadaan sekelilingnya dan tetap konsentrasi pada rajutannya. Apa yang dirajutnya itu? Ternyata jawabannya kelak erat berkaitan dengan inti kisah ini…



ilustrasi kedai anggur Defarge, dengan Mme Defarge yang asyik merajut

Singkat kata, Tuan Lorry berhasil menyelamatkan Dokter Manette sehingga sang Dokter hidup berbahagia dengan putrinya, Lucie di Inggris. Namun ketenangan mereka tak berlangsung lama. Suatu hari mereka harus menjadi saksi di pengadilan seorang pemuda bernama Charles Darnay, yang dituduh sebagai pengkhianat negara. Saat itu Darnay dan Lucie langsung jatuh cinta. Kelak ketika Darnay hendak menikahi Lucie, barulah Dokter Manette mengetahui bahwa Charles Darnay sebenarnya adalah kemenakan Marquis Evrémonde yang kejam—lambang eksploitasi kaum aristokrat terhadap rakyat miskin di Prancis pada jaman itu. Charles Dickens menggambarkan kekejaman itu lewat acuhnya sang Marquis ketika kereta kudanya yang melaju cepat menabrak seorang bayi di jalanan. Tak heran bila kemudian rakyat pun berontak dengan membunuh dan membakar kastil sang Marquis. Di titik ini benih-benih pemberontakan rakyat miskin yang telah lama tertindas mulai tumbuh. Lalu bagaimana dengan kemenakannya? Karena muak dengan kesemena-menaan kaum aristrokasi, Darnay melarikan diri dari Prancis sambil melepaskan kebangsawanannya, lalu tinggal sebagai rakyat biasa di London.

Bersamaan dengan lamaran Darnay untuk mempersunting Lucie, ada seorang pengacara malas, pemabuk dan selalu berpenampilan acak-acakan yang juga menyatakan cintanya kepada Lucie. Si pengacara—Sydney Carton namanya—secara tak langsung telah menyelamatkan Darnay dari tiang gantungan saat di pengadilan dulu, berkat wajah mereka berdua yang mirip. Sejak pengadilan itu, Carton menjadi sahabat keluarga Manette selain Tuan Lorry. Sydney Carton adalah contoh manusia yang tak berguna dan takkan pernah menjadi orang penting, apalagi pahlawan. Namun demikian, saat menyatakan cintanya pada Lucie, Carton berjanji bahwa ia bersedia untuk mengorbankan apa saja demi Lucie dan semua orang yang dicintainya.

Sementara itu benih-benih kebencian yang selama ini telah ditaburkan oleh kejahatan kaum aristrokat perlahan-lahan bersemi dalam bentuk pergerakan rakyat miskin. Dengan kata sandi “Jacques”, topi khas warna merah dan emblem tiga-warna, kelompok ini mempersenjatai para petani dan pekerja, dan pada hari paling bersejarah bagi Prancis—14 Juli 1789—mereka pun merebut penjara Bastille dan dengan demikian mengakhiri kekuasaan monarki. Kaum bangsawan dan keluarganya ditangkap dan dibantai. Di sinilah diperkenalkan alat penyiksa terbaru yang kemudian menjadi sangat terkenal—terkenal karena kekejamannya tentu saja: La Guillotine. Charles Darnay adalah salah satu calon korban sang “wanita tajam” ini (sebutan yang ironis terhadap guillotine yang dalam bahasa Prancis merupakan kata benda yang menyandang “genre” feminine). Karena Darnay adalah keturunan bangsawan, maka ia beresiko untuk dihukum mati pula.

ilustrasi perebutan Penjara Bastille



ilustrasi dandanan para revolusioner

Maka sekali lagi, kawan-kawan kita dihadapkan pada masalah yang pelik. Rencana penyelamatan harus kembali disusun, meski nampaknya sia-sia berkat sebuah rahasia besar yang hingga saat itu baru terungkap. Berhasilkah mereka? Dan kalau begitu, siapakah pahlawan sesungguhnya dalam kisah ini?


Membaca A Tale of Two Cities ini kita seolah menyantap hidangan dengan aneka macam rasa di satu piring. Yang pertama, ada tema sejarah Revolusi Prancis yang membuat kita mengetahui akar dari salah satu revolusi paling terkenal dan yang mempengaruhi seluruh dunia itu. Kedua, tema kesengsaraan dan pengorbanan yang harus terjadi untuk mencapai sebuah kebangkitan. Revolusi adalah contoh kongkritnya. Begitu banyak nyawa jatuh dalam balas dendam yang amat kejam. Namun, tanpa revolusi itu takkan pernah terjadi perubahan, rakyat miskin pun akan terus menjadi korban. Di sisi yang lebih abstrak, pengorbanan yang seutuhnya dibutuhkan, agar kehidupan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang kita cintai dapat tumbuh dan bersemi. Bak benih yang mati lalu jatuh ke tanah. Bukannya binasa, ia justru akan menumbuhkan kehidupan yang baru.

Sepertinya Charles Dickens pun hendak berbicara tentang bagaimana manusia harus bersikap tentang kejahatan dan penindasan. Di satu sisi kelompok pemberontak yang dengan kejam menyiksa dan membantai kaum bangsawan dengan tak pandang bulu. Bukan saja mereka yang memang suka menyiksa seperti Marquis, tapi juga seluruh keluarganya—termasuk wanita dan anak-anak yang tak berdosa. Kalau begitu, lalu apa bedanya mereka dengan para aristrokrat yang mereka hujat itu? Toh akhirnya mereka sama-sama membunuh dengan keji?

Nah, di sisi lainnya ada Dokter Manette yang mengalami ketidakadilan dan kesengsaraan selama 18 tahun. Bahkan saking parahnya penderitaan itu, ia harus mengkompensasikannya dengan bekerja tekun membuat sepatu, demi agar otaknya beralih ke pekerjaan rutin alih-alih memikirkan deritanya. Akibatnya, bahkan setelah ia bebas, tiap kali ia merasa depresi, Dokter Manette harus kembali bekerja membuat sepatu. Namun anda akan melihat di akhir kisah ini, betapa besar pengampunan Dokter Manette pada orang yang—kalau meminjam cara pandang kaum revolusioner—harusnya adalah orang yang paling ia benci.

Charles Dickens sepertinya mau mengatakan bahwa ketika kejahatan kita balas dengan kejahatan, maka kejahatanlah yang kelak akan membalas kita juga. Sebaliknya, ketika kejahatan kita balas dengan kebaikan, maka berarti kita telah menang terhadap kejahatan, dan kebaikanlah yang akan kita genggam, bukan hanya bagi kita sendiri, tapi juga anak cucu dan semua yang kita cintai. Pada akhirnya, cinta jualah yang selalu menang, bukan?

-----

Seperti biasa, Charles Dickens selalu menyisipkan ironi yang terbungkus humor di sana-sini di karya-karyanya, seperti juga di buku ini. Kisah yang menawan ditambah dengan gaya penulisan Charles Dickens yang cantik, membuatku tak ragu menganugerahkan lima bintang untuk A Tale of Two Cities ini, meski tetap ada hal-hal yang terasa aneh bagiku. Bukan hal-hal yang mendasar, hanya detil-detil yang nampaknya sepele tapi tetap membuatku tetap berpikir: “bagaimana bisa…?”. Tambahan lagi aku kurang sreg dengan cover terjemahan Elex Media ini. Bunga-bunga warna merah jambu yang mengelilingi guilootine dan font judul yang berwarna merah jambu itu terasa terlalu romantis, seolah-olah ini kisah romance biasa. Meski aku paham, mungkin ilustratornya ingin menunjukkan ironi dari kekejaman dan cinta yang menjadi tema utama kisah ini, tapi tetap saja… Aku lebih suka cover-cover aslinya yang lebih terasa klasiknya, dan Revolusi Prancis-nya tergambar jelas di sana, seperti ini...


Terlepas dari detil-detil yang mengganggu itu, A Tale of Two Cities tetap salah satu karya klasik dunia yang mempesonaku. Bravo Charles Dickens!


*Review ini dibuat tepat di hari bersejarah: Hari Ulang Tahun ke 200 Charles Dickens (7 Februari 1812 – 7 Februari 2012), sebagai “hadiah” dariku bagi Charles Dickens.*

Judul: Kisah Dua Kota
Judul asli: A Tale of Two Cities
Penulis: Charles Dickens
Penerjemah: Peusy Sharmaya
Penerbit: Elex Media Komputindo
Terbit: 2010
Tebal: 564 hlm

Wednesday, February 1, 2012

Classic Authors of February #2

Melanjutkan ulasan para penulis klasik yang berulang tahun pada bulan Februari, inilah profil 6 penulis yang tersisa. 6 penulis lainnya dapat dibaca di sini.


Boris Pasternak

S
a
tu lagi penulis klasik besar asal Rusia yang dimiliki dunia: Boris Leonidovich Pasternak atau biasa disebut Boris Pasternak. Lahir tgl. 10 Februari 1890 di Moskow, Pasternak dikenal sebagai novelis, penyair serta penerjemah literatur. Di antara karya-karya penulis besar yang diterjemahkannya, ada karya William Shakespeare dan Goethe. Namun karya terbesar Pasternak adalah novel Doctor Zhivago yang menghasilkan penghargaan Nobel untuk Literatur pada tahun 1957, saat Doctor Zhivago diterbitkan pertama kalinya. Sayangnya, reaksi keras dari pemerintah Rusia (waktu itu masih Uni Sovyet) dan KGB, membuatnya terpaksa menolak penghargaan itu. Di sisi lain, kampanye menentang Pasternak itu akhirnya justru ikut menghancurkan kredibilitas USSR di dunia internasional.


Ketika berniat melamar wanita yang dicintainya, keluarga si wanita menolak karena keadaan miskin Pasternak. Pada akhirnya justru si wanita meninggal dunia dalam kemiskinan. Kesedihan Pasternak atas kematian itu ia tuangkan dalam sebuah antologi puisi. Saat Perang Dunia I berlangsung, Pasternak bekerja di sebuah pabrik kimia, yang bertahun-tahun kemudian mengilhami kisah Doctor Zhivago. Pasternak meninggal dunia akibat kanker paru-paru pada tahun 1960.


Carson McCullers



Lula Carson Smith—kemudian terkenal dengan Carson McCullers—adalah seorang penulis wanita asal Amerika yang terkenal dengan novelnya: The Heart Is A Lonely Hunter (diterbitkan Penerbit Qanita). Carson lahir di Georgia pada 19 Februari 1917. Ayahnya, seorang pembuat jam dan perhiasan, menjadi sumber inspirasi tokoh Wilbur Kelly di The Heart Is A Lonely Hunter, sebuah novel yang pada masa itu diinterpretasikan sebagian orang sebagai novel anti-fasis. Selain itu, novel-novelnya meliputi Reflections in A Golden Eye, The Member of The Wedding, dan The Ballad of the Sad Café.

Carson dan suaminya, Reeves McCullers sempat bercerai di tahun 1941, lalu akhirnya menikah lagi tahun 1945. Di jeda waktu itu, Carson sempat berteman dekat dengan dua penulis: Truman Capote dan Tennesse Williams. 3 tahun setelah menikah Carson pernah mencoba bunuh diri karena depresi. Sepanjang hidupnya Carson didera oleh penyakit dan kecanduan alcohol. Di usia 15 tahun ia pernah menderita demam rematik, dan di usia 20-an Carson telah menderita stroke. Saat berusia 31 tahun bagian kiri tubuhnya lumpuh total. Sebelum meninggal dunia karena hemorrhage otak, Carson sempat mendiktekan otobiografinya: Illuminations and Night Glare, meski akhirnya ia meninggal sebelum proyek itu selesai.


Wilhelm Grimm (Brothers Grimm)


Wilherm Carl Grimm merupakan adik kandung Jacob Grimm dari Grimm Bersaudara yang lahir pada 24 Februari 1786 di Hesse-Kassel, Jerman. Wilhelm menghabiskan masa kecilnya selalu bersama-sama dengan Jacob. Dua bersaudara ini tinggal seatap dengan harta dan buku milik bersama. Namun dalam karakter, ada perbedaan kontras antara Wilhelm dan Jacob. Meski saat kecil Wilhelm sehat dan kuat, berbagai penyakit kronis menerpanya saat dewasa, hingga akhirnya tubuhnya lemah sepanjang sisa hidupnya. Wilhelm meninggal dunia di Berlin akibat infeksi di usia 73 tahun.

Bersama Jacob kakaknya, Wilhelm mengumpulkan dongeng-dongeng rakyat yang terbit menggunakan nama Brothers Grimm. Meski demikian, Wilhelm ternyata lebih mencintai dunia musik—sesuatu yang tak begitu disukai Jacob. Wilhelm juga seorang story-teller berbakat.


Anthony Burgess


Lahir pada tanggal 25 Februari 1917 dengan nama John Burgess Wilson, Anthony Burgess adalah penulis Inggris, yang juga penyair, komposer, penerjemah, dan kritikus. A Clockwork Orange adalah novel bertema distopia yang membawa ketenaran bagi Burgess, meski baginya novel itu bukanlah karyanya yang terbaik. Burgess tercatat sebagai penulis no. 17 dari daftar 50 Penulis Inggris Terbaik sejak 1945. Sebagai kritikus yang cukup disegani, ia pernah menulis studi tentang karya penulis-penulis klasik besar lain seperti Shakespeare, Ernest Hemingway, D.H. Lawrence dan James Joyce.

A Clockwork Orange diinspirasi oleh insiden perampokan dan penyerangan oleh tentara Amerika terhadap istri Burgess yang sedang hamil tua, saat terjadi “blackout” pada Perang Dunia II. Insiden yang mengakibatkan istri Burgess mengalami keguguran. Novel pertama Burgess yang diterbitkan adalah trilogi yang bersetting di Malaya (sekarang Malaysia), berjudul The Long Day Wanes. Ia mengikuti jejak Rudyard Kipling, Joseph Conrad dan W. Somerset Maugham yang juga menulis kisah bersetting di India dan Asia Tenggara.


Victor Hugo


Bernama lengkap Victor-Marie Hugo, penulis asal Prancis ini lahir pada 26 Februari 1802. Selain menulis novel, Hugo juga penyair, penulis drama, esai, visual artist, negarawan dan aktivis hak-hak asasi manusia. Dua karyanya yang mendunia adalah Les Miserables (diterbitkan Bentang Pustaka) dan The Hunchback of Notre-Dame (diterbitkan Serambi menjadi Si Cantik Dari Notre Dame), yang telah banyak diterbitkan dan diangkat ke layar lebar. Hugo kecil tumbuh di tengah pergolakan politik Prancis; ia lahir 2 tahun sebelum Napoleon menjadi Kaisar. Awalnya, pemikiran tentang Kaisar dan iman Katolik menginspirasi puisi dan fiksi karyanya. Namun setelah Revolusi Prancis, Hugo berbalik arah ke republikan dan melawan pemikiran Katolik Royalis dalam berkarya. Novel pertama Hugo ketika cara berpikirnya sudah lebih “matang” diterbitkan dengan judul The Last Day of a Condemned Man. Novel ini kemudian memberi pengaruh pada penulis-penulis klasik sesudahnya, seperti Albert Camus, Charles Dickens dan Fyodor Dostoesvky.

Putri sulung Hugo meninggal dunia pada usia 19 tahun—tak lama setelah menikah—akibat perahu yang ditumpanginya terbalik, yang menyebabkannya langsung tenggelam karena terseret gaunnya yang berat ke dasar sungai. Kematian putrinya itu membuat Hugo syok, dan ia menulis beberapa puisi untuk mengekspresikan kesedihannya.


John Steinbeck


Penulis asal Amerika yang bernama lengkap John Ernst Steinbeck, Jr. ini lahir pada 27 Februari 1902. Novelnya yang berhasil memperoleh penghargaan Pulitzer adalah: The Grapes of Wrath. Selain itu ia juga menghasilkan novel East of Eden, Tortilla Flat (Dataran Tortilla—diterbitkan Pustaka Jaya) dan novella Of Mice and Men (diterbitkan Penerbit Ufuk). Pada tahun 1962, Steinbeck juga memperoleh Nobel Price for Literature. Pengalamannya bekerja di sejumlah ranch bersama dengan para pekerja migran, menginspirasi terciptanya Of Mice and Men, yang menyoroti kerasnya kehidupan para pekerja migran, dan tentang sifat-sifat asli manusia.

Setelah novelnya Tortilla Flat terbit—dan sukses—barulah Steinbeck lepas dari kemiskinan yang ia alami sepanjang “Great Depression” bersama istrinya. Kemudian saat Perang Dunia II Steinbeck pernah menjadi koresponden perang, namun setelah terluka dalam perang, ia pun pulang ke rumahnya. Pengalamatannya sepanjang Great Depression kelak tertuang ke novel The Grapes of Wrath.

Itulah 6 dari 12 penulis yang akan kita peringati ulang tahunnya bulan Februari. Dari antara daftar yang kedua ini, aku memilih Boris Pasternak dengan Doctor Zhivago-nya untuk kureview tepat di hari ulang tahunnya. Bagaimana dengan anda? Siapa yang anda pilih? Lihat juga pilihan 6 penulis lainnya di sini.