Pages

Pages 2

Saturday, February 19, 2011

The Tales Of Terror & Detection

Buku ini merupakan salah satu kumpulan cerpen-cerpen detektif-gothic milik seorang sastrawan besar Amerika: Edgar Alan Poe, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Liris, Surabaya. Dengan cover yang bernuansa gelap dan angker dengan rumah bermenara tinggi di latar langit gelap dan cahaya bulan, memang nuansa gothic itu langsung terlihat. Kalau dibadingkan cover aslinya, aku pikir cover dari penerbit Liris ini lebih mengena. Tapi sayangnya...hanya cover itu saja yang bisa diandalkan dari versi terjemahan ini. Terjemahannya sendiri kacau, seolah-olah penerjemahnya hanya menerjemahkan apa adanya, tanpa mempedulikan isinya (itu kalau ia benar-benar memahami kedalaman maknanya dan dapat mengapresiasi sastranya).

Karena alasan di atas, aku hanya menyempatkan membaca 2 dari total 5 kisah yang ada di buku ini. Itupun karena kedua kisah itu ada tokoh detektif C. Auguste Dupin, tokoh detektif ciptaan Poe yang menjadi pelopor semua tokoh detektif di dunia kesusasteraan dunia, termasuk Sherlock Holmes yang muncul sesudah Dupin.

Misteri Marie Roget

Sebenarnya Poe pertama kali menghadirkan C. Auguste Dupin dalam kisah "The Murder in the Rue Morgue". Setelah itu ia menulis Misteri Marie Roget ini, di mana ia masih sedikit menyebut-nyebut tentang kasus Rue Morgue itu, meski tak ada kaitan langsung dengan kasus ini. Marie Roget adalah seorang gadis muda pelayan toko di Paris pada abad 19 yang cantik dan suka bergenit-genit. Ia pernah menghilang dari rumah ibunya selama seminggu penuh, membuat orang-orang mencarinya, namun akhirnya kembali tepat setelah seminggu, tanpa alasan yang jelas. Baru saja keluarga dan orang-orang di sekitarnya dapat melupakan peristiwa aneh itu, Marie kembali menghilang di suatu malam, setelah ia pamit hendak mengunjungi rumah bibinya. Dan kali ini bukannya kembali dalam keadaaan sehat walafiat, ia malah ditemukan sudah menjadi seonggok mayat mengambang di Sungai Seine empat hari kemudian.

Sebelum pergi, ia mengatakan pada tunangannya, St. Eustache bahwa ia akan melewatkan waktu di rumah bibinya di Rue Des Drome. Saat ditemukan di sungai, tubuhnya terapung dan pakaiannya sudah robek-robek berantakan. Belakangan, di sebuah sudut yang rimbun di sebuah taman, dua bocah menemukan beberapa bagian dari pakaian wanita yang diyakini adalah pakaian yang dikenakan Marie. Pada bagian penemuan pakaian ini agak membingungkan, karena kita tahu model gaun wanita pada jaman itu yang bertumpuk-tumpuk dan ribet.

Polisi telah melakukan penyelidikan, dan media-media cetak berlomba-lomba menerbitkan analisis mereka tentang kasus ini. Berdasarkan data-data yang terkumpul, tokoh 'aku' (yang tak pernah jelas siapa) membahas kasus itu bersama si jenius Auguste Dupin. Dupin adalah tipe detektif yang mengandalkan logika berpikir untuk memecahkan masalah. Ia jelas orang yang amat pandai, dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan sangat baik. Misalnya media cetak, yang saat itu sebagai satu-satunya pembentuk opini massa, ada yang mengambil kesimpulan bahwa mayat itu bukan mayat Marie, tapi wanita lain. Ada yang bilang bahwa pelakunya pastilah geng yang suka membuat keributan di kota itu.

Namun ketelitian dan logika hebat Dupin mematahkan semua asumsi para media cetak itu. Dupin mampu memaparkan detail yang paling remeh dengan logika yang hebat. Tak ada satu detail pernyataanpun yang luput dari radarnya. Di sini kadang kita juga seolah belajar sesuatu. Misalnya saja pembuktian Dupin tentang mayat Marie yang terapung. Media mengatakan bahwa waktu 3 hari tak cukup untuk membuat mayat bisa terapung. Menurut teori mereka, mayat harus mengalami pembusukan selama 6-10 hari untuk bisa kemudian muncul ke permukaan. Padahal menurut Dupin, bahkan kalau kita yang hidup dilemparkan ke air dan tak bisa berenang, ada orang yang akan tenggelam, ada yang tidak. Tahukah anda bahwa rata-rata berat gravitasi khusus tubuh kita dan jumlah air yang dipindahkan saat tubuh kita jatuh ke sungai, itu sama? Itu artinya bahwa secara alami, kita tidak akan begitu saja tenggelam hingga ke dasar sungai. Kecuali kalau kita lantas menjadi panik, mengangkat kedua tangan kita ke atas dan bergerak-gerak, maka kita akan tenggelam. Sebaliknya, kalau posisi kita tegak lurus seolah-olah berjalan di air, dan kepala didongakkan seakan-akan tidur di permukaan air, maka kita tidak akan tenggelam. Menarik kan?

Tapi penelusuran bukti-bukti yang njelimet dan pembuktiannya itu begitu bertele-tele, dengan kutipan dari surat kabar yang diulang-ulang, ditambah dengan terjemahan yang jauh dari sempurna, menjadikan kisah ini penyebab sakit kepala! Padahal aku hanya ingin tahu, siapa sih yang membunuh si Marie yang malang? Sebuah geng? Atau seorang pacar gelap?

Kisah kedua jauh lebih menghibur...

Surat Yang Dicuri (The Purloined Letter)

Kali ini, bukan soal pembunuhan yang diangkat, tetapi pencurian. Seorang Inspektur Kepolisian Paris pada suatu hari mendatangi Dupin (dan tokoh 'aku) untuk minta bantuan. TKP adalah di kerajaan. Pelakunya adalah seorang Menteri dengan inisial D. Dokumen yang dicurinya itu akan memberinya kekuasaan yang tak layak ia dapatkan dan membahayakan kedudukan seseorang di tingkat yang lebih tinggi. Surat itu dipastikan masih dimiliki oleh Menteri D. Namun, si Inspektur yang telah menerapkan semua ilmu penggeledahan yang paling canggih untuk menemukan surat itu di kediaman Menteri D, tak berhasil menemukannya.

Dupin, dengan logika dan rasiosinasi* nya yang kuatlah yang akhirnya mengetahui di mana surat itu berada selama ini, dan sekaligus berusaha merebutnya dari tangan Menteri D. Ternyata memang manusia selalu berasumsi bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dengan dirinya sendiri. Si Inspektur, yang bangga dengan pengetahuan dan ketrampilannya untuk menggeledah dengan teliti tempat-tempat persembunyian di suatu tempat, tak memikirkan kemungkinan bahwa seseorang yang cerdik dan tak ingin hartanya ditemukan orang lain, mungkin memilih meletakkan harta itu di tempat yang justru terlihat oleh semua orang. Bukankah peti yang tertutup dan tergembok rapat akan menyiratkan sesuatu yang rahasia atau berharga tersembunyi di dalamnya? Tapi kalau ada sebuah kotak yang digeletakkan sembarangan saja di atas meja, apakah kita akan mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan di situ?

Akhirnya, membaca buku ini memang melelahkan, tapi aku jadi bisa sedikit lebih mengenal metode-metode yang digunakan Auguste Dupin dalam pemecahan misterinya. Meski aku juga masih belum mampu mengenalnya secara personal, karena karakternya tak banyak dikupas di kedua kisah ini. Yang paling menarik (dan paling terkenal) pada diri Dupin adalah rasiosinasinya. *Rasiosinasi adalah proses penalaran yang menggabungkan logika dan imajinasi tinggi. Bisa dibilang rasiosinasi adalah hasil dari studi dari berbagai data yang ada, ditambah dengan pendekatan pribadi sang detektif pada situasi TKP secara umum, dengan tujuan untuk memahami apa yang kira-kira terjadi dan dialami oleh para pelaku sebuah kasus.

Using what Poe termed "ratiocination", Dupin combines his considerable intellect with creative imagination, even putting himself in the mind of the criminal. ~Wikipedia.

Membaca kedua kisah buku ini juga akan memberiku sedikit bayangan tentang karakter Edgar Allan Poe dan tokoh detektifnya, Auguste Dupin bagi kisah dan buku berikutnya yang akan aku lahap. Buku apa? Tunggu saja dengan sabar ulasannya di blog ini ya....

Judul : The Tales of Terror and Detection (terjemahan)
Pengarang : Edgar Allan Poe
Penerbit : Penerbit Liris
Penerjemah : Anna Karina
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 214 hlm

Friday, February 11, 2011

The Phantom Of The Opera

Don't judge people from their looks. Anda semua pasti setuju dengan kalimat tersebut. Namun pada kenyataannya kadang tidaklah semudah itu. Banyak contoh anak-anak yang lahir cacat atau abnormal disingkirkan dan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan kadang oleh keluarga dan orang tua mereka sendiri. Hal itulah yang menjadi cikal bakal kisah sejarah terkenal yang terjadi di Paris akhir abad 19: The Phantom Of The Opera. Seorang wartawan sejarah bernama Gaston Leroux lalu melakukan penyelidikan 30 tahun sesudahnya, dan menuliskan hasil analisa, wawancara dan penyelidikannya, serta merangkumnya menjadi sebuah kisah misteri, horor, cinta sekaligus petualangan yang menegangkan namun memberi nuansa seni yang hebat ini.

Warga Paris yang hidup pada jaman itu sudah mengenal Hantu Opera, demikian mereka menyebut fenomena-fenomena ganjil yang terjadi di dalam gedung opera itu yang tak pernah dapat dijelaskan. Hantu itu digambarkan berwajah seperti mayat atau tengkorak dengan mata yang menyala keemasan. Hantu itu kadang menampakkan diri, namun lebih sering lagi hanya terdengar suaranya, serta melakukan hal-hal yang mustahil dilakukan manusia. Si Hantu bukan hanya suka jail (seperti mengerjai kedua manajer Opera dan membuat malu seorang biduanita), namun ia bisa dibilang adalah penguasa gedung Opera beserta semua pertunjukannya. Ia mengklaim balkon nomor lima di gedung itu untuk dirinya, tak boleh disewakan atau ditempati orang lain. Ia mengatur siapa yang boleh bermain memerankan tokoh apa. Ia menuntut gaji 20 ribu franc kepada manajer Opera, dan memiliki setumpuk peraturan lain yang harus ditaati semua orang, kalau tidak.... akan terjadi 'hal-hal yang buruk'.

Hal yang buruk itu bisa saja hanya hilangnya seekor kuda, atau jatuhnya lampu kandelar besar yang tergantung di atap gedung opera, atau bahkan terbunuhnya seorang staf dengan cara digantung! Pendek kata, tak seorang pun tampak percaya pada kisah kekanak-kanakan tentang hantu itu, namun tak ada seorang pun juga yang tak merasa ngeri pada hantu itu. Lalu semuanya berubah saat seorang bintang baru Opera itu mulai bersinar. Dialah Christine Daae, seorang gadis nan cantik, lembut dan polos, yang sedari kecil dididik dalam kehalusan seni serta dongeng-dongeng tentang malaikat. Christine memiliki suara emas yang, konon, bagaikan suara malaikat dari surga. Suara itulah yang memikat sang Hantu Opera dan merebut hatinya!

Kepolosan Christine dimanfaatkan dengan baik oleh si hantu. Dengan gampangnya, si hantu memasukkan ide tentang Malaikat Musik, sosok gaib yang dikirim oleh almarhum ayah Christine untuk mengajarinya bernyanyi. Maka Christine pun tidak pernah mempertanyakan keberadaan 'Malaikat Musik' yang tak berwujud dan hanya terdengar suaranya saja dari balik tembok saat mengajarinya bernyanyi selama tiga bulan di dalam kamar gantinya setiap malam. Yang pertama kali mengetahui keganjilan ini adalah Viscount Raoul de Chagny, bangsawan muda yang jatuh cinta pada Christine yang dikenalnya semenjak kecil. Malam yang istimewa itu, saat Christine untuk pertama kalinya mengejutkan semua orang dengan suara gemilangnya, Raoul mengikuti Christine hingga ke kamar gantinya. Di sana ia mendengar suara pria berbicara pada Christine, namun ternyata tak ada seorang pun disana! Hantu itu....

Selanjutnya perilaku Christine menjadi aneh. Ia tampak tidak bahagia, ketakutan, dan menghindar dari Raoul seolah-olah ia tak mencintai pemuda malang itu. Atau itulah yang disangka Raoul pada awalnya. Ia merasa cemburu pada 'pria misterius yang mengajari Christine menyanyi dan dengan tidak sopannya melakukannya di kamar ganti sang bintang, berduaan saja di malam hari'. Yang ia tak sadari saat itu, sang pria bukan saja misterius dan kurang sopan, ia ternyata adalah sang Hantu Opera sendiri, yang ternyata juga bukanlah hantu namun justru jauh lebih berbahaya daripada hantu. Sang Hantu Opera sejatinya adalah seorang pria 'malang dan tak bahagia' bernama Erik.

Bagaimana seorang pria bisa menjadi hantu opera? Seperti yang telah kujadikan pembuka ulasan buku ini pada paragraf pertama tadi, penolakan dunia terhadap seorang pria berwajah buruk dan mengerikan, membuat Erik harus menyembunyikan dirinya dari dunia, di lorong-lorong bawah tanah yang gelap di dalam Gedung Opera. Di sebuah rumah di tepi telaga jauh di bawah gedung Opera, Erik menghabiskan hari-harinya. Ia mengenal setiap sudut gedung itu karena ia dulu ikut merancang bangunannya sebagai seorang arsitek. Setelah tugasnya selesai, diam-diam ia merancang dan membangun rumahnya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun. Tak ada yang bisa masuk ke rumahnya karena ia menyiapkan jebakan-jebakan maut. 'Nyanyian maut' di dalam telaga bagi yang datang dengan perahu lewat telaga, atau 'Bilik Penyiksaan' bagi yang datang lewat suatu jalan rahasia di gudang ketiga Opera.

Erik berhasil memikat Christine dengan kedok Malaikat Musiknya sehingga ia dapat menculik si gadis ke rumah tepi telaganya. Ia ingin menjadikan Christine sebagai istrinya, kalau tidak, ia akan menghancurkan 'dunia atas', sebutannya untuk dunia normal di mana ia ditolak. Hanya si Orang Persia yang mengetahui rahasianya karena orang ini dulu pernah menyelamatkan nyawa Erik. Orang Persia mengetahui hampir semua karya-karya jenius Erik sebagai seorang arsitektur sekaligus ilusionis. Erik mampu mendesain 'pintu jebakan', ilusi menggunakan cermin, dan 'bilik penyiksaan' yang mampu membunuh orang. Menarik menyimak tentang bagaimana ilusi dapat menyesatkan orang, bahkan membuatnya ingin mati dan akhirnya membunuh diri. Bahkan si orang Persia yang tenang dan mengetahui rahasia bilik penyiksaan itu juga akhirnya terhanyut pada ilusi ciptaan Erik. Menarik membayangkan bagaimana sebuah ruangan yang didesain khusus dengan cermin bisa begitu mematikan! Lebih menakutkan daripada ruangan yang penuh senjata, karena senjata digerakkan oleh orang lain, sementara dengan ilusi, kau sendiri yang membunuh dirimu.

Boleh dibilang, petualangan orang Persia dan Raoul de Chagny untuk menyelamatkan Christine dari cengkeraman Erik inilah yang teramat seru dan tegang dalam buku ini. Mereka akhirnya menyadari rencana akhir sang Hantu: yaitu untuk menghancurkan 'dunia atas' sebagai pelampiasan dendamnya pada mereka yang menolaknya. Dan Christine adalah satu-satunya harapan mereka, karena kalau ia menolak menikah dengan Erik, Erik akan menghancurkan mereka semua....

The Phantom Of The Opera benar-benar kisah yang menggugah. Kita akan dibawa dalam pesona opera dan kesenian tingkat tinggi, pada syair-syair anggun dari petikan drama yang digelar, dan pada eksotisme dan kemisteriusan gedung opera dengan rumah tepi telaga dan lorong-lorong gelapnya. Kita juga akan diajak melihat bagaimana cinta dapat menyentuh, lalu mengubah sebuah kehidupan. Bagaimana cinta mampu menjadi benci karena ketiadaanya, namun cinta juga mampu mengasihani dan rela berkorban saat ia terpenuhi. Yang paling membuat kisah ini menarik, adalah karena kisah yang serupa dongeng ini benar-benar nyata! Paling tidak, Gaston Leroux telah melakukan pekerjaan yang patut diacungi jempol untuk menyingkapkan kebenaran sejarah sekaligus menyajikan sebuah hiburan yang indah, mengharukan dan menginspirasi.

Kita layak berterima kasih pada penerbit Serambi yang telah menerbitkan kisah klasik ini, dan menyajikannya dalam buku bercover lux, ditambah bonus pembatas buku nan cantik (dengan paduan warna hitam, putih dan ungu yang nampak mewah). Hanya sayang (lagi-lagi), masih banyak kesalahan ejaan yang mengganggu di sana-sini. Aku sungguh berharap, para penerbit lebih memperhatikan masalah ini. Karena sejatinya, membaca itu bukan hanya proses memahami sebuah tulisan, namun lebih pada menikmati sebuah perjalanan pikiran dan emosi. Dan sungguh...kesalahan ejaan itu bisa jadi sangat mengganggu proses itu. Semoga masalah semacam itu tak lagi menodai kisah yang mengagumkan semacam The Phantom Of The Opera ini.

Note: Oh ya, apakah anda tahu bahwa kisah ini pernah dibuat film? Bagi yang sudah menonton, setting rumah telaga Erik memang sesuai dengan kisah aslinya. Namun sosok Erik jauh lebih menyeramkan di kisah aslinya, baik fisiknya, kepandaiannya maupun caranya membalas dendam. Secara keseluruhan bukunya JAUH lebih bagus daripada filmnya! (seperti biasa ya...)

Terakhir sebagai penutup, aku ingin mengutip kata-kata si pengarang dalam epilognya, mengenai sosok Erik sang Hantu Opera:

"...Erik yang malang dan tidak bahagia! Haruskah kita iba padanya? Mengutuknya? Dia hanya ingin menjadi seperti manusia lain. Tapi wajahnya terlalu mengerikan. Dia harus menyembunyikan kejeniusannya atau memakainya untuk mengelabui manusia lain, padahal, dengan wajah yang normal, dia pasti akan menjadi anggota masyarakat yang paling mulia. Dia memiliki kemampuan untuk menggenggam dunia, tapi pada akhirnya harus puas dengan sebuah gudang bawah tanah. Dengan demikian jelaslah, Hantu Opera tersebut patut dikasihani."


Judul: The Phantom Of The Opera
Pengarang: Gaston Leroux
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Istiani Prayuni
Cetakan: Februari 2010
Halaman: 485 hlm.