Pages

Pages 2

Friday, July 22, 2011

Kehancuran Troy (The Aeneid)

Perang Troya mungkin merupakan salah satu perang paling terkenal yang pernah ada. Setidaknya ada sangat banyak kisah dan buku yang mengangkat perang ini. Troya adalah perang antara Yunani (kaum Achaean) dan kota Troy, gara-gara Pangeran Paris dari Troy merebut Helen, istri Raja Sparta: Menelaus, yang adalah wanita tercantik sejagat pada waktu itu. Seperti yang anda mungkin pernah baca atau tonton filmnya, pasukan Yunani akhirnya bisa mengalahkan Troy berkat siasat “kuda Troya”, yaitu dengan menyusupkan pasukan Yunani ke dalam patung kuda dari kayu sehingga berhasil masuk ke dalam kota Troy. Nah, kisah Kehancuran Troy ini bermula dari malam yang bersejarah itu.

Pada malam itu Raja Troy yang bernama Priam pergi ke pantai untuk melihat apakah isu bahwa pasukan Yunani sudah meninggalkan Troy dengan kapal-kapal mereka adalah benar. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sebuah patung raksasa berwujud kuda terbuat dari kayu berdiri sendirian di gelapnya malam, sementara pasukan Yunani telah menghilang. Timbul perdebatan apakah sebaiknya patung itu dibawa masuk ke dalam kota atau dihancurkan saja. Tiba-tiba datang orang asing bernama Sinon yang mengaku orang Yunani, tapi telah difitnah sehingga kini berharap boleh bergabung dengan Troy. Ia bercerita bahwa pendeta Yunani meramalkan bahwa pasukan Yunani harus pulang dulu ke negaranya untuk kemudian kembali lagi dan menyerang Troy. Sinon menyarankan rakyat Troy membawa masuk patung kuda itu sebagai persembahan kepada Dewi Athena (yang telah membantu Yunani untuk mengalahkan Troy).

Patung itu akhirnya dibawa masuk ke kota. Ketika kota Troy tengah terlelap, Sinon diam-diam membuka patung itu dan dari dalamnya keluarlah komandan pasukan Yunani yang selama ini bersembunyi di situ. Mereka bersama seluruh pasukan lainnya yang selama itu bersembunyi di pulau kecil dekat situ lalu menyerang dan membakar kota Troy. Malam itu Aeneas --pemimpin tertinggi pasukan Troy setelah kematian Hector-- didatangi oleh Hector dalam mimpi yang menyuruh Aeneas melarikan diri karena kelak Aeneas lah yang akan mendirikan negara baru bagi sisa rakyat Troy. Malam itu juga Raja Priam tewas dibunuh oleh Pyrrhus (putra Achilles), dan seluruh kota Troy terbakar. Singkat kata, bersama ayah dan putranya (Ascianus) serta orang-orang Troy yang selamat, Aeneas yang dilindungi ibunya --Dewi Aphrodite-- segera bertolak dengan kapal ke lautan.

Lukisan yang menggambarkan Aeneas membopong ayahnya, disertai istri dan putranya menyelamatkan diri dari kebakaran (karya Federico Barocci, 1598, sumber: Wikipedia)


Perjalanan ke Itali

Perjalanan menuju negeri baru itu dilalui dengan penuh perjuangan dan jungkir balik oleh Aeneas dan rombongannya. Mereka menjelajahi daratan Eropa, Asia hingga Afrika, dan sempat singgah di beberapa negara. Sudah menjadi kehendak dewata bahwa bangsa Troy akan membangun negeri baru di Hesperia, atau yang disebut Itali. Kelak Roma ditakdirkan menjadi salah satu bangsa besar dan terhormat di dunia. Namun sebelum itu, kaum Troy harus melewati perjalanan yang jauh dan memutar karena mereka tak dapat singgah di Yunani. Walau begitu mereka tak perlu takut karena Apollo dan para dewa lainnya akan membantu mereka. Ketika singgah di kota Carthage, Aeneas sempat terlena dan melupakan sejenak misinya mencari negeri baru, berkat keramahan Ratu Carthage yang bernama Dido. Dan rupanya (meski tidak ditunjukkan dengan jelas di buku ini), Dido lalu jatuh cinta pada Aeneas. Maka Zeus pun mengutus Hermes untuk mengingatkan Aeneas untuk segera melanjutkan perjalanan. Aeneas pun terpaksa meninggalkan Carthage secara diam-diam agar Dido tidak murka.

Ketika mereka hampir mencapai Itali, rombongan Troy singgah agak lama di negeri Sicily untuk memakamkan Anchises yang meninggal dalam perjalanan. Saat itu Dewi Hera yang benci pada Aeneas berusaha menggagalkan niat Troy untuk pergi ke Itali. Hera adalah istri Zeus, dan dalam mitologi Yunani para dewa/dewi biasa bermusuhan dan bersekutu, persis seperti manusia. Mereka pun bersekutu/bermusuhan dengan manusia, dan sering campur tangan dalam hidup manusia. Namun karena perjalanan Aeneas itu sudah menjadi kehendak dewata, maka akhirnya mereka bisa lolos dari bahaya dan melanjutkan perjalanan hingga mendaratlah mereka di pulau Latium atau Itali.


Perang Latin vs Troy

Raja Latium (atau Latin) bernama Latinus. Ia memiliki putri bernama Lavinia, yang menurut ramalan akan dipersunting seorang asing. Maka ketika Aeneas dan rakyat Troy mendarat di pulaunya, Raja Latinus yakin bahwa Aeneas adalah calon suami Lavinia. Di lain pihak, istrinya ingin menikahkan Lavinia dengan Pangeran Turnus yang gagah dan tampan. Di sini lagi-lagi dewi Hera melihat peluang untuk menghancurkan Aeneas. Ia memanggil Alecto dari neraka untuk menyalakan api kemarahan di hati rakyat Latin dan menyulut kecemburuan di hati Turnus sehingga akhirnya terjadilah sebuah perang. Kalangan dewata sekali lagi heboh. Aeneas diperingatkan dalam mimpi untuk bersekutu dengan Raja Evander dan pasukan Tuscan yang juga memusuhi Latin. Sementara Aphrodite minta tolong Dewa Api untuk membuatkan perangkat perang bagi putranya, dan dewa-dewa lainnya turun tangan membantu bangsa Troy. Bagian ke dua inilah yang kurasa lumayan “menggigit” karena di sana kita bisa melihat keberanian dan karakter Aeneas.

Seperti yang kita semua ketahui, kerajaan Romawi kelak memang menjadi kerajaan besar yang menguasai dunia. Aeneas merupakan leluhur bangsa itu, karena dari keturunannya lah raja-raja Romawi berasal.

*****

Kehancuran Troy ini adalah versi terjemahan yang diambil dari The Aeneid karya Virgil. Virgil adalah salah satu penyair epic Roma terbesar. Aslinya, The Aeneid memang merupakan puisi yang dirangkai untuk mengisahkan perjalanan bangsa Troy menuju negeri baru dan perang di tanah baru itu untuk akhirnya mendirikan kerajaan Romawi. Kehancuran Troy ini adalah versi ringkas yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Anda tak akan menemukan secuil pun puisi di sini, karena sudah dijadikan semacam kisah epic. Secara keseluruhan, sangat terasa bahwa buku ini adalah versi ringkas, sehingga kita jadi kurang merasakan ikatan emosi dengan kisah maupun tokoh-tokohnya. Mungkinkah karena aslinya adalah puisi? Entahlah...

Kisah bangsa Troy ini memang memiliki banyak aspek, mungkin akan lebih baik kalau kita menyempatkan membaca dari awal kisah perang Troy, yaitu di buku The Iliad dan The Odyssey karya Homer, sebelum melanjutkan ke Kehancuran Troy ini. Bagaimanapun, penerbit Oncor Semesta Ilmu patut diacungi jempol atas inisiatifnya untuk menyuguhkan versi sederhana yang gampang dimengerti mengenai salah satu mitologi Yunani ini. Satu bintang untuk Aeneas, satu untuk Virgil, dan satu lagi untuk Oncor!

Judul: Kehancuran Troy
Penulis: Virgil
Sumber: The Aeneid, by Virgil, terbitan Macmillan th. 1936
Penerbit: Oncor Semesta Ilmu
Terbit: Juli 2011
Tebal: 134 hlm

Monday, July 11, 2011

The Prince And The Pauper

Inggris banget! Itulah kesanku selama membaca buku ini. Dan memang The Prince and The Pauper ditulis oleh Mark Twain berlatar belakangkan peristiwa yang terjadi dalam sejarah Inggris di akhir abad 16, ketika Raja Henry VIII memerintah. Dalam masa ini hiduplah keluarga Canty dalam gelimang kemiskinan. Tinggak di gubuk nan reyot dan kotor, pekerjaan mereka adalah mengemis dan mencuri. Terlepas dari moral ayahnya yang buruk, Tom kecil tumbuh sebagai remaja yang terpelajar berkat didikan seorang pendeta. Banyak buku yang berkisah tentang kerajaan dan kehidupan bangsawan yang dilahap Tom. Dan semua kisah itu menjelma menjadi mimpi-mimpi indah yang menemani tidurnya di malam hari, menjadikannya penawar sengsara setelah seharian dipaksa mengemis, lalu disiksa dan dibentak-bentak oleh ayah dan neneknya kalau ia tak membawa hasil memuaskan dari mengemis. Dan akhirnya bukan hanya mimpi, kerajaan dan kebangsawanan pun menjadi obsesi Tom. Ia mulai berbicara layaknya bangsawan, dan bermain sebagai raja bersama saudara-saudaranya. Hingga suatu hari ia tiba-tiba ingin melihat seorang Pangeran sungguhan di istana kerajaan sungguhan.

Harapannya terwujud, karena tepat saat itu Pangeran Wales yang bernama Edward, putra Raja Henry VIII tengah berada di luar istana. Sang Pangeran melihat Tom tepat ketika para penjaga pintu gerbang memukuli anak gelandangan berpakaian lusuh itu. Pangeran menghentikan penyiksaan itu sambil memarahi si penjaga, lalu segera mengundang Tom ke istananya. Layaknya dua remaja lelaki seusia, mereka dengan cepat menjadi akrab. Tom terpesona pada istana dan semua di dalamnya, yang hingga saat itu hanya ia lihat melalui buku. Sedang Edward, yang sejak kecil terkungkung di istana, terpesona mendengar cerita Tom tentang kehidupan bocah seusia mereka di luar sana. Bermain bersama teman-teman, berenang di sungai, dan semua kenakalan dan kebebasannya. Dan tiba-tiba muncul ide iseng untuk saling bertukar pakaian. Pangeran yang mengenakan pakaian lusuh Tom, dan Tom yang mengenakan pakaian gemerlap Edward, sama-sama terpana saat memandang cermin. Betapa miripnya mereka berdua!

ilustrasi Tom & Edward di istana. Ini sesaat sebelum atau sesudah mereka berganti pakaian? Hayoo..tebak!


Tanpa sempat berganti pakaian kembali, Edward keluar ke halaman istana untuk menegur penjaga yang tadi memukuli sahabat barunya. Bisa anda tebak, si penjaga menganggap Edward sebagai anak gelandangan yang menyebabkannya dimarahi oleh Pangeran. Meski Edward berkeras bahwa ia adalah sang Pangeran sendiri, namun tak ada yang mempercayainya. Ia malah semakin ditertawakan karena bersikap sok memerintah. Sedang Tom, yang menanti kedatangan kembali sahabatnya agar mereka dapat bertukar pakaian kembali, akhirnya menelan kekecewaan karena Edward tak kunjung datang. Malahan ia dikira sang Pangeran sendiri, terlepas dari pengakuannya yang jujur, yang malah dikira sebagai gejala kegilaan sementara. Bahkan Sang Raja pun mengira Tom adalah putranya sendiri yang sedang sakit! Hal yang sama terjadi pada Edward. Ketika ayah Tom menemukannya, ia begitu yakin si bocah lusuh adalah anaknya yang nakal yang lagi-lagi tak membawa hasil mengemis, lalu menghadiahinya pukulan.

Begitulah nasib The Prince and The Pauper kita ini. Cerita jujur mereka malah dianggap lelucon dan bahkan "penyakit pada otak" oleh mereka yang mendengarnya. Baik teman-teman maupun orang terdekat mereka. Banyak cerita lucu saat Tom menjadi "pangeran". Di bagian ini kentara sekali bagaimana Mark Twain mengajak kita untuk menertawakan keabsurdan monarki pada saat itu. Saat rakyatnya banyak yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan tirani Henry VIII, kemewahan yang menggelikan dan sungguh tak perlu terus saja dipraktekkan di istana. Contohnya adalah upacara memakaikan pakaian bagi "Pangeran" Tom di pagi hari. Untuk menyerahkan sepotong kaus hingga dipakaikan pada Tom, butuh 13 orang petugas yang mengangsurkan pakaian itu ke lainnya, terus hingga ke petugas yang memakaikannya pada Tom. Dan ke 13 petugas itu punya jabatan yang mentereng: First Lord of Bedchamber, Second Gentleman of The Bedchamber, Chief Equerry in Waiting, dll. Lalu bagaimana reaksi Tom saat melihat "prosesi kaus" ini? ~"Teman kecil kita terlihat bingung. Itu mengingatkannya pada acara oper-mengoper ember di festival." (hal. 151). Ketika salah satu kaus kaki yang akan dipakaikan pada kaki Tom ditemukan hilang labelnya, kaus kaki itu pun dikembalikan melewati prosesi yang sama!

Tom yang terbiasa serba bebas dalam kehidupan miskinnya, awalnya tak terbiasa dengan pengaturan yang kaku dan serba seremonial dalam segala hal, termasuk ketika bersantap. Yang paling lucu adalah ketika seorang bangsawan mengangsurkan sebuah mangkuk berisi air mawar untuk mencuci tangan. Tom yang bingung, akhirnya malah meminum air itu. Waktu mengembalikan mangkuk pada si bangsawan, yang pasti terkaget-kaget, Tom berkata: "Tidak....aku tidak menyukainya, Tuan. Memang rasanya cukup enak, tapi terlalu keras untukku." (hal. 73). Dan akupun sukses tertawa ngakak waktu membaca bagian ini. Lihat saja ekspresi si bangsawan dalam ilustrasi ini:

ilustrasi saat Tom minum air untuk cuci tangannya..


Sebaliknya dari kisah Tom yang lucu, cerita sengsara tak henti-hentinya menghinggapi Edward saat menjadi anak gelandangan. Kisah Edward jelas lebih menarik karena ia berulang kali bernasib malang, diselamatkan, kembali jatuh dalam kemalangan, begitu terus. Salah satu penyelamatnya adalah seorang pria bernama Miles Hendon yang dulunya prajurit Raja, namun telah ditipu oleh saudaranya yang jahat: Arthur. Dalam semua kemalangannya, Edward belajar banyak tentang kehidupan dan penderitaan yang dialami rakyatnya. Ia pun tak lupa menjanjikan ganjaran atas kebaikan mereka yang pernah menolongnya sekecil apapun.

Begitulah kedua teman kita ini menjalani hidup yang fantastis di dunia yang berbeda, hingga suatu hari sang Raja Henry VIII mangkat. Dan sang Pangeran Wales pun harus dinobatkan menjadi raja berikutnya! Dan di sinilah petualangan kedua teman kita akan berakhir.

Yang menarik bagiku, dalam buku ini Mark Twain tidak saja menyuguhkan kehidupan ala raja-raja Inggris jaman lampau, namun ia juga ingin menyentil tentang kepribadian manusia. Mari kita melihat bagaimana pertukaran identitas ini berpengaruh pada Tom dan Edward. Edward, meskipun berbaju gembel, namun tetap berperilaku dan berbicara layaknya pangeran. Bahkan Miles si penyelamatnya tak boleh makan semeja dengannya, dan harus menunggu hingga ia selesai makan. Meski ia dihina dan direndahkan, kehormatan dalam dirinya tak pernah luntur. Sekarang mari kita kihat kasus Tom. Hanya butuh waktu 3 bulan, Tom si pengemis yang awalnya canggung dengan kegemerlapan istana, perlahan-lahan mulai terbiasa. Bahkan menjelang penobatannya sebagai Raja, ia cenderung menganggap dirinya memang raja, dan membuang semua masa lalu kelam yang tak ingin ia akui. Bahkan ibunya pun sempat ia sangkal ketika sang ibu mengenali putranya (lihat, bagaimanapun rapat sebuah penyamaran, mata seorang ibu tak mungkin tertipu!). Di sini kita melihat bahwa manusia cenderung berubah saat berada pada puncak kekayaan atau kekuasaan. Sudah menjadi sifat manusia untuk berkawan dengan kenikmatan. Aku pernah membaca entah di mana, sebuah penelitian psikologi pada sekelompok orang yang dihadapkan pada kekuasaan mutlak. Hasilnya, hanya dalam waktu singkat perangai mereka berubah 180 derajat! Kita sering mencemooh teman atau kenalan kita yang berubah saat menjadi kaya. Namun, pernahkah anda berpikir, bahwa bila anda yang dianugerahi kekayaan itu, bukan tak mungkin anda pun akan berubah seperti teman itu.

ilustrasi ketika Tom "menolak" ibunya


Hal kedua yang menggelitikku adalah begitu mudahnya manusia menilai orang lain hanya dari atribut fisiknya saja, dari luarnya saja. Lihat saja bagaimana semua orang tak mampu mengenali perbedaan antara Tom dan Edward ketika mereka berganti pakaian. Karena, begitu mereka melihat pakaian lusuh, berarti pemakainya adalah orang miskin, malas, bodoh, kasar, bahkan mungkin jahat. Yang berpakaian mewah pasti agung, berkedudukan, cerdas dan terhormat. Sungguh ironis bagaimana stereotip macam itu sudah melekat pada diri manusia sepanjang jaman.

Akhirnya, anda pasti akan bertanya-tanya, bagaimana cara Pangeran Edward membuktikan bahwa ia lah yang layak dinobatkan menjadi Raja? Akankah Tom menolak asal-usul dirinya? Itulah sebabnya anda perlu membaca kisah berlatar sejarah yang asyik, kocak sekaligus seru ini! Sisipan di belakang buku membantu kita untuk sedikit lebih memahami seluk beluk protokoler kerajaan Inggris saat itu. 3 bintang untuk buku ini, 1 untuk Tom, 1 untuk Edward, 1 untuk Mark.

Gambar di atas adalah ilustrasi ketika Edward berusaha membuat "pembuktian" bahwa dirinya adalah raja yang sah.

Akhirnya aku tergoda untuk mencermati gambar pada cover buku ini, apakah itu gambar sosok asli kedua bocah itu, ataukah gambar ketika mereka bertukar peran? Bagaimana menurut anda?


Judul: The Prince and The Pauper
Penulis: Mark Twain
Penerbit: Orange Books (Grup Penerbit Mizan)
Terbit: Nopember 2010
Tebal: 418 hlm

Monday, July 4, 2011

80 Hari Keliling Dunia


Keliling dunia dalam 80 hari? Bagi kita yang hidup di saat ini tentu saja mungkin. Bahkan, kita dapat menempuh perjalanan itu kurang dari 80 hari. Tapi, ketika ide itu ditawarkan pada tahun 1872, banyak orang yang skeptis. Secara teori, 80 hari adalah waktu minimal yang dibutuhkan untuk bertualang ke seluruh dunia. Namun, prakteknya bisa saja meleset. Ketika ada penundaan jadwal kapal uap sehari saja, maka angka 80 hari itu pasti akan bertambah. Tak ada orang yang berani menjamin bahwa mereka akan dapat melakukan 80 hari keliling dunia itu. Selain Phileas Fogg.

Phileas Fogg adalah seorang aristocrat nyentrik yang hidup di London. Ia orang yang pendiam sekaligus misterius, tenang dan hampir tak pernah menampakkan emosi, serta sangat menyukai keteraturan. Kedisiplinannya terhadap waktu sangat mencengangkan. Tiap pukul 11:30 siang (tepat, tak kurang atau lebih 1 menit pun), Phileas Fogg akan meninggalkan rumahnya untuk menuju ke Reform Club, di mana ia menjadi anggota. Di club itu ia berteman dengan para orang terpandang di London lainnya (akademisi, politikus, bangsawan, jutawan). Suatu hari terjadi sebuah diskusi di antara anggota club itu mengenai perampokan bank yang baru terjadi. Diskusi itu mengalir hingga ke isu terbaru di dunia transportasi pada saat itu, di mana perjalanan keliling dunia sudah dapat ditempuh dalam waktu tercepat 80 hari, dengan perincian seperti table ini: (sumber: Wikipedia)



Diskusi itu tiba-tiba membuahkan sebuah pertaruhan. Mr. Phileas Fogg bertaruh 20.000 pound bahwa ia akan dapat keliling dunia dalam 80 hari persis. Persetujuan pun dibuat. Mr. Fogg harus sudah hadir kembali di Reform Club pada hari tertentu, jam tertentu. Maka Mr. Fogg, yang yakin bahwa ia akan mampu mengatasi kesulitan apa pun yang dapat menghadang, segera mengajak pelayan barunya, yang baru saja masuk kerja beberapa jam sebelumnya: Passepartout.

Untunglah ada tokoh Passepartout dalam buku ini! Tokoh ini jauh lebih “manusiawi” daripada majikannya. Dalam usianya yang masih muda, Passepartout sudah pernah menjadi penyanyi, anggota sirkus hingga pemadam kebakaran. Dan kini tantangan berikut dalam hidupnya adalah menjadi pelayan di rumah Mr. Fogg yang maniak terhadap ketepatan waktu dan disiplin (mengingatkan aku pada Hercule Poirot dan sahabatnya Kapten Hastings, tokoh rekaan Agatha Christie!). Sebagai orang Prancis, Passepartout lebih terbuka, emosinya lebih “berwarna”, impulsif dan lebih ramah daripada majikannya yang berkarakter khas London: sedikit angkuh, tenang dan dingin. Kombinasi keduanya membuahkan perjalanan sekaligus petualangan yang menegangkan. Aku pikir, andai Mr. Fogg berkelana sendirian, pasti ia akan dengan lebih mudah mencapai tujuannya. Namun, tentu saja perjalanan itu akan amat membosankan. Laporannya akan mirip jadwal perjalanan biasa. Dengan adanya Passepartout, banyak hal yang akan terjadi, banyak tantangan dan bahaya, banyak kekecewaan maupun kegembiraan. Pokoknya, perjalanan keliling dunia itu menjadi bukan semata-mata taruhan, namun lebih pada sebuah petualangan yang mengubah hidup seseorang.

Aku sudah pernah membaca karya Jules Verne yang berjudul 60.000 Mil Di Bawah Laut (terjemahan dari 20.000 Leagues Under The Sea). 60.000 Mil Di Bawah Laut menurutku lebih menakjubkan dalam hal keindahan alamnya, mungkin karena tokohnya adalah seorang ahli kelautan. Sedangkan di 80 Hari Keliling Dunia ini, keindahan dan keeksotisan negara-negara yang dikunjungi Mr. Fogg dan Passepartout kurang terekspos. Terutama karena Mr. Fogg adalah orang yang praktis, jauh dari romantis, sehingga ia lebih memperhatikan ketepatan waktu daripada pemandangan indah di sekitarnya. Mungkin hanya di India saja, ketika tuan dan pelayan ini bertualang menculik dan menyelamatkan seorang wanita yang hendak dibakar dalam suatu ritual, petualangan itu memiliki greget. Yang aku ingat jelas adalah ketika mereka harus melarikan diri karena ketahuan dengan mengendarai gajah. Tentu saja gajah itu harus dipacu untuk berlari kencang. Aku tertawa ngakak membayangkan Passepartout yang harus rela terguncang-guncang di punggung gajah…

Dalam buku ini, seperti dalam kehidupan nyata, yang menjadi halangan bagi ketepatan waktu sebuah perjalanan, bukanlah melulu pada transportasi (kecuali mungkin di negara kita ya..?!). Justru hal-hal di luar rencana kita, yang disebabkan orang atau pihak lain, yang lebih sering mengganggu perjalanan itu. Dalam hal Mr. Fogg, kesialan itu berupa penguntitan seorang detektif sok tahu bernama Fix yang mengira Mr. Fogg itu perampok bank di London yang tengah melarikan diri. Selain itu, kecerobohan dan karakter impulsif Passepartout juga beberapa kali menyebabkan kacaunya perjalanan mereka. Kalau melihat watak Mr. Fogg yang praktis dan penuh perhitungan, mungkin menyelamatkan seorang wanita dan pelayannya takkan masuk dalam jadwal perjalanannya. Bagaimana pun juga, ada uang 20.000 pound yang dipertaruhkan di sini. Namun Mr. Fogg bukanlah orang yang egois. Meski tidak menguntungkan, ia akan berbuat apa yang memang seharusnya diperbuat. Sesederhana itu.

Dalam banyak hal, Mr. Fogg itu dingin dan penuh perhitungan. Tapi anda akan dibuat tercengang membaca bagaimana penuh perhatiannya ia menjaga dan melindungi Aouda, wanita India yang diselamatkannya dengan nyaris mengorbankan nyawa itu. Lihat pula bagaimana ia tak pernah mempersoalkan kesialan-kesialan yang disebabkan orang lain, dan bagaimana murah hati serta dermawannya ia pada orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Kalau boleh kukatakan, perjalanan keliling dunia 80 hari itu sendiri tidaklah terlalu istimewa, namun kisah-kisah kehidupan di baliknya itulah yang memberi warna buku ini, sehingga mengijinkanku untuk menganugerahkan 4 bintang untuk buku ini!

Mengapa 80 Hari Keliling Dunia?

Apakah anda, seperti aku, penasaran dari mana ide keliling dunia ini didapat Verne? Apakah ia memang sering berkeliling dunia? Jawabannya kutemukan di Wikipedia. Ternyata ide Verne berasal dari sebuah iklan tur berupa artikel di sebuah harian yang ia baca suatu hari di sebuah café di Paris. Diduga iklan yang ia maksud adalah artikel yang ditulis Thomas Cook, seorang Inggris yang pertama kali memperkenalkan sistem travel agency.

Judul : 80 Hari Keliling Dunia
Judul asli: Around The World In Eighty Days
Penulis: Jules Verne
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2008
Tebal: 367 hlm