Label “bocah malang” mungkin paling pas disematkan pada tokoh anak yatim piatu di Inggris yang hidup pada abad 19 rekaan Charles Dickens ini: Oliver Twist. Bagaimana tidak, begitu lahir dari hubungan orang tua yang tidak jelas (baca: di luar nikah), ia langsung menjadi yatim piatu. Ayahnya sudah lama pergi entah kemana, sedang ibunya yang ringkih meninggal tak lama setelah ia lahir. Nasib anak yatim piatu yang tak memiliki akar sejarah yang jelas amatlah menyedihkan pada jaman itu. Mereka berada di bawah pengawasan semacam Dinas Sosial yang dikelola oleh pemerintah, dan ditempatkan di Rumah Sosial yang dikelola warga dan ditunjang oleh pemerintah. Jangan berpikir bahwa mereka bisa hidup enak di sana. Kebanyakan rumah sosial itu justru tidak sosial sama sekali, mereka malah mengambil keuntungan dengan menyunat anggaran untuk makanan dan kebutuhan anak-anak itu dari anggaran sebenarnya yang sudah sangat kecil dari pemerintah. Alhasil, anak-anak itu menderita kurang gizi parah, belum lagi perlakuan tidak manusiawi seperti tempat tidur kumuh dan sempit, bekerja berat dan siksaan fisik menjadikan hidup anak-anak yatim itu semakin suram.
Di lingkungan seperti itulah Oliver Twist kecil tumbuh selama delapan tahun. Saking parahnya keadaan itu, Dickens menggambarkan rakusnya Oliver saat diberi makanan basi atau makanan anjing, karena makanan yang didapat di rumah sosial lebih parah lagi! Dickens mampu menggambarkan situasi suram itu dengan demikian hidup karena situasi itu memang nyata terjadi di London saat ia menulis kisah ini, dan konon Dickens sendiripun pernah menjadi pekerja anak-anak di masa kecilnya.
Oliver Twist sendiri nampaknya akan menghabiskan seumur hidupnya sebagai anak yatim piatu malang, kalau saja suatu hari ia tidak memberanikan diri memohon untuk mendapatkan tambahan makanan kepada staf rumah sosial. Tak dinyana, keberaniannya itu berbuah petaka bagi Oliver. Ia disebut sebagai berandalan cilik, dilaporkan kepada Dewan, yang akhirnya dalam sebuah sidang memutuskan Oliver harus “dibuang” dari pengasuhan mereka kepada siapapun yang mampu dan mau membelinya seharga lima pound. Bayangkan, minta tambah makanan (dari porsi yang memang tidak manusiawi) dengan memelas ternyata dianggap sebagai kejahatan besar! Betapa tak adil dan tak manusiawinya perlakuan mereka….
Akhirnya seorang pengusaha rumah kematian bernama Tuan Sowerberry mengambil dan mempekerjakan Oliver. Oliver pun diantar oleh Tuan Bumble, seorang pejabat Sekretaris Desa yang sok kuasa dan mata duitan. Awalnya semua berjalan lancar, bahkan Oliver sempat menjadi andalan bisnis Tuan Sowerberry. Hingga suatu hari ‘anak buah’ Tuan Sowerberry lainnya yang bernama Noah Claypole memancing gara-gara karena iri pada kemajuan karir si anak baru Oliver. Ia menghina ibu Oliver yang memang dicap ‘penjahat’ oleh masyarakat. Akibatnya, Oliver yang kecil dan lemah itu marah besar dan mampu menyerang dan memukuli Noah yang bertubuh lebih besar. Anda pasti dapat menduga kelanjutannya…lagi-lagi Oliver dicap sebagai berandalan dan penjahat cilik. Tak tahan menanggung semuanya, Oliver pun melarikan diri dari kediaman Sowerberry. Berkelana tanpa tujuan jelas, kelaparan dan tak memiliki tempat berteduh, dalam perjalanan Oliver sempat mengunjungi Dick, sahabatnya di rumah sosial dulu. Nasib Dick tak kalah menyedihkannya dibanding Oliver, namun alih-alih menangisi nasib sendiri, Dick justru menyemangati Oliver untuk melanjutkan hidupnya. “Tuhan memberkatimu” adalah kata-kata Dick yang menghidupkan harapan di hati Oliver.
Oliver melanjutkan perjalanan hingga tibalah ia di dekat batu penanda jalan (milestone) yang menunjukkan jarak 70 mil menuju London (yang menjadi gambar cover buku ini). Di titik ini Oliver memutuskan bahwa ia akan mengadu nasib di kota London. Tiba di London, Oliver yang kecapekan dan kelaparan tak disangka-sangka mendapat uluran tangan dari seorang pemuda yang baru dikenalnya. Sekali lagi…nasib baik belum berpihak pada Oliver. Karena pemuda yang menolongnya itu justru adalah penjahat dan pencopet bernama Artful Dodger yang dididik oleh Tuan Fagin, si raja pencuri!
Untuk sementara Oliver memiliki tempat berteduh dan makanan yang cukup untuknya melanjutkan hidup. Tapi, semua itu tak ia dapat secara cuma-cuma. Tuan Fagin menampungnya untuk dididik menjadi seorang pencopet cilik, menemani Dodger dan Charley Bates yang sudah duluan menekuni “bisnis” mendapatkan barang secara ilegal dengan mencopet dan mencuri. Awalnya Oliver yang polos tak menyadari kenyataan ini. Matanya baru terbuka saat ia diperbolehkan ikut “bekerja” bersama Dodger dan Bates. Oliver menyaksikan dengan ngeri bagaimana kedua rekan mudanya mencopet saputangan milik seorang pria terhormat yang sedang asyik membaca buku di sebuah lapak buku. Secara naluriah, Oliver langsung lari ketakutan dari tempat kejadian, terpisah dari kedua rekannya. Si tuan korban pencurian langsung mengejarnya karena mengira ia pencopetnya, dan segera diikuti oleh massa yang sengaja digerakkan Dodger dan Bates untuk menjauhkan mereka sendiri dari kecurigaan. Seperti biasa, yang paling lantang berteriak ‘maling’ pastilah si maling sendiri!
Dan sekali lagi nasib buruk menghampiri Oliver. Ketakutan, babak belur dipukuli massa, iapun dituduh melakukan kejahatan tanpa kesempatan membela diri dan dijebloskan ke penjara. Beruntunglah, pria terhormat korban pencopetan yang bernama Tuan Brownlow benar-benar layak menyandang gelar ‘terhormat’. Ia merasa Oliver tak bersalah, dan berkat kesaksian pemilik lapak buku tempat Tuan Brownlow kecopetan, yang menyaksikan sendiri kejadian itu, akhirnya Oliver dibebaskan dari penjara. Kini Oliver boleh bernapas lega. Ia dirawat dengan baik dan penuh kasih sayang oleh Tuan Brownlow dan pengasuh tua bernama Nyonya Bedwin. Di sini pula Oliver pertama kali mendapatkan siraman kasih yang seumur hidupnya yang kelam tak pernah ia rasakan.
Sayang, kebahagiaan itu hanya berumur jagung, karena Tuan Fagin dan gerombolannya tak kenal lelah berusaha mencari dan menemukan Oliver. Di sini mulai bermunculanlah satu per satu anggota komplotan Tuan Fagin. Mulai dari Nancy, gadis muda yang menaruh kasihan pada Oliver, Bill Sikes perampok kejam yang jadi kekasihnya, lalu ada juga seorang pria misterius bernama Monks yang tampaknya sangat membenci Oliver dan ingin menghancurkannya. Saat Oliver menunaikan amanat Tuan Brownlow untuk mengembalikan buku ke lapak buku, Oliver pun diculik oleh gerombolan Fagin dan sekali lagi ia harus mendekam di tempat kumuh yang kian tampak suram karena aura kejahatan yang meracuni udaranya. Sekali lagi Oliver dididik untuk menjadi penjahat, dan suatu hari dipinjamkan pada Bill Sikes yang ingin merampok sebuah rumah. Lalu bagaimana reaksi Oliver? Apakah pendidikan Tuan Fagin akan menampakkan hasilnya dan menjadikan Oliver sejahat yang lain? Atau berhasilkah ia tetap mempertahankan kesucian moralnya? Kalaupun yang terakhir yang terjadi, bagaimana ia dapat mengelak dari takdir gelap yang seolah mengejarnya kemanapun ia pergi? Lalu siapakah Oliver Twist sebenarnya? Sejarah kelam seperti apakah yang membuat nasibnya malang?
Ini adalah salah satu buku yang sayang untuk dilewatkan. Selain membawa kita menyaksikan potret buram kehidupan di kota besar abad 19, Dickens juga mau mengusik kemanusiaan kita. Bahkan di abad modern ini, masih banyak orang yang menancapkan stigma negatif pada orang-orang yang berbeda atau tidak sejalan dengan kebanyakan orang di masyarakat. Prasangka dengan mudahnya diletakkan ke atas seseorang tanpa terlebih dahulu menelusuri kebenarannya. Kita layak belajar dari Tuan Brownlow yang tidak serta merta setuju dengan pendapat Tuan Grimwig kawannya, yang yakin bahwa Oliver Twist pasti melarikan diri dengan uang dan buku yang dipercayakan kepadanya, serta takkan kembali dari lapak buku. Sebaliknya, ketika Oliver Twist memang tak kembali (meski tentu saja bukan karena hendak lari melainkan karena diculik), Tuan Brownlow berinisiatif melacak sejarah Oliver Twist.
Di bab-bab awal peran Oliver memang cukup mencolok dalam kisah ini. Namun di bagian-bagian selanjutnya, justru tokoh-tokoh lainlah yang menurutku lebih menonjol. Mungkin memang Dickens ingin mengupas tuntas tentang kejahatan dan kemunafikan yang ada di masyarakat saat itu. Tapi tetap saja itu membuatku kurang puas. Selain itu, aku merasa karakter Oliver Twist kurang menarik. Ia anak yang baik, sopan, ramah, penuh kasih, namun juga lemah lembut. Kubayangkan anak yang tumbuh sendirian di lingkungan yang keras akan menjadi anak yang keras juga, tangguh dan keras kepala. Menangis mungkin sudah tak masuk dalam kamusnya karena derita dan sakit hati pasti sudah biasa ia rasakan. Tapi Oliver ternyata gampang sekali tersentuh hatinya, dan tubuhnya sendiri lemah. Mungkin itu karena ekspektasiku sendiri sebelum membaca buku ini ya, atau memang Dickens memang ingin membuat perbandingan yang sangat mencolok antara sisi jahat dan sisi baik manusia, sehingga yang jahat dibuat sangat jahat dan yang baik menjadi sangat baik sehingga kurang manusiawi. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah karya sastra, dan kita memang harusnya menikmatinya apa adanya kan?
Terakhir terima kasih pada Bentang Pustaka yang telah memilih novel yang telah lama kunantu-nantikan ini untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Hanya sayang masih ada beberapa typo dan kesalahan penerjemahan. Salah satunya dalam kalimat ini: "Angin menggigit yang berkelebat di jalanan tampaknya telah mengosongkannya dari para penumpang....". Ada yang aneh dengan kata 'penumpang' disini yang tidak pas maksudnya. Mungkinkah ada kesalahan penerjemahan 'passager' (=pejalan kaki), keliru diterjemahkan sebagai 'passenger' (=penumpang)? Atau akukah yang kurang menangkap dengan baik?... Untunglah keanehan tadi tak mengurangi kenikmatan membaca cara bertutur Charles Dickens yang disampaikan dalam kalimat-kalimat panjang yang sarat arti!
Judul: Oliver Twist
Penulis: Charles Dickens
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Maret 2011
Tebal: 578 hlm