Buku ini merupakan salah satu kumpulan cerpen-cerpen detektif-gothic milik seorang sastrawan besar Amerika: Edgar Alan Poe, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Liris, Surabaya. Dengan cover yang bernuansa gelap dan angker dengan rumah bermenara tinggi di latar langit gelap dan cahaya bulan, memang nuansa gothic itu langsung terlihat. Kalau dibadingkan cover aslinya, aku pikir cover dari penerbit Liris ini lebih mengena. Tapi sayangnya...hanya cover itu saja yang bisa diandalkan dari versi terjemahan ini. Terjemahannya sendiri kacau, seolah-olah penerjemahnya hanya menerjemahkan apa adanya, tanpa mempedulikan isinya (itu kalau ia benar-benar memahami kedalaman maknanya dan dapat mengapresiasi sastranya).
Karena alasan di atas, aku hanya menyempatkan membaca 2 dari total 5 kisah yang ada di buku ini. Itupun karena kedua kisah itu ada tokoh detektif C. Auguste Dupin, tokoh detektif ciptaan Poe yang menjadi pelopor semua tokoh detektif di dunia kesusasteraan dunia, termasuk Sherlock Holmes yang muncul sesudah Dupin.
Misteri Marie Roget
Sebenarnya Poe pertama kali menghadirkan C. Auguste Dupin dalam kisah "The Murder in the Rue Morgue". Setelah itu ia menulis Misteri Marie Roget ini, di mana ia masih sedikit menyebut-nyebut tentang kasus Rue Morgue itu, meski tak ada kaitan langsung dengan kasus ini. Marie Roget adalah seorang gadis muda pelayan toko di Paris pada abad 19 yang cantik dan suka bergenit-genit. Ia pernah menghilang dari rumah ibunya selama seminggu penuh, membuat orang-orang mencarinya, namun akhirnya kembali tepat setelah seminggu, tanpa alasan yang jelas. Baru saja keluarga dan orang-orang di sekitarnya dapat melupakan peristiwa aneh itu, Marie kembali menghilang di suatu malam, setelah ia pamit hendak mengunjungi rumah bibinya. Dan kali ini bukannya kembali dalam keadaaan sehat walafiat, ia malah ditemukan sudah menjadi seonggok mayat mengambang di Sungai Seine empat hari kemudian.
Sebelum pergi, ia mengatakan pada tunangannya, St. Eustache bahwa ia akan melewatkan waktu di rumah bibinya di Rue Des Drome. Saat ditemukan di sungai, tubuhnya terapung dan pakaiannya sudah robek-robek berantakan. Belakangan, di sebuah sudut yang rimbun di sebuah taman, dua bocah menemukan beberapa bagian dari pakaian wanita yang diyakini adalah pakaian yang dikenakan Marie. Pada bagian penemuan pakaian ini agak membingungkan, karena kita tahu model gaun wanita pada jaman itu yang bertumpuk-tumpuk dan ribet.
Polisi telah melakukan penyelidikan, dan media-media cetak berlomba-lomba menerbitkan analisis mereka tentang kasus ini. Berdasarkan data-data yang terkumpul, tokoh 'aku' (yang tak pernah jelas siapa) membahas kasus itu bersama si jenius Auguste Dupin. Dupin adalah tipe detektif yang mengandalkan logika berpikir untuk memecahkan masalah. Ia jelas orang yang amat pandai, dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan sangat baik. Misalnya media cetak, yang saat itu sebagai satu-satunya pembentuk opini massa, ada yang mengambil kesimpulan bahwa mayat itu bukan mayat Marie, tapi wanita lain. Ada yang bilang bahwa pelakunya pastilah geng yang suka membuat keributan di kota itu.
Namun ketelitian dan logika hebat Dupin mematahkan semua asumsi para media cetak itu. Dupin mampu memaparkan detail yang paling remeh dengan logika yang hebat. Tak ada satu detail pernyataanpun yang luput dari radarnya. Di sini kadang kita juga seolah belajar sesuatu. Misalnya saja pembuktian Dupin tentang mayat Marie yang terapung. Media mengatakan bahwa waktu 3 hari tak cukup untuk membuat mayat bisa terapung. Menurut teori mereka, mayat harus mengalami pembusukan selama 6-10 hari untuk bisa kemudian muncul ke permukaan. Padahal menurut Dupin, bahkan kalau kita yang hidup dilemparkan ke air dan tak bisa berenang, ada orang yang akan tenggelam, ada yang tidak. Tahukah anda bahwa rata-rata berat gravitasi khusus tubuh kita dan jumlah air yang dipindahkan saat tubuh kita jatuh ke sungai, itu sama? Itu artinya bahwa secara alami, kita tidak akan begitu saja tenggelam hingga ke dasar sungai. Kecuali kalau kita lantas menjadi panik, mengangkat kedua tangan kita ke atas dan bergerak-gerak, maka kita akan tenggelam. Sebaliknya, kalau posisi kita tegak lurus seolah-olah berjalan di air, dan kepala didongakkan seakan-akan tidur di permukaan air, maka kita tidak akan tenggelam. Menarik kan?
Tapi penelusuran bukti-bukti yang njelimet dan pembuktiannya itu begitu bertele-tele, dengan kutipan dari surat kabar yang diulang-ulang, ditambah dengan terjemahan yang jauh dari sempurna, menjadikan kisah ini penyebab sakit kepala! Padahal aku hanya ingin tahu, siapa sih yang membunuh si Marie yang malang? Sebuah geng? Atau seorang pacar gelap?
Kisah kedua jauh lebih menghibur...
Surat Yang Dicuri (The Purloined Letter)
Kali ini, bukan soal pembunuhan yang diangkat, tetapi pencurian. Seorang Inspektur Kepolisian Paris pada suatu hari mendatangi Dupin (dan tokoh 'aku) untuk minta bantuan. TKP adalah di kerajaan. Pelakunya adalah seorang Menteri dengan inisial D. Dokumen yang dicurinya itu akan memberinya kekuasaan yang tak layak ia dapatkan dan membahayakan kedudukan seseorang di tingkat yang lebih tinggi. Surat itu dipastikan masih dimiliki oleh Menteri D. Namun, si Inspektur yang telah menerapkan semua ilmu penggeledahan yang paling canggih untuk menemukan surat itu di kediaman Menteri D, tak berhasil menemukannya.
Dupin, dengan logika dan rasiosinasi* nya yang kuatlah yang akhirnya mengetahui di mana surat itu berada selama ini, dan sekaligus berusaha merebutnya dari tangan Menteri D. Ternyata memang manusia selalu berasumsi bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dengan dirinya sendiri. Si Inspektur, yang bangga dengan pengetahuan dan ketrampilannya untuk menggeledah dengan teliti tempat-tempat persembunyian di suatu tempat, tak memikirkan kemungkinan bahwa seseorang yang cerdik dan tak ingin hartanya ditemukan orang lain, mungkin memilih meletakkan harta itu di tempat yang justru terlihat oleh semua orang. Bukankah peti yang tertutup dan tergembok rapat akan menyiratkan sesuatu yang rahasia atau berharga tersembunyi di dalamnya? Tapi kalau ada sebuah kotak yang digeletakkan sembarangan saja di atas meja, apakah kita akan mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan di situ?
Akhirnya, membaca buku ini memang melelahkan, tapi aku jadi bisa sedikit lebih mengenal metode-metode yang digunakan Auguste Dupin dalam pemecahan misterinya. Meski aku juga masih belum mampu mengenalnya secara personal, karena karakternya tak banyak dikupas di kedua kisah ini. Yang paling menarik (dan paling terkenal) pada diri Dupin adalah rasiosinasinya. *Rasiosinasi adalah proses penalaran yang menggabungkan logika dan imajinasi tinggi. Bisa dibilang rasiosinasi adalah hasil dari studi dari berbagai data yang ada, ditambah dengan pendekatan pribadi sang detektif pada situasi TKP secara umum, dengan tujuan untuk memahami apa yang kira-kira terjadi dan dialami oleh para pelaku sebuah kasus.
Membaca kedua kisah buku ini juga akan memberiku sedikit bayangan tentang karakter Edgar Allan Poe dan tokoh detektifnya, Auguste Dupin bagi kisah dan buku berikutnya yang akan aku lahap. Buku apa? Tunggu saja dengan sabar ulasannya di blog ini ya....
Judul : The Tales of Terror and Detection (terjemahan)
Pengarang : Edgar Allan Poe
Penerbit : Penerbit Liris
Penerjemah : Anna Karina
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 214 hlm
Karena alasan di atas, aku hanya menyempatkan membaca 2 dari total 5 kisah yang ada di buku ini. Itupun karena kedua kisah itu ada tokoh detektif C. Auguste Dupin, tokoh detektif ciptaan Poe yang menjadi pelopor semua tokoh detektif di dunia kesusasteraan dunia, termasuk Sherlock Holmes yang muncul sesudah Dupin.
Misteri Marie Roget
Sebenarnya Poe pertama kali menghadirkan C. Auguste Dupin dalam kisah "The Murder in the Rue Morgue". Setelah itu ia menulis Misteri Marie Roget ini, di mana ia masih sedikit menyebut-nyebut tentang kasus Rue Morgue itu, meski tak ada kaitan langsung dengan kasus ini. Marie Roget adalah seorang gadis muda pelayan toko di Paris pada abad 19 yang cantik dan suka bergenit-genit. Ia pernah menghilang dari rumah ibunya selama seminggu penuh, membuat orang-orang mencarinya, namun akhirnya kembali tepat setelah seminggu, tanpa alasan yang jelas. Baru saja keluarga dan orang-orang di sekitarnya dapat melupakan peristiwa aneh itu, Marie kembali menghilang di suatu malam, setelah ia pamit hendak mengunjungi rumah bibinya. Dan kali ini bukannya kembali dalam keadaaan sehat walafiat, ia malah ditemukan sudah menjadi seonggok mayat mengambang di Sungai Seine empat hari kemudian.
Sebelum pergi, ia mengatakan pada tunangannya, St. Eustache bahwa ia akan melewatkan waktu di rumah bibinya di Rue Des Drome. Saat ditemukan di sungai, tubuhnya terapung dan pakaiannya sudah robek-robek berantakan. Belakangan, di sebuah sudut yang rimbun di sebuah taman, dua bocah menemukan beberapa bagian dari pakaian wanita yang diyakini adalah pakaian yang dikenakan Marie. Pada bagian penemuan pakaian ini agak membingungkan, karena kita tahu model gaun wanita pada jaman itu yang bertumpuk-tumpuk dan ribet.
Polisi telah melakukan penyelidikan, dan media-media cetak berlomba-lomba menerbitkan analisis mereka tentang kasus ini. Berdasarkan data-data yang terkumpul, tokoh 'aku' (yang tak pernah jelas siapa) membahas kasus itu bersama si jenius Auguste Dupin. Dupin adalah tipe detektif yang mengandalkan logika berpikir untuk memecahkan masalah. Ia jelas orang yang amat pandai, dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan sangat baik. Misalnya media cetak, yang saat itu sebagai satu-satunya pembentuk opini massa, ada yang mengambil kesimpulan bahwa mayat itu bukan mayat Marie, tapi wanita lain. Ada yang bilang bahwa pelakunya pastilah geng yang suka membuat keributan di kota itu.
Namun ketelitian dan logika hebat Dupin mematahkan semua asumsi para media cetak itu. Dupin mampu memaparkan detail yang paling remeh dengan logika yang hebat. Tak ada satu detail pernyataanpun yang luput dari radarnya. Di sini kadang kita juga seolah belajar sesuatu. Misalnya saja pembuktian Dupin tentang mayat Marie yang terapung. Media mengatakan bahwa waktu 3 hari tak cukup untuk membuat mayat bisa terapung. Menurut teori mereka, mayat harus mengalami pembusukan selama 6-10 hari untuk bisa kemudian muncul ke permukaan. Padahal menurut Dupin, bahkan kalau kita yang hidup dilemparkan ke air dan tak bisa berenang, ada orang yang akan tenggelam, ada yang tidak. Tahukah anda bahwa rata-rata berat gravitasi khusus tubuh kita dan jumlah air yang dipindahkan saat tubuh kita jatuh ke sungai, itu sama? Itu artinya bahwa secara alami, kita tidak akan begitu saja tenggelam hingga ke dasar sungai. Kecuali kalau kita lantas menjadi panik, mengangkat kedua tangan kita ke atas dan bergerak-gerak, maka kita akan tenggelam. Sebaliknya, kalau posisi kita tegak lurus seolah-olah berjalan di air, dan kepala didongakkan seakan-akan tidur di permukaan air, maka kita tidak akan tenggelam. Menarik kan?
Tapi penelusuran bukti-bukti yang njelimet dan pembuktiannya itu begitu bertele-tele, dengan kutipan dari surat kabar yang diulang-ulang, ditambah dengan terjemahan yang jauh dari sempurna, menjadikan kisah ini penyebab sakit kepala! Padahal aku hanya ingin tahu, siapa sih yang membunuh si Marie yang malang? Sebuah geng? Atau seorang pacar gelap?
Kisah kedua jauh lebih menghibur...
Surat Yang Dicuri (The Purloined Letter)
Kali ini, bukan soal pembunuhan yang diangkat, tetapi pencurian. Seorang Inspektur Kepolisian Paris pada suatu hari mendatangi Dupin (dan tokoh 'aku) untuk minta bantuan. TKP adalah di kerajaan. Pelakunya adalah seorang Menteri dengan inisial D. Dokumen yang dicurinya itu akan memberinya kekuasaan yang tak layak ia dapatkan dan membahayakan kedudukan seseorang di tingkat yang lebih tinggi. Surat itu dipastikan masih dimiliki oleh Menteri D. Namun, si Inspektur yang telah menerapkan semua ilmu penggeledahan yang paling canggih untuk menemukan surat itu di kediaman Menteri D, tak berhasil menemukannya.
Dupin, dengan logika dan rasiosinasi* nya yang kuatlah yang akhirnya mengetahui di mana surat itu berada selama ini, dan sekaligus berusaha merebutnya dari tangan Menteri D. Ternyata memang manusia selalu berasumsi bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dengan dirinya sendiri. Si Inspektur, yang bangga dengan pengetahuan dan ketrampilannya untuk menggeledah dengan teliti tempat-tempat persembunyian di suatu tempat, tak memikirkan kemungkinan bahwa seseorang yang cerdik dan tak ingin hartanya ditemukan orang lain, mungkin memilih meletakkan harta itu di tempat yang justru terlihat oleh semua orang. Bukankah peti yang tertutup dan tergembok rapat akan menyiratkan sesuatu yang rahasia atau berharga tersembunyi di dalamnya? Tapi kalau ada sebuah kotak yang digeletakkan sembarangan saja di atas meja, apakah kita akan mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan di situ?
Akhirnya, membaca buku ini memang melelahkan, tapi aku jadi bisa sedikit lebih mengenal metode-metode yang digunakan Auguste Dupin dalam pemecahan misterinya. Meski aku juga masih belum mampu mengenalnya secara personal, karena karakternya tak banyak dikupas di kedua kisah ini. Yang paling menarik (dan paling terkenal) pada diri Dupin adalah rasiosinasinya. *Rasiosinasi adalah proses penalaran yang menggabungkan logika dan imajinasi tinggi. Bisa dibilang rasiosinasi adalah hasil dari studi dari berbagai data yang ada, ditambah dengan pendekatan pribadi sang detektif pada situasi TKP secara umum, dengan tujuan untuk memahami apa yang kira-kira terjadi dan dialami oleh para pelaku sebuah kasus.
Using what Poe termed "ratiocination", Dupin combines his considerable intellect with creative imagination, even putting himself in the mind of the criminal. ~Wikipedia.
Membaca kedua kisah buku ini juga akan memberiku sedikit bayangan tentang karakter Edgar Allan Poe dan tokoh detektifnya, Auguste Dupin bagi kisah dan buku berikutnya yang akan aku lahap. Buku apa? Tunggu saja dengan sabar ulasannya di blog ini ya....
Judul : The Tales of Terror and Detection (terjemahan)
Pengarang : Edgar Allan Poe
Penerbit : Penerbit Liris
Penerjemah : Anna Karina
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 214 hlm