Pages

Pages 2

Friday, December 24, 2010

Si Cantik Dari Notre Dame

Entah mengapa buku ini harus diberi judul Si Cantik dari Notre Dame, bukannya Si Bungkuk dari Notre Dame sesuai judul buku aslinya karangan Victor Hugo: The Hunchback of Notre Dame. Mungkinkah karena alasan komersiil? Karena "cantik" lebih bernilai jual daripada "bungkuk"? Entahlah, tapi nyatanya buku ini adalah versi terjemahan dari kisah legenda yang terkenal tentang sebuah gereja di Paris, Notre Dame.

Di akhir abad ke 15 terdapat 2 golongan yang berseberangan di Paris. Kaum penguasa, gereja dan borjuis di satu sisi, dan golongan masyarakat bawah termasuk gelandangan dan kaum gipsi. Di jaman itulah Claude Frollo yang pandai, suka belajar, dan ambisius hidup sebagai yatim piatu sambil membesarkan adik yang sangat dikasihinya, Jehan Frollo. Suatu hari ia melewati seorang bocah yang diletakkan di depan gereja untuk dipungut siapapun yang berminat. Sayangnya penampilan anak itu sangat mengerikan. Wajahnya seperti monster yang sangat buruk dan tubuhnya berbonggol-bonggol dengan tulang punggung bengkok. Semua orang ngeri dan menganggap bocah itu jelmaan setan. Semua, kecuali Claude Frollo. Tanpa pikir panjang, dipungutnya bocah itu lalu dipelihara dan dididik.

Tak ada orang yang tahan memandang Quasimodo, begitulah si monster dinamai sesuai dengan hari saat ia dipungut, apalagi bergaul dengannya. Semua orang bahkan membencinya. Hanya Claude Frollo yang menganggapnya manusia. Tak heran, ia begitu mengasihi, memuja ayah angkatnya itu begitu intens. Saat Claude Frollo menjadi wakil uskup, Quasimodo menjadi pemukul lonceng di gereja Notre Dame serta tinggal di gereja itu bersama ayah angkatnya. Gereja itu menjadi surganya, dan lonceng-lonceng gereja menjadi pusat hidup dan kebahagiaannya. Meskipun belakangan, justru lonceng-lonceng itu pula yang merenggut hal yang sangat berharga baginya, yakni pendengarannya. Ya, ia menjadi tuli karena terlalu sering mendengar dentangan lonceng yang sangat keras...

Sedangkan di luar dinding-dinding gereja yang tinggi itu, hiduplah seorang gadis gipsi yang sangat cantik, pandai menyanyi dan menari dengan rebananya, serta berpembawaan riang. Dialah La Esmeralda yang selalu didampingi kambing cerdik bernama Djali. Kecantikannya yang segar dan alami membuat kaum pria dari berbagai golongan terpesona padanya. Ada Gringoire sang filsuf dan penyair yang ditolong Esmeralda dari tiang gantungan dengan menjadikannya suami platonis. Ada juga seorang perwira kerajaan yang tampan dan playboy, yang seharusnya sudah bertunangan namun masih saja melirik gadis lain, bernama Phoebus. Bahkan Quasimodo si buruk rupa nan tuli itu juga terpesona pada kesegaran Esmeralda. Namun yang paling mengherankan justru pengagumnya yang datang dari dalam gereja! Sang wakil uskup, yang seharusnya hidup selibat, malah memiliki hasrat yang besar terhadap Esmeralda....

Bagaimana dengan Esmeralda sendiri? Seperti layaknya kisah-kisah romantis lainnya, ia justru jatuh cinta pada pria yang tak sungguh-sungguh mencintainya, Phoebus. Betapa ironisnya cinta itu ya? Cerita lalu berpusar-pusar pada tokoh Esmeralda ini. Esmeralda yang selalu membawa kantung kecil bermanik di sekeliling lehernya, Esmeralda yang selalu menjaga kesuciannya karena bila ia ternoda, ia diramal takkan bisa bertemu dengan ibunya yang tak pernah ia temui. Esmeralda yang rela menikahi Gringoire karena iba, meski harus memaksa Gringoire berjanji untuk tak menyentuhnya. Esmeralda yang ditangkap dan akan dihukum gantung. Esmeralda yang diselamatkan. Esmeralda yang dituduh melakukan pembunuhan, dan seterusnya. Bahkan Esmeralda juga membuat kaum gipsi dan gelandangan menyerbu gereja di tengah malam buta. (mungkin saja pemilihan judul versi terjemahan ini justru lebih tepat ya, karena jelas pusat kisah ini adalah si cantik Esmeralda).

Lewat kisah ini, Victor Hugo mengajak kita untuk memahami berbagai makna cinta. Cinta platonis milik Gringoire, yang puas hanya dengan memandang keceriaan istrinya (dan malah lebih cinta pada kambingnya, Djali...). Cinta palsu milik Phoebus yang hanya terpikat pada kecantikan lahiriah semata, dan secepat cinta itu datang, secepat itu pula ia tergantikan. Cinta penuh napsu dan obsesif milik Claude Frollo sehingga ia rela melakukan apa saja yang berpotensi mencoreng namanya dan gereja, demi menghalangi pria manapun menyentuh Esmeralda-nya. Atau cinta murni milik seorang Quasimodo. Cinta yang tak ingin memiliki, hanya ingin melindungi. Cinta yang membuatnya cukup hanya memandang dari jauh, dan tak pernah menuntut balasan apapun.

Victor Hugo juga membukakan mata kita terhadap cinta terhadap sesama manusia. Betapa mudahnya orang mengkotak-kotakkan manusia lain hanya karena derajat. Bagaimana orang gipsi dianggap jahat dan mistis, bagaimana orang yang penampilannya berbeda dengan kebanyakan yang lain dianggap bukan manusia, jelmaan setan, jahat, kejam seperti binatang. Betapa mengerikan akibat yang ditimbulkan manusia kala ia tak mau melihat ke kedalaman hati, melainkan hanya pada penampilan luar. Kisah di buku ini membuktikannya.

Akhirnya, aku juga sadar bahwa jatuh ke dalam dosa itu begitu gampangnya. Bahkan Claude Frollo yang pemikir dan logis, yang sejak kecil religius, yang dulu mengasihi adiknya dan memungut Quasimodo karena kasih, mampu menjadi pribadi yang berbeda saat ia membiarkan hasrat menguasai dirinya. Maka dosa itu bukan soal 'siapa', namun lebih pada 'bagaimana'. Bagaimana kita menyikapi suatu keadaan. Bagaimana kita menentukan pilihan. Bagaimanapun, hidup ini selalu mengenai pilihan kan? Sama seperti anda yang bebas memilih, cukup puas dengan membaca resensiku, atau mau membaca buku yang indah ini sendiri....

NB:

1. Kalau anda memilih yang terakhir, Vixxio bisa membantu anda mendapatkan buku ini dengan diskon 20% di: Si Cantik Dari Notre Dame.

2. Kalau anda merasa bosan dan bingung di bab-bab awal, jangan menyerah! Karena makin ke belakang, anda akan menemukan keindahan yang sesungguhnya kisah ini. Aku hampir saja melewatkannya, jangan sampai anda juga!

3. Salut pada penerbit Serambi yang mampu menyajikan terjemahan apik pada karya sastra seindah milik Victor Hugo. Namun sayang, ada beberapa halaman yang tak tertata dengan baik. Ada paragraf yang terulang, ada halaman yang tak menyambung (meloncat) dengan halaman berikutnya, dan ini lumayan mengganggu keasyikan membaca. Semoga itu hanya terjadi di eksemplar yang aku beli saja ya...

Monday, August 9, 2010

Trio Musketri

Aku ingat, aku amat bersemangat saat pertama kali melihat cover buku ini! Trio Musketri adalah versi terjemahan dari sebuah kisah patriotik karya Alexandre Dumas: The Three Musketeers.

Saat aku kecil, kira-kira ketika aku duduk di bangku akhir SD, orang tuaku pernah memberiku sebuah buku lumayan tebal, yang isinya (kalau tak salah mengingat) 3 cergam klasik. Salah satunya yang paling menjadi favoritku adalah The Three Musketers. Three Musketeers adalah julukan 3 orang (dan selanjutnya ditambah seorang lagi) ksatria pengawal dan pembela Raja Perancis, yang waktu itu (sekitar tahun 1800-an) dikisahkan dijabat oleh Louis XIII.

Sebelum merobek plastik pembungkus buku Trio Musketri ini, aku mengingat-ingat nama ke-empat musketri itu. Ah ya...Athos, Porthos, Aramis, dan yang termuda dan terakhir bergabung: D'Artagnan. Dan aku jadi teringat semboyan yang selalu mereka ucapkan saat hendak bertarung bersama: one for all, and all for one (atau kebalikannya ya?..). Semboyan itu mereka ucapkan sambil mereka membentuk formasi lingkaran, dan saling menyentuhkan ujung pedang masing-masing ke bawah. Yang membantuku mengingat lebih baik, adalah sebuah film yang pernah aku tonton 2 kali, yang mengambil kisah three musketers ini, yaitu: The Man With The Iron Mask yang dibintangi oleh si ganteng Leonardo Di Caprio, sebagai raja Louis, serta Gerard Depardieu yang menjadi salah satu musketers (kalau tak salah Porthos...).

Pada jaman Raja Louis XIII bertakhta, ada 2 kekuatan yang secara tak langsung menguasai negara Perancis. Di satu pihak ada Raja, yang notabene harusnya menjadi penguasa dan pemimpin tertinggi, dan di lain pihak ada Kardinal (pemimpin di Gereja Katolik, setingkat di bawah Paus). Raja Louis XIII adalah sosok yang tak terlalu tegas, dan sering mudah dipengaruhi. Sedangkan Kardinal Richeliu adalah sosok yang ambisius, pandai dan berani, yang sering mempengaruhi Raja demi kepentingannya sendiri. Kedua kubu ini memiliki pasukan pengawal pribadi masing-masing. Di kubu Louis XIII ada kelompok musketri, di mana ada 3 orang ksatria yang paling menonjol, hebat dalam bermain pedang, cerdas, sekaligus amat setia pada Raja dan negara. Namanya Athos, Porthos dan Aramis. Sedangkan Kardinal memiliki pasukannya sendiri juga. Di antara antek-anteknya, ada seorang wanita cantik nan kejam yang amat pandai dalam membuat rencana dan merayu pria. Namanya Milady.

Dalam situasi seperti itulah D'Artagnan muda yang berasal dari desa, berani, terang-terangan dan pemarah, datang ke ibukota untuk melamar menjadi anggota musketri. Sebelum ia benar-benar diterima, ia sudah tanpa sengaja membuat gara-gara dengan 3 orang dari para musketri. Dan seperti layaknya kebiasaan para ksatria saat itu, D’Artagnan akhirnya ditantang berduel oleh ketiga musketri itu pada waktu yang berbeda, meski penyebabnya hanyalah hal remeh-temeh.

Ketika D’Artagnan datang ke lokasi duel, ia baru menyadari bahwa ketiga musketri yang menantangnya itu adalah Trio Musketri yang termasyur itu. Dari sanalah akhirnya mereka berempat menjadi sahabat yang tak terpisahkan.

Trio Musketri sangat mengasyikkan dibaca, karena selain alurnya yang cepat, seringkali tingkah kocak ketiga musketry menarik juga diikuti. Tokoh sentral di kisah ini memang D’Artagnan. Karena selain ia terbukti sosok dengan karakter pemberani dan cerdik, hingga ia diincar oleh Kardinal Richeliu untuk direkrut, ia juga seorang pemuda yang gagah dan tampan sehingga beberapa kali terlibat kisah asmara. Cintanya yang pertama dan paling langgeng adalah dengan Constance, si penjahit yang sering menjadi suruhan Ratu.

Selain politik, yakni perseteruan Prancis dan Inggris, kisah ini juga dibumbui dengan kisah percintaan yang menjadi skandal antara Ratu dengan Duke of Buckingham, bangsawan Inggris. Skandal inilah yang diincar oleh Kardinal untuk menghancurkan Duke of Buckingham. Namun berkat kecerdikan D’Artagnan dan trio musketri, rencana yang dilancarkan oleh Kardinal bekerja sama dengan Milady dapat dipatahkan.

Kecerdikan dan kekejaman Milady juga menjadi salah satu pewarna dalam kisah ini. Apalagi setelah D’Artagnan jatuh ke pesona kecantikan Milady, dan sempat jatuh cinta sesaat pada wanita ini, yang sebenarnya hanya ingin memperalat D’Artagnan. Hebatnya, dalam setiap jatuh bangun masing-masing musketri, ketiga sahabatnya akan siap untuk membantu. Makanya, sangat pas dan dalam arti semboyan yang mereka usung: One for all, and all for one.

Pada akhirnya, kita dapat belajar banyak tentang adat dan kebudayaan di Prancis saat abad ke 18, dengan sikap para ksatrianya yang menyelesaikan masalah dengan duel, dan intrik-intrik politik yang menghalalkan segala cara, juga kisah cinta yang menyentuh, serta persahabatan, patriotik, kesetiakawanan dan kesetiaan pada sahabat, raja dan negara. Sungguh-sungguh bacaan yang menggugah, mendidik sekaligus menghibur!

Judul buku: Trio Musketri
Pengarang: Alexandre Dumas
Penerbit: Serambi

Friday, July 23, 2010

The Secret Garden

Entah mengapa aku selalu suka membaca buku anak-anak. Bukan buku dongeng macam Cinderella atau Sleeping Beauty yang bagus untuk imajinasi, tapi ternyata juga membawa anak berpikir bahwa hidup itu (terlalu) mudah. Aku lebih suka membaca kisah anak klasik, seperti The Secret Garden yang ditulis oleh Frances Hodgson Burnett.

Secret garden, taman rahasia. Hmmm…belum-belum imajinasiku sudah terbawa pada suasana segar, indah, dan nyaman ketika mendengar ‘taman’. Apalagi ada kata ‘rahasia’ juga. Bukankah misteri selalu menjadi salah satu kelemahan manusia? Maka, meski ada begitu banyak buku lain yang menggodaku, The Secret Garden akhirnya menang! Buku inilah yang akhirnya kubeli, meski mamaku yang belanja buku bersamaku mengernyit ketika melihat cover-nya yang memang kekanak-kanakan…

Namun…semuanya terbayar sudah. Karena membaca The Secret Garden benar-benar memberikan pengalaman membaca yang sesungguhnya. Untaian kata dan kalimat yang enak dibaca, rasa nyaman ketika imajinasi terbawa pada suasana taman dan kebun yang asri, juga alur cerita yang senantiasa terjaga dengan apik.

The Secret Garden bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Mary yang terbiasa dimanja dan dipuja semenjak kecil, sehingga tumbuh menjadi gadis cilik yang masam, sinis, egois, dan manja. Hingga pada suatu hari ia tiba-tiba menjadi yatim piatu akibat sebuah wabah kolera yang merenggut seluruh keluarganya tanpa terkecuali. Ia pun dibawa kepada salah seorang kerabatnya yang memiliki rumah amat besar, yang berkamar kira-kira seratus, padahal hanya ditinggali beberapa orang saja.

Pamannya yang kaya itu dulu memiliki istri yang manis, ceria dan amat cinta pada tanaman. Sang istri pernah memiliki sebuah taman mawar yang asri di belakang rumah mereka. Setiap hari almarhum istrinya itu akan duduk di taman mawar dan merawat setiap bunga dan tumbuhan dengan penuh cinta. Hingga akhirnya ia meninggal dunia gara-gara melahirkan putra mereka.

Sejak saat itu sang suami yang amat berduka, menutup diri sekaligus menutup taman itu selama-lamanya, dan mengacuhkan putra mereka yang masih bayi, karena menganggap si bayi itulah yang menyebabkan istrinya meninggal.

Pada suatu hari, Mary yang tak punya teman dan kesepian berjalan-jalan di kebun nan luas dan berkenalan dengan seorang tukang kebun yang sedang bekerja. Dari beliaulah Mary mendengar bahwa ada sebuah taman rahasia yang telah tertutup selama 10 tahun dan kuncinya tersembunyi entah dimana. Sebuah misteri…itulah yang menggerakkan hati Mary untuk berusaha membuka dan menemukan jawabannya: Di manakah letak taman rahasia itu? Apa yang ada di dalamnya?

Aku ingat, dirikupun terbawa ketegangan ketika Mary akhirnya menemukan letak taman itu dan kuncinya yang dipendam di dalam tanah, serta akan segera membuka pintunya. Apa yang ada di balik pintu itu yah?.... Bagaimana rupa taman rahasia itu, yang sudah 10 tahun tak pernah dirawat? Ketegangan yang terasa manis, bukan penuh ketakutan seperti ketika membaca kisah horror, atau yang membuat jantung berdetak lebih cepat seperti ketika membaca buku Agatha Christie.

Taman itu ternyata cukup indah meski tak terawat. Mungkin justru karena keliarannya lah yang membuatknya semakin eksotis. Memang aku tak melihatnya sendiri, namun Frances benar-benar mampu menggambarkan semua sulur-sulur mawar yang bertautan satu sama lain, tak tertata namun justru tampak natural. Dan ajaibnya, taman itu mampu membawa perubahan pada diri Mary. Ia menjadi lebih bahagia, dan itu turut mengubah sifatnya yang sinis, egois dan manja. Sedikit demi sedikit Mary tumbuh menjadi anak yang bahagia dan normal.

Semangat Mary menular pada Colin, saudara sepupunya, atau bocah laki-laki yang tak dicintai oleh ayahnya, yang adalah paman Mary. Begitu menemukan taman rahasia itu, Colin pun memiliki semangat hidup yang sebelum ini benar-benar padam.

Apa yang menyebabkan semua perubahan itu? Benarkah itu karena ‘sihir’ seperti yang dipikirkan Colin? Tentu bukan sihir ala nenek sihir atau ilmu hitam. Sihir itu adalah mukjijat yang datang dari Sang Pencipta. Bukankah justru dari alamlah kita bisa mengenalNya? Mengagumi hasil karyaNya? Maka di alam jugalah kita paling dapat merasakan kehadiranNya. Itulah ‘sihir’ yang mengubah dua anak yang tidak bahagia dan judes menjadi sosok anak-anak yang penuh kasih.

Itulah yang juga membuatku suka pada buku ini. Ditambah pula dengan banyak deskripsi Frances tentang keindahan alam. Seekor burung Robin misalnya, yang begitu bersahabat dengan manusia, dan hewan-hewan lucu lainnya yang menjadi kawan Dickon, seorang anak pecinta alam.

Buku ini memang bagus untuk anak-anak. Karena di sana mereka akan belajar mencintai alam, juga memahami arti kasih pada keluarga dan sesama. Dan tentu saja, pada akhirnya mencintai Sang Pencipta yang setiap detik menyediakan ‘sihir’ mukjijatnya di dunia ini.

Judul : The Secret Garden
Pengarang: Frances Hodgson Burnett
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 320 hlm
Harga: Rp 35.000

----

Ulasan buku ini kupersembahkan dalam rangka Hari Anak Nasional tahun ini yang jatuh tepat pada hari ini: 23 Juli 2010. Mari kita sediakan bacaan-bacaan yang bermutu bagi pertumbuhan anak-anak Indonesia, generasi penerus kita!

Saturday, March 6, 2010

The Heart Is A Lonely Hunter

Judul itulah yang pertama-tama membuatku tertarik pada buku ini. Judulnya unik, tak seperti judul novel yang sering terdengar begitu indah, namun ketika dibaca ternyata tak benar-benar sesuai dengan isinya. Judul buku ini sebaliknya, sudah merupakan sebuah kebenaran yang tampaknya ingin disampaikan oleh si penulis. Alasan kedua aku naksir buku ini adalah gambar covernya (who says you musn't judge a book from its cover? I do it all the time!). Entah kenapa aku selalu jatuh cinta pada lukisan-lukisan yang ada cafe-nya seperti ini (padahal tak terlalu suka ngafe coz ngabis-ngabisin duit!).

Namun yang membuat aku memutuskan untuk membelinya justru karena ada tanda "Oprah's Book Club" di pojok kiri bawah. Oprah Winfrey (pasti anda tahu siapa dia kan?) memang membuat program book club yang biasanya membahas buku-buku bermutu macam Bumi Yang Subur-nya Pearl S. Buck. Jadi, kalau sebuah buku pernah dipilih oleh Oprah's Book Club, maka pastilah buku itu buku yang berbobot.

Meski penulisnya, Carson McCullers bukanlah penulis best seller, namun ia disebut-sebut sebagai penulis prosa terbesar yang pernah dihasilkan di Amerika Selatan. Dan di buku ini, yang adalah karya pertamanya, ia mampu menyoroti masalah-masalah rasial dan sosial dengan sentuhan yang halus.

Sesuai judulnya, buku ini bercerita tentang orang-orang yang kesepian. Kesepian itu bukan berasal dari kesendirian secara fisik, melainkan lebih banyak dari hati. Buku ini pertama-tama mengajarkan kepadaku bahwa kita boleh saja hidup bersama-sama banyak orang pada suatu waktu, namun itu tak menutup kemungkinan kita merasakan kesepian. Kesepian di tengah keramaian, mungkin adalah ungkapan yang paling cocok disematkan pada kelima tokoh utama di buku ini: Pak Singer, Mick, Pak Blount, Biff dan Dokter Copeland. Masing-masing membawa beban hidupnya sendiri-sendiri, kerinduan dan ambisi yang tak terpenuhi sehingga menimbulkan kesepian yang menyiksa.

Pak Singer adalah benang merah semua orang itu. Ia adalah pria tunarungu-tunawicara yang hidup tanpa keluarga di sebuah kota. Meskipun cacat, ia mampu bekerja dan berkomunikasi dengan orang lain dengan membaca bibir dan menuliskan apa yang ingin dikatakannya dengan bantuan buku notes kecil dan pensil warna peraknya. Awalnya hidupnya tenang dan bahagia. Ia berbagi kamar yang disewanya bersama seorang tunarungu-wicara lainnya, seorang Yunani gendut yang doyan makan bernama Antonapoulos.

Lucu juga mengikuti persahabatan Singer-Antonapoulos ini. Antonapoulos adalah orang yang semau-gue, manja, dan kemauannya harus selalu dituruti. Mungkin ini memang sifat bawaannya, namun mungkin juga akibat benih-benih penyakit jiwa yang belakangan membuatnya harus tinggal di rumah sakit jiwa. Singer begitu menyayangi sahabatnya ini dan boleh dibilang Antonapoulos benar-benar belahan jiwanya. Meski Antonapoulos lebih banyak diam dan hanya memandangi Singer ketika sahabatnya itu menceritakan kesehariannya di tempat kerja dengan isyarat tangan, namun Singer tak pernah marah. Ia tetap saja senang bercerita.

Hingga saat tingkah Antonapoulos makin aneh, menjengkelkan dan menguras uang tabungan Singer, Singer tak pernah dendam padanya. Dengan sabar Singer mengurusinya, meski Antonapoulos tak pernah membalas perhatiannya itu. Saat Antonapoulos harus meninggalkan kamar sewaan mereka berdua untuk pindah ke rumah sakit jiwa, hati Singer menjadi hampa. Seolah sebagian dirinya direnggut dengan paksa oleh keadaan.

Sejak itulah ia menyewa sebuah kamar di rumah Mick, gadis belasan tahun yang memiliki obsesi terhadap musik klasik dan piano. Si gadis begitu tergila-gila pada Singer yang dianggapnya satu-satunya orang yang mengerti tentang kerinduannya pada musik. Lalu pada suatu peristiwa Singer pernah menolong Jake Blount, sang sosialis yang pemabuk berat dan punya obsesi menyadarkan dunia pada keburukan kapitalisme yang menciptakan jurang antara yang kaya dan yang miskin. Sejak itu Blount sering berkunjung ke kamar Singer. Lalu ada juga Biff Brannon, sang pemilik cafe New York (yang menjadi gambar cover buku ini), tempat makan Singer sehari-harinya, yang ditinggal mati istrinya dan merasa kesepian.

Tokoh terakhir adalah Dokter Copeland, seorang dokter kulit hitam yang terobsesi untuk memerdekakan kaumnya yang saat itu masih tertindas. Keempat teman-teman barunya ini secara berkala dan bergantian sering datang ke kamar Singer. Mereka bisa mencurahkan isi hati dan uneg-uneg mereka kepada si bisu. Dan Singer akan mendengarkan (atau sebenarnya membaca bibir mereka) mereka, sambil memberikan seulas senyum dan tatapan mata yang bersahabat dan bersimpati. Kadang-kadang ia akan menyuguhi tamunya makanan kecil atau kopi, lalu mereka makan bersama-sama. Kali lainnya mereka berdua hanya berdiam diri dalam kamar, di mana hanya terdengar suara desing kipas angin. Tatkala mereka berbicara, Singer akan asyik main catur sendirian, sambil tak lupa sesekali memperhatikan omongan tamunya.

Dan para tamu itu akan pulang dari kamar si bisu dengan perasaan lega, nyaman, dan puas. Mereka merasa didengarkan dan dimengerti, bahwa Singer adalah satu-satunya orang yang bisa memahami mereka. Maka hubungan mereka bagaikan matahari dan satelit-satelitnya. Meski anehnya, ketika suatu saat empat satelit itu kebetulan datang ke kamar Singer pada saat yang sama, suasana malah menjadi tegang.

Pada kenyataannya, seperti yang diceritakan Singer pada Antonapoulos dalam salah satu kunjungannya ke rumah sakit jiwa, Singer sebenarnya sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan dan perasaan teman-temannya itu. Lucunya, ia menceritakan itu kepada Antonapoulos yang kemungkinan besar juga tak mengerti ceritanya!

Maka kesimpulannya, pertama - kesepian yang datang dari hati lebih disebabkan karena orang merasa tak ada yang mau memberi perhatian pada minat atau pemikirannya, pada apa yang menurutnya penting. Saat itu, orang akan merasa benar-benar kesepian karena ia merasa sendirian di dunia ini, menanggung pengetahuan atau obsesi yang ia miliki dan tak dapat di-share-kan pada orang lain. Kedua, kadang tak perlu kita seratus persen mengerti dan menyetujui ide atau impian seseorang untuk membuatnya bahagia. Cukup seulas senyum dan sedikit perhatian yang tulus, mampu membuat orang lain merasa dihargai, sama seperti yang dilakukan Singer.

Hal paling indah dalam buku ini adalah persahabatan yang tulus dan penuh kasih Singer dan Antonapoulos. Persahabatan yang boleh dibilang hanya satu arah, namun seperti sifat dasar kasih yang rela berkorban meski tak terbalas, begitu juga persahabatan Singer kepada Antonapoulos. Bayangkan setiap hari bayangan sahabatnya itu selalu memenuhi pikiran Singer. Kasihnya pada sang sahabat tak pernah luntur maupun berubah, meski sering disakiti dan dikecewakan. Singer rela memberikan lebih daripada yang ia terima. Itulah kasih dan persahabatan sejati!

Akhirnya, buku ini memang bukan bacaan ringan, namun seperti kata salah satu komentar di buku ini: "Begitu buku diletakkan, pembaca akan merasa diperkaya oleh sebuah kebenaran". Ya, itulah yang terjadi padaku. Tepatnya diperkaya oleh kebenaran tentang persahabatan dan tentang hidup.

Judul buku: The Heart Is A Lonely Hunter (bahasa Indonesia)
Penulis: Carson McCullers
Penerbit: Qanita
Harga: Rp 60.775,- (toko buku online)
Rp 36.000,- (Vixxio)