[conclusion in English is at the bottom of this post]
Ini adalah
buku kedua karya Antoine de Saint-Exupery yang kubaca setelah The Little
Prince. Courrier Sud (judul aslinya) ini merupakan karya fiksi pertama Exupery,
bertutur tentang pilot pesawat pos bernama Jacques Bernis. Seperti semua
novel-novelnya, Courrier Sud ini juga mewakili pengalaman Exupery sendiri
sebagai pilot pesawat pos yang tugasnya mengirimkan surat-surat antara Paris –
Dakar agar cepat tiba di tujuan, lebih cepat daripada lewat kereta api yang
lebih lazim saat itu. Pesawat terbang jaman itu belumlah secanggih sekarang,
sehingga pilot harus lebih banyak menggunakan instingnya ketika cuaca buruk,
apalagi ketika berada di sekitar gurun pasir Sahara yang sangat luas. Menjadi
pilot pesawat saat itu adalah pekerjaan yang penuh bahaya, dan suka duka
menjadi pilot ini dituangkan ke dalam novel ini beserta—kemungkinan
besar—curahan hati Exupery sendiri tentang hidupnya dan kisah cintanya.
Courrier Sud
ini dituturkan oleh sahabat Bernis. Aku melihat Bernis sebagai manusia yang
tidak cocok berada di manapun (doesn’t belong anywhere). Semenjak kecil Bernis
dan si sahabat merasa bahwa hidup mereka sangat membosankan, selalu dibatasi
banyak aturan, selalu dapat diduga, tak menarik sama sekali. Hal ini berlanjut,
khususnya bagi Bernis yang—di sepanjang buku ini, lewat ungkapan-ungkapan
puitis—merasa orang-orang dan dunia di sekitarnya tak pernah bergerak atau
berubah.
“Ternyata, semuanya tetap sama….”
Sebaliknya, Bernis merasakan kebebasan ketika
ia berada di udara, sendirian dalam kokpit pesawat yang dikendarainya. Rasa
kebebasan ini terungkap lewat kilasan-kilasan alam sekitarnya yang ia saksikan
dari ketinggian, yang banyak menghiasi buku ini.
“Masing-masing (orang-orang yang dulu
dikenalnya) terpenjara oleh diri sendiri, dibatasi oleh rem samar-samar, dan
tidak seperti dia, si anak yang bebas, si anak malang, si penyihir.”
Apakah itu
berarti bahwa Bernis lantas bahagia karena menjadi pilot? Ternyata tidak,
orang-orang saat itu memandang aktivitas ‘berkendara di udara’ adalah sesuatu
yang aneh. Bahkan lewat kutipan di atas kita melihat bahwa Bernis disebut
sebagai ‘si penyihir’ (yang bisa terbang, menyalahi kodrat manusia). Bernis
yang malang, Bernis yang kesepian, yang ditolak, namun juga tak kerasan berada
di dunianya. Ia mencintai seorang wanita yang adalah sahabatnya semenjak kecil:
Geneviève. Setelah keduanya dewasa, Bernis mendapati jurang yang amat lebar
yang memisahkan dirinya dengan Geneviève, karena si wanita adalah orang yang
amat terikat pada kehidupannya, pada semua miliknya, sementara Bernis adalah
orang yang bebas lepas dari segala keterikatan dunia.
“Kebiasaan-kebiasaan, peraturan-peraturan,
hukum-hukum, semua yang tidak kau (Bernis) rasakan kegunaannya, semua yang
telah kau hindari… Hal itulah yang telah memberi-nya (Geneviève) sebuah bingkai.
Untuk tetap ada, kita membutuhkan kenyataan-kenyataan yang mempunyai
keberlangsungan di sekeliling kita. Meski dianggap tak masuk akal atau tak
adil, semua itu hanyalah suatu bahasa. Dan Geneviève, jika dia kau bawa pergi,
akan kehilangan dirinya.”
Membaca ini
aku agak tersentak. Bukankah nasihat sahabat Bernis ini seolah menampar kita
semua yang terbiasa hidup nyaman dalam ‘bingkai-bingkai’ yang kita pasang
disekeliling kita, sehingga kita lupa pada hakikat hidup ini yang sesungguhnya?
Lagipula kutipan itu justru lebih relevan bagi kita yang hidup di jaman
internet dan teknologi maju ini, yang begitu terikat pada gadget, teknologi
dsb. hingga bila kita harus meninggalkan semua itu sebentar saja, kita merasa
seolah lumpuh? Bukankah ini absurd?
Menurutku
Bernis mengalami kesepian, bukan saat berada di pesawat sendirian, melainkan
justru saat ada di dunia. Karena ia tak seperti manusia lainnya, mereka semua
hanya melihat lingkup terbatas dunia mereka sendiri, sementara Bernis—dan
seharusnya kita semua—memandang hidup ini jauh lebih luas, lebih agung daripada
sekedar rutinitas dan benda-benda mati yang mampu kita indrai. Membaca kotbah
seorang pastor saat Bernis berada di Gereja Notre-Dame ini mengingatkanku pada Jostein
Gaarder, seorang penulis fiksi-filosofis yang lewat Dunia Sophie
juga mengingatkan kita akan hakikat alam semesta dan kehidupan yang
sesungguhnya:
“Anda sekalian telah menyatukan perjalanan bintang, wahai generasi baru peneliti,
dan Anda sekalian tidak mengenalinya lagi. Dia adalah sebuah tanda dalam buku
Anda, tetapi bukan lagi cahaya;
seorang anak kecil lebih tahu mengenai hal itu daripada Anda.
Anda sekalian telah menemukan semua hal sampai
kaidah-kaidah yang mengatur cinta kasih manusia, tetapi cinta kasih itu sendiri
terlepas dari tanda-tanda Anda; seorang gadis muda lebih mengetahuinya daripada
Anda.”
Di jaman
modern ini kita semua sudah kehilangan makna banyak hal dalam hidup. ‘Terbanglah’
seperti Bernis, jangan menutup diri seperti Geneviève; **spoiler** yang karena
tak mau kehilangan hal-hal yang nyata namun sebenarnya fana, malah kehilangan
kesempatan merasakan keagungan cinta yang tak nampak namun sebenarnya nyata.
**spoiler ends**
Ah
ternyata….kisah yang awalnya hanya tampak sebagai curhat seorang pilot belaka,
ternyata menyimpan filosofi yang mengagumkan. Tak heran bila sebuah label
‘novel agung dunia’ tersemat di sampul buku ini, yang tadinya kukira hanyalah
akal-akalan promosi saja, namun kini kusadari, itulah yang telah kudapat dari
buku ini.
Empat bintang
untuk Courrier Sud, sebuah novel bermakna indah, dibalut kalimat-kalimat puitis
yang seringkali tak mampu aku pahami, mungkin karena itu aku tak sanggup
memberinya nilai mutlak (satu bintang kusimpan untukku sendiri, mungkin suatu
hari nanti aku akan mampu menyibak seluruh artinya…atau…seperti halnya alam
semesta, selalu akan ada hal-hal yang tak mampu kita pahami hingga kapanpun,
dan itu yang membuat alam semesta atau buku ini begitu agung? Mungkin…)
Judul:
Courrier Sud (terjemahan: Pesawat Pos Selatan)
Penulis:
Antoine de Saint-Exupéry
Penerjemah:
Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno (guru besar sastra & kritikus)
Penerbit:
Komodo books
Terbit:
Februari 2012
Tebal: 190
hlm.
Conclusion:
At first I
thought Courrier Sud (or Southern Mail) was just a story about a pilot, maybe a
kind of Exupéry’s autobiographical story, but I was completely wrong! Like The
Little Prince, this is a philosophical thinking which Exupéry has wrapped in a
simple story about the life and love of a pilot named Jacques Bernis. Bernis’s
job is to carry express mail from Paris to Dakkar (this is a new innovation
because at that time mail were delivered by train). Plane and navigation were
new at that time, and it needed a big courage for a man to drive a plane.
Ordinary people even mocked Bernis as ‘ghost’ or ‘wizard’. Travelling on air
was beyond many people’s common sense.
On the other
hand, Bernis felt that ordinary life was unbearable; life which was limited by orders
and routines. Exupéry emphasized the different way of thinking by creating a
love story of Bernis and a girl from his childhood named Geneviève. Unlike
Bernis, Geneviève loved orders and formalities; that when Bernis asked her to
runaway with him from her previous unhappy life, Geneviève found it too
difficult because she has already bound to her home and everything she
possessed, that she could not live freely as Bernis wanted.
I saw Bernis
as a lonely person, he did belong to the world he supposed to live, and only
when he was alone in his cockpit that he felt quiet and absorbed in the beauty
of nature. I believe that in those occasions, Bernis actually felt the presence
of God through His creation. Bernis also felt that everything in ordinary life
was stagnant, never changed.
From
Courrier Sud I learned—not only about the unreliability of the planes at that
time, the dangers of being a pilot, and the beautiful scenes from above—but also
a divine knowledge of living our life. Instead of limited ourselves with
everything that modern life offers us, we should provide more time to
contemplate the true meaning of it; to be more like Bernis than like
Geneviève. And all of these were beautifully crafted by Exupéry in poetic
sentences, makes me love this book more!
I give four
stars for Courrier Sud, for although I know this is a remarkable work, there
are still several parts of the story that I could not get into the exact
meaning. Maybe that's why I love it, because I know I can go back to this book some
day and maybe next time I’ll be able to extract new meanings from it. Maybe…
Penerbit Komodo? baru dengar. Buku ini juga dah diterjemahkan ma Gramedia kan?
ReplyDeleteMasak Gramedia udah terjemahkan? Setahuku hanya Little Price sama Terre des Homes (Bumi Manusia). Meski penerbit gak terkenal, gak jelek2 amat kok terjemahannya.
Deletewah, penerjemahnya Prof. trnyata, sptnya ga mngecewakan... Saint-Exupéry itu pmikir hebat ya, nge-fans sejak ptma kali baca bukunya ;)
ReplyDeleteAku merasa Prof. Apsanti mampu menerjemahkan gaya Exupery dgn baik (belum baca aslinya sih), tapi paling tidak 'rasa' yang aku dapat di buku ini sesuai dgn yang aku bayangkan dari membaca biografi Exupery. Dan ya, beliau pemikir hebat, pantesan sulit dipahami (dan diterima) orang lain.
DeleteI kind of enjoy that - where upon finishing you already know that you'll need to think some more on it, or read again for the deeper meaning. -Sarah
ReplyDeleteI think Exupery's book always (or most of them, because I haven't read all) require a second read to grab a better understanding. Philosophical books are always like that, no?
DeleteSaya terikat dgn penulis kesepian ini, si malaikat ini, dia bercerita polos (seolah itu) pengalamannya, mungkin hanya bisa dimengerti (atau ditemukan) saat kita mengalaminya juga atau hanya menjadi manusia polos seperti dia yg merasa tanpa terhalang bingkai bingkai.
ReplyDelete