Pages

Pages 2

Friday, November 18, 2011

Cinta Tak Pernah Mati

Pernahkah anda menghadiri pesta pernikahan yang settingnya sitting party? Alias pesta di mana para tamu duduk di sekeliling meja-meja bundar. Masakan akan disajikan berurutan, dan tamu berbagi masakan bersama beberapa orang lainnya. Kalau total menu ada 7 macam, berarti tamu akan makan 7 macam masakan berbeda, tentu masing-masing dalam porsi mungil. Hasilnya? Kalau untukku, biasanya perut kembung (karena terlalu sering jeda antar menu), tidak kenyang, dan aku sudah tak bisa merasakan kelezatan makanan akibat terlalu banyak rasa yang mampir ke lidahku. Begitu jugalah yang kurasakan setelah membaca antologi klasik ini!

Cinta Tak Pernah Mati adalah sebuah antologi klasik yang disusun oleh penerbit Serambi. Tak kurang dari tujuh belas penulis klasik dunia menyumbangkan, masing-masing, sebuah kisah di buku ini. Ada nama-nama yang sudah familier bagi kita seperti Mark Twain, Edgar Allan Poe, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky; namun ada juga nama-nama yang mungkin agak asing, seperti August Strindberg atau James Joyce. Tak hanya datang dari negara dan budaya berbeda, para penulis ini juga memiliki gaya penulisan khas yang berbeda pula.

Menilik dari judulnya, anda mungkin akan mengira antologi ini berisi kisah-kisah bertema cinta. Ternyata (yang mengherankanku), tak semua kisah di buku ini menggambarkan cinta, dalam segala bentuknya. Padahal dalam halaman 'Sekadar Pengantar' dikatakan, "...Kisah-kisah ini menyiratkan kepada kita bahwa di balik segenap suka duka kehidupan, sesungguhnya cintalah yang pada akhirnya akan menyelamatkan kita." Sayangnya ada beberapa kisah, di mana aku tak menemukan makna cinta itu sama sekali, meski di kisah lainnya ada nuansa cinta yang tersamar, sementara sisanya memang nyata-nyata bertutur tentang cinta. Ataukah aku yang kurang peka untuk menemukannya? Entahlah...

Dari ketujuhbelas kisah itu, ada tiga yang menarik perhatianku. Yang pertama adalah karya penulis Prancis Honoré de Balzac, Cinta Tak Pernah Mati--yang juga dijadikan judul buku ini. Kisah ini bertutur tentang petualangan seorang prajurit Prancis yang tertangkap oleh tentara Arab di Mesir. Suatu malam ia berhasil melarikan diri, namun sayang, ia kemudian tersesat di tengah hamparan gurun pasir yang seolah tak berujung. Tiba-tiba ia menemukan sebuah gua, dan memutuskan untuk tinggal di situ. Tak disangka, gua itu adalah kediaman seekor macan gurun betina dengan kulit berbintik-bintik. Ia ketakutan, dan sudah siap menghunus pisaunya untuk mempertahankan diri. Namun ternyata, sang macan malah memperlakukannya seperti seorang kawan.

Lama kelamaan, tumbuhlah perasaan sayang dalam diri kedua makhluk yang kesepian dan saling membutuhkan di ganasnya gurun itu. Pak Martin, nama tentara itu, memanggil sang macan dengan nama Mignonne (panggilan sayang untuk perempuan). Kedekatan mereka berdua menjadi begitu kuat, dan Mignonne tak ubahnya seekor kucing rumah yang manja. Hingga suatu hari Pak Martin terpesona pada seekor elang (yang jarang sekali melintas di gurun) yang sedang terbang. Ketertarikan Pak Martin pada si elang membuat Mignonne 'cemburu'. Dengan merajuk, Mignonne menggigit pergelangan kaki Pak Martin. Hanya gigitan pelan saja sebenarnya, namun Pak Martin keburu ketakutan Mignonne akan melukainya, maka ia pun mencabut belati yang terus disimpannya, dan menikamkannya ke tubuh Mignonne.

Apapun yang dirasakan oleh Pak Martin, dan bagaimana pun kisah ini berakhir, aku amat terkesan pada kata-kata ini: "...itu rahmat Tuhan tanpa kemanusiaan."

Kisah ini mengingatkan kita, bahwa Tuhan itu ada, sekaligus tiada. Ia tak nampak di mana-mana, namun sekaligus muncul dalam segala sesuatu. Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah cinta, maka di mana ada cinta, di sana pasti Tuhan hadir. Kadang-kadang Tuhan memang hadir dalam wujud yang tak terduga. Contohnya, dalam sosok seekor macan gurun betina yang jinak. Tinggal kita lah yang harus lebih peka untuk melihat cinta itu, demi menemukan Tuhan.

Kisah kedua yang kusukai adalah Kebahagiaan, karya Leo Tolstoy. Kisah sederhana tentang sepasang suami-istri petani yang rajin bekerja sejak muda. Tak heran, kekayaan dan kemakmuran mendatangi mereka. Rumahnya sering kedatangan tamu, dan mereka selalu membicarakan betapa beruntungnya Ilyas, si petani. Namun, roda kehidupan memang berputar. Satu persatu kemalangan menimpanya, hingga akhirnya ia jatuh miskin di usia tuanya. Seorang tetangganya jatuh iba, dan mempekerjakan Ilyas dan istrinya di rumahnya. Suatu hari si tetangga dan tamu-tamunya menyuruh Ilyas bercerita tentang kebahagiaan masa lalu dan kemalangan masa kini.

Tak disangka, Ilyas dan istrinya merasa jauh lebih bahagia setelah miskin, daripada waktu kaya dulu. Mengapa? Kurasa anda akan dapat menduganya, karena sebenarnya ini kisah yang klise. Namun entah bagaimana, penuturan Tolstoy mungkin, yang membuat cerita ini menjadi 'hangat'.

Kisah terakhir di buku ini yang juga menarik bagiku, adalah karya Émile Zola yang berjudul Sepatu Bot. Setelah membaca Therese Raquin, aku jadi terpesona pada gaya penulisan Zola. Dan gayanya itu langsung terasa begitu aku mulai membaca 'Sepatu Bot'. Ceritanya unik, mengenai seorang perempuan muda yang menjadi kekasih gelap seorang bangsawan. Si bangsawan heran karena setiap hari ia mendapati sepatu botnya selalu dalam keadaan bersih dan berkilau karena polesan semir. Penasaran, ia pun mengendap-endap di rumahnya untuk menemukan si pembersih sepatu bot misterius. Apakah yang akan ia temukan? Sebuah kisah ringan yang unik, namun menarik berkat penulisan Zola yang cantik.

Ide untuk menyusun sebuah antologi penulis klasik memang baik, tapi menurutku lebih baik mengumpulkan lebih sedikit penulis, namun yang memiliki kemiripan dalam gaya atau tema. Dengan begitu, aku tak perlu merasa 'kurang kenyang' setelah melahap buku seperti ini. Ditambah lagi, gambar cover ini sama sekali tak mencerminkan isinya. Sangat 'nanggung' untuk penulis-penulis kaliber dunia dengan karya-karya hebat itu. Terakhir, akan lebih baik lagi kalau judul cerita asli dicantumkan juga. Jadi...tiga bintang kuberikan untuk antologi ini. Dan selanjutnya, aku mungkin takkan memilih antologi lagi sebagai bacaanku!

Judul: Cinta Tak Pernah Mati

Penulis: Ryunosuke Akutagawa -- Honore de Balzac -- Bjornstjerne Bjornson -- Anton Chekhov -- Fyodor Dostoyevsky -- John Galsworthy -- O. Henry -- James Joyce -- Rudyard Kipling -- W. Somerset Maugham -- Guy de Maupassant, -- Edgar Allan Poe -- August Strindberg -- Rabindranath Tagore -- Leo Tolstoy -- Mark Twain -- Emile Zola

Penyusun & penyunting: Anton Kurnia
Penerjemah: Atta Verin & Anton Kurnia
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2011
Tebal: 227 hlm

3 comments:

  1. Hihihi.... masa kapok baca antologi?
    Kalo aku sih lebih menikmatinya sebagai parade karya para maestro sastra dunia, hehehe...

    Yang jelas, lewat buku ini kita jadi lebih mengenal mereka, terutama yang jarang kedengaran namanya seperti August Strindberg atau John Galsworthy ;)

    ReplyDelete
  2. huehuehue.. makin penasaran dengan isi buku ini, sayang bukunya di Jakarta

    ReplyDelete
  3. Salam kenal, saya story freak (story_freakzila@yahoo.co.id).


    Menurut saya, buku ini bagus untuk dijadikan bahan reverensi bagi orang-orang yang sedang belajar atau ingin menulis. Karena, dengan membaca buku ini, kita dapat membandingkan gaya menulis seorang pengarang dengan pengarang lainya, sehingga akan memperkaya gaya bahasa, gaya penulisan dan kekreatifitasan kita.

    Kalau ceritanya mirip, jadi hanya cocok dengan selera perorangan saja; dan hanya cocok untuk dinikmati, daripada dipelajari.

    ReplyDelete

What do you think?