Dalam arti harafiahnya, wuthering adalah cuaca buruk semacam badai dengan angin yang kencang. Namun dalam novel klasik bersetting abad 19 karangan Emily Bronte ini, Wuthering Heights adalah nama sebuah rumah milik keluarga Earnshaw. Meskipun, nama Wuthering memang pas juga disandang oleh rumah itu kalau melihat sejarah para penghuninya yang membuat ketenangan dan kedamaian tak pernah ada di dalam Wuthering Heights.
“Wuthering” [baca: badai] pertama ditiupkan oleh Mr. Earnshaw ke tengah keluarganya yang (saat itu) harmonis, ketika suatu hari ia pulang dari luar negeri. Entah dengan alasan apa, ia memungut seorang bocah keturunan gipsi untuk menjadi anggota keluarga baru Earnshaw. Anak itu diberi nama Heathcliff. Kombinasi pemanjaan dan pemujaan dari ayah angkatnya, ditambah perlakuan buruk semua orang kepadanya, membuat Heathcliff tumbuh sebagai orang yang kasar, pahit, jahat, pendendam dan cenderung brutal. Hindley, putra sulung Mr. Earnshaw teramat sangat membencinya karena ayahnya kini mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatiannya pada Heathcliff kecil, dan mencampakkan Hindley dan adiknya Catherine begitu saja. Di sisi lain, Catherine yang tumbuh sebagai gadis liar justru menyukai dan berteman akrab dengan Heathcliff.
Bertetangga dengan Wuthering Heights, hiduplah Mr. & Mrs. Linton beserta Edgar dan Isabella anak-anak mereka, di rumah yang berjuluk Thrushcross Grange. Edgar muda tertarik pada Catherine Earnshaw, sementara si gadis lebih menyukai Heathcliff yang juga membalas perasaannya. Sementara itu, setelah Hindley meninggalkan rumah untuk kuliah, Mr. Earnshaw pun meninggal dunia. Kematiannya menjadikan Hindley yang telah menikah, pemilik Wuthering Heights yang baru. Dan untuk membalaskan dendam kesumatnya, ia menurunkan derajat Heathcliff menjadi setara pelayan yang hina. Sementara Catherine, yang tadinya sama liar dan tak terurusnya seperti Heathcliff mendadak berubah menjadi lebih anggun dan bermartabat setelah menginap beberapa minggu di rumah keluarga Linton. Hal ini menjadikan ia semakin jauh dari Heathcliff, dan semakin dekat dengan Edgar…
Rasanya setelah membaca sekilas 3 paragraf di atas, novel ini hanyalah menyajikan sebuah drama keluarga biasa yang membosankan dan datar-datar saja. Anda keliru! Novel ini justru cenderung bernuansa “gelap”, tragis dan brutal. Emily Bronte rupanya adalah, entah seorang penulis yang ahli masalah kejiwaan, atau memang memiliki latar belakang kehidupan yang sangat kelam. Karena, persoalan dua keluarga yang biasa ditemui pada jaman itu: jatuh cinta, perkawinan, iri, dendam…dirangkai olehnya sehingga sanggup mempengaruhi emosi dan bahkan kebencian pembaca. Boleh dibilang, amarah anda rasanya akan tersulut tiap kali salah seorang dari tokoh-tokohnya berbicara kasar sambil menebarkan ancaman yang sangat kejam dan sadis.
Dan Emily dengan cerdiknya membungkus kisah itu sebagai cerita bersambung Ellen (Nelly) Dean, seorang pengasuh di Wuthering Heights, yang dikisahkannya atas permintaan Mr. Lockwood, seorang pria yang menyewa rumah Thrushcross Grange dimiliki Mr. Heathcliff. Tokoh Heathcliff memang menjadi benang merah novel sepanjang 488 halaman ini. Setelah tamat membaca buku ini, aku merasa bahwa Heathcliff adalah karakter yang paling kuat di kisah Wuthering Heights ini. Saking kuatnya, Heathcliff dapat mencengkeramkan pengaruhnya (dan meniupkan “wuthering” demi “wuthering”) ke dalam hidup orang-orang di sekitarnya. Seolah, karena ia sepanjang hidupnya harus menderita, maka tak ada orang lain yang boleh merasa bahagia. Berkat Heathcliff pula, jalan hidup semua tokoh lainnya jadi berubah. Dan hebatnya, tak ada yang dapat menolak pengaruh jahat Heathcliff ini, apalagi memeranginya. Mereka semua hanya dapat bertahan.
Lihat saja Catherine yang menderita karena cinta, meski Edgar mencintainya sepenuh hati (yang sangat aku herankan mengingat karakter Catherine yang liar dan cintanya pada Heathcliff). Lihat juga bagaimana Hindley menjadi setengah gila karena dendam, sehingga mempengaruhi pertumbuhan Hareton, anak lelakinya, menjadi bocah yang bodoh dan berperangai kasar. Dan cengkeraman jahat Heathcliff ini tak berhenti setelah ia mengawini Isabella Linton yang ia benci (lebih heran lagi aku pada kebodohan Isabella yang jelas-jelas melihat karakter buruk Heathcliff tetapi tetap mencintai dan menikahinya!). Perangai Heathcliff juga tak berubah setelah ia memiliki anak lelaki yang cengeng. Kenyataan bahwa mereka yang segenerasi dengannya telah tiada, tetap tak menyurutkan obsesi Heathcliff untuk membalaskan dendam pada anak-cucu mereka.
Aku jadi berandai-andai…kalau saja semua perangai jahat Heathcliff itu diganti dengan perangai yang baik, maka karakter Heathcliff akan bisa menjadi panutan. Di kisah ini ia begitu konsisten membenci, berbuat jahat dan memastikan orang lain hidup menderita. Alangkah baiknya kalau seseorang bisa konsisten mengasihi sesamanya, selalu berbuat baik, dan membaktikan seluruh hidup, pikiran dan tenaganya untuk membuat kehidupan orang lain lebih baik! Ah…seandainya saja… Tapi, mungkin kalau Emily Bronte menulis kisah dengan tokoh yang sedemikian baik, bukunya tak akan selaris dan sefenomenal Wuthering Heights ini. Sebagai catatan, di Goodreads aku mengamati bahwa kebanyakan orang memberi bintang 5 (amazing) atau 2 dan bahkan 1 (didn’t like it), jarang orang memberikan bintang 3 atau 4. Yang artinya, kebencian dan kejahatan di satu sisi bisa membuat anda muak setengah mati, namun di sisi lain bisa sangat mempesona. Berada di kubu manakah anda? Oh ya, tentu saja anda harus membacanya dulu sebelum bisa menjawab. Yang jelas aku seharusnya bisa memberikan 1 atau 2 bintang saja, namun aku juga tak bisa mengabaikan kepiawaian Emily Bronte dalam menulis kisah ini. Buktinya? Ia mampu membuatku sangat muak pada Heathcliff dan semua yang ada di Wuthering Heights ini hanya melalui tulisannya. Hebat bukan?....
Judul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Bronte
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: April 2011
Tebal: 488 hlm