Pages

Pages 2

Thursday, June 30, 2011

The Count Of Monte Cristo

Pada tahun 1844, di sebuah harian bertajuk Journal des Débats, sebuah kisah petualangan pertama kali terbit sebagai cerita bersambung sepanjang 18 seri. Cerita itu lalu mengguncang daratan Eropa. Setiap pagi, saat sarapan atau di tempat kerja, orang-orang akan membicarakan cerita ini. Ditulis oleh seorang berkebangsaan Prancis bernama Alexandre Dumas, cerita ini akhirnya dibukukan sebagai novel dengan judul: The Count Of Monte Cristo. Hingga saat ini, The Count of Monte Cristo merupakan salah satu novel yang paling populer di Eropa, telah diterjemahkan dan diterbitkan di seluruh dunia ke dalam berbagai bahasa, dan telah sering diangkat ke panggung teater serta film layar lebar.

The Count of Monte Cristo adalah sebuah kisah petualangan dengan background sejarah yang kaya dengan plot. Berkisah tentang Edmond Dantès, seorang kelasi kelas satu Marseille berusia 19 tahun yang bekerja di atas kapal Pharaon. Memiliki kepribadian yang baik, bertanggung jawab, jujur dan setia, membuat Monsieur Morrel--pemilik kapal Pharaon berencana mengangkat Dantès menjadi Kapten kapal. Pribadinya itu juga mempesona seorang gadis nelayan cantik bernama Mercédès, yang mencintai dan akan dinikahi oleh Dantès. Karir menjanjikan dan calon istri cantik, dua kemujuran yang didambakan pria manapun, termasuk Danglars (kolega Dantès di kapal) dan Fernand Mondego (sepupu Mercédès) yang iri kepada Dantès. Danglars iri karena posisi Kaptennya, Fernand iri pada mengincar calon istrinya. Maka keduanya pun bekerja sama untuk menjatuhkan Dantès.

Kisah ini bersetting tahun 1815, saat-saat penting bagi kekaisaran Prancis, ketika Napoleon sedang berupaya untuk kembali ke takhta Kaisar yang direbut darinya oleh Louis XVIII. Kapten kapal Pharaon yang merupakan sekutu Napoleon, mempercayakan sebuah amanat kepada Dantès untuk mengirimkan surat untuk para pengikut Napoleon. Sebuah hal yang dianggap Dantès hanya sebagai tugasnya, tanpa ia mengetahui isinya. Amanat inilah yang dipakai Danglars dan Fernand sebagai alat menjatuhkan Dantès, dengan cara menulis surat yang berisi tuduhan palsu ke Penuntut Umum: Villefort. Meski Villefort adalah hamba hukum yang adil, namun karena alasan pribadi yang menyangkut ayahnya yang seorang Bonapartis, akhirnya memutar balikkan fakta, dan menggunakan surat fitnah tadi untuk menjebloskan Dantès ke penjara dengan tuduhan: menjadi sekutu Napoleon (Bonapartis).

Dari kehidupan yang nyaris sempurna, tiba-tiba bukan saja karir dan pernikahan, namun seluruh hidup Dantès seolah dirampas darinya, dan diganti dengan kegelapan penjara Chateu d'If yang harus ia tempati seumur hidup. Namun, ketika ia nyaris putus asa di dalam penjara, tiba-tiba secercah cahaya menerangi jalan hidupnya. Seorang tahanan tua di sana bernama Abbé Faria menjadi sahabatnya secara sembunyi-sembunyi. Kedua bilik mereka dihubungkan oleh terowongan yang telah digali Faria selama bertahun-tahun. Selain mengajarkan bahasa dan pengetahuan lainnya, Abbé Faria membukakan mata Dantès pada siasat licik 3 orang yang telah menjebloskannya ke penjara. Selain itu Abbé Faria, yang melihat ketulusan dan kasih Dantès kepadanya layaknya seorang anak kepada ayahnya, mengungkapkan rahasia harta karun yang disimpannya diam-diam di sebuah pulau kecil bernama Monte Cristo. Dan rencana meloloskan diripun segera disusun. Sayangnya, satu-satunya cara meloloskan diri dari penjara hanya dapat dilakukan oleh Dantès seorang diri, tanpa Abbé Faria yang sakit-sakitan. Tak tega meninggalkan Faria, Dantès pun tetap menemani Faria. Ketika Abbé Faria akhirnya meninggal, barulah Dantès melaksanakan rencana melarikan dirinya.

Kembali ke Marseille empat belas tahun kemudian, dengan segala kepahitan serta kebijaksanaan yang mengubah penampilan Dantès sehingga tak dapat dikenali lagi, mulailah Dantès "bermain" menjadi Tuhan--mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Di sini mulailah plot yang kaya dengan intrik bergulir dengan indah meski lumayan memusingkan. Berbekal kemampuan membaca karakter orang lain dan harta yang berlimpah, Dantès pun kembali memasuki kehidupan orang-orang yang pernah dekat dengannya dulu: Mercédès, Danglars, Fernand, Villefort, Morrel dan Caderousse. Tentu saja, ia tidak datang sebagai Dantès sendiri, melainkan dengan menjelma ke dalam berbagai pribadi: Abbé Busoni--seorang pastor Italia, Lord Wilmore--bangsawan Inggris yang dermawan, seorang staf firma Thomson & French, serta--tentu saja--Count of Monte Cristo, gelar kebangsawanan yang dibelinya, sesuai dengan pulau yang juga telah dibelinya dari harta yang ia temukan di pulau tersebut.

Sangat menarik bagaimana Count of Monte Cristo ini mampu, dalam waktu cukup singkat, menanamkan pengaruhnya ke lingkungan bangsawan di Paris, termasuk ke musuh-musuhnya: Fernand yang telah menjelma menjadi Count de Morcerf, Danglars yang telah menjadi Baron dan bankir kaya raya, serta Villefort sang Penuntut Umum. Cara yang ia gunakan cerdik dan halus, sehingga semua orang mengagumi kecerdasan, kebijaksanaan, keramahan dan kekayaannya, alih-alih mencurigainya. Semuanya itu lalu dipoles dengan gaya bicara dan pembawaannya yang sangat terhormat dan ningrat. Pesona ditambah dengan plot yang cerdik, membuat Monte Cristo perlahan namun pasti melaksanakan rencananya. Ia murah hati pada orang yang telah menolongnya, namun kejam pada orang yang telah merampas hidupnya.

Banyak cara bisa digunakan manusia untuk balas dendam. Seorang samurai mungkin akan langsung berhadapan dengan musuhnya untuk membunuhnya, namun seorang Count of Monte Cristo berdiri di balik layar bak dalang dalam pertunjukan wayang. Ia hanya menyediakan "sarana" untuk menjatuhkan hidup lawannya lewat tangan orang lain yang dekat dengan si korban. Dengan cara ini, si korban tak akan menyangka bahwa penyebab masalah yang datang bertubi-tubi pada dirinya itu digerakkan oleh kebencian orang yang dianggapnya telah mati, bukannya sebuah nasib buruk belaka. Di sini aku teringat pada karakter Norton di buku Tirai (Agatha Christie). Norton tidak membunuh korbannya dengan tangannya sendiri. Ia hanya melihat situasi, suami yang terkungkung dalam dominasi istrinya, misalnya. Lalu dengan kata-kata yang diucapkan dengan tepat pada saat yang tepat, bisa mempengaruhi si suami untuk bertindak membunuh istrinya. Seperti itu jugalah metode Count of Monte Cristo. Ketika ia mengamati keinginan terselubung seorang wanita ambisius untuk mengamankan warisan bagi putranya, ia pun pura-pura berbicara tentang racun. Tak sedetikpun ia mengusulkan untuk menggunakan racun itu. Keputusan akhir untuk menggunakan atau membuang sarana yang ada itu, sepenuhnya terletak di tangan si wanita sendiri.

Maka, boleh dibilang pembalasan dendam Monte Cristo tak akan terwujud andaikata musuh-musuhnya memiliki moral dan kepribadian yang baik. Takkan ada “dosa” yang bisa diungkapkan kepada publik yang akan menjatuhkan kehormatan para calon korban. Ingatlah, bahwa di jaman itu, kehormatan jauh lebih penting daripada nyawa seseorang, terutama bagi mereka yang berada di strata atas pergaulan sosial. Sekali saja sebuah skandal terungkap, maka kematian akan terasa lebih ringan daripada jatuhnya kehormatan. “Dosa-dosa” inilah yang dicari dan dikorek oleh Count of Monte Cristo untuk menyiapkan jebakan bagi calon korbannya. Dengan cara itu, si calon korban tak pernah menyangka bahwa dirinya menjadi sasaran balas dendam, sampai Count of Monte Cristo menyiapkan “panggung” terakhir bagi pembalasan dendamnya….

Menariknya, meski benaknya dipenuhi dengan skenario pembalasan dendam, masih tersedia ruang di hati Count of Monte Cristo untuk bermurah hati bagi orang-orang yang baik dan dikasihinya. Bahkan ia rela berkorban nyawa, bila itu diperlukan untuk membiarkan orang yang dikasihinya tetap hidup. Maka sulitlah bagiku, dan mungkin anda juga, untuk dapat membenci Count of Monte Cristo atau mencapnya sebagai tokoh yang jahat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan pesonanya, dengan segala keagungan, kecerdikan, dan ketenangannya? Bagaimana mungkin aku tak tersentuh tiap kali mendengar kata-katanya yang indah namun datang dari lubuk hati terdalamnya? Bagaimana mungkin hatiku tak tertawan dengan kebijaksanaannya dalam melihat kehidupan? Dan bagaimana aku bisa tak menaruh simpati pada ketulusan hatinya untuk menolong orang lain, atau pada begitu dalam luka tertoreh di hatinya yang membuatnya harus membalas dendam?

Sosok Count of Monte Cristo alias Edmond Dantès ini menurutku, yang membuat buku ini akan selalu mendapat tempat di hatiku. Intrik bisa dibuat oleh siapapun. Bahkan plot intrik The Count of Monte Cristo ini sebenarnya dibuat berdasarkan inspirasi sebuah kisah dalam buku karya Jacques Peuchet yang terbit pada tahun 1838. Kisah itu tentang pembuat sepatu bernama Picaud yang akan menikahi seorang wanita kaya, lalu karena kecemburuan tiga orang temannya, difitnah sebagai mata-mata dan dijebloskan ke penjara. Teman sesama napi-nya yang sekarat menganugerahinya harta yang tersembunyi di suatu tempat, lalu Picaud mengambil harta itu setelah bebas, dan menggunakannya untuk balas dendam. Dan itu hanya salah satunya saja. Plot dasar buku ini juga merupakan karya Auguste Maquet, seorang ghost writer yang sering berkolaborasi dengan Dumas. Jadi…plot bisa dibuat oleh siapa saja, namun untuk memberi “jiwa” pada tokoh-tokohnya, tentu saja hanya bisa dilakukan oleh penulis besar, seperti Alexandre Dumas. Hanya di tangannyalah, sosok Count of Monte Cristo menjadi hidup, dan sekaligus menghidupkan buku ini!

Kalau bisa, aku ingin mempersembahkan 5,5 bintang bagi The Count of Monte Cristo, karena tak pelak lagi, buku ini merupakan salah satu novel klasik sepanjang masa yang tetap nikmat dibaca hingga berapa kalipun. Di akhir review ini ijinkan aku untuk mengutip kata-kata Edmond Dantès kepada Mercédès yang terus menggema di hatiku, ketika harus melakukan sebuah pengorbanan. Mungkin anda akan bisa memahami mengapa aku jatuh cinta pada tokoh Count of Monte Cristo ini…
“Kau mengatakan itu tanpa mengetahui besarnya pengorbanan yang akan kubuat untukmu, Mercédès. Andaikata Yang Maha Pencipta, setelah menciptakan sepertiga dunia, telah berhenti di sana untuk menyelamatkan air mata seorang malaikat yang justru telah menangisi kejahatan kita kelak; andaikan bahwa, setelah menyiapkan segala sesuatu dan menyebar benih kehidupan, persis ketika akan mengagumi karyanya, Tuhan telah menghapuskan matahari dan melemparkan dunia ke dalam malam abadi—jika kaubayangkan semua itu, kau masih tidak bisa membayangkan apa yang akan hilang dariku dengan kehilangan hidupku pada saat ini.”

Judul: The Count Of Monte Cristo
Penulis: Alexandre Dumas
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Maret 2011
Tebal: 563 hlm