Pages

Pages 2

Monday, May 7, 2012

The Man In The Iron Mask


(conclusion in English is at the bottom of this post)

Bagaikan matahari, ada saatnya terbit, ada saatnya tenggelam, begitu pula kehidupan manusia, ada saat ia mengalami kejayaan masa muda, namun akan tiba saatnya kejayaan itu menyusut tiba-tiba. Empat sahabat pengawal ekslusif Raja Prancis yang dulu mengalami kejayaan, kini—tiga puluh tahun kemudian—mau tak mau menyaksikan tenggelamnya masa-masa indah itu. Mereka adalah the three musketeers: Athos, Porthos, Aramis, ditambah sahabat setia mereka D’Artagnan, para pengawal raja yang termashyur dengan semboyan: ‘one for all and all for one’. Kisah karya Alexandre Dumas yang berdasarkan sejarah pemerintahan Louis XIII hingga Louis XIV ini dirangkai ke dalam tiga sekuel. Dimulai dari The Three Musketeers, disusul Twenty Years After, dan ditutup dengan The Vicomte de Bragelonne. Sekuel ketiga ini—karena begitu panjangnya (sekitar 2000 halaman)—dibagi ke dalam 3 bagian. The Man in The Iron Mask ini adalah bagian terakhir dari sekuel ketiga itu (jadi ia sebenarnya bukan novel yang berdiri sendiri), di mana para musketeers telah memasuki usia 50-60 tahunan.

Seperti yang telah kuduga, Alexandre Dumas merangkai kisah ini dengan plot yang rumit, terbagi atas beberapa konflik yang melibatkan tokoh yang berbeda-beda. Mungkin ini adalah akibat cara penulisan kisah ini yang asalnya berupa serial (bukan novel). Karena itu, aku akan mengulas sedikit kisah dari 5 tokoh utama, beserta bumbu-bumbu konflik yang mengelilinginya.

Aramis
Adalah Aramis (sudah menjadi uskup) yang merancang kudeta terhadap Louis XIV dengan menukarnya dengan saudara kembar Louis yang sejak kecil diasingkan kemudian dipenjara agar tidak mengganggu takhta Louis. Phillipe, si saudara kembar malang inilah yang kemudian menjadi the man in the iron mask. Sedang Aramis sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan Raja yang dipimpin D’Artagnan, karena pemberontakannya.

Athos
Setelah pensiun dari musketeers, Athos—kini Comte de la Verre—hidup tenang bersama putra tunggalnya yang kini meneruskan pelayanannya kepada Raja: Vicomte Raoul de Bragelonne. Sayangnya Raoul terlibat cinta segitiga dengan Louis XIV, yang dimenangkan—tentu saja—oleh sang Raja. Raoul bukan saja patah hati, namun juga patah semangat hidup. Hal yang membuat Athos marah dan menyalahkan Raja dengan kata-kata kasar. Raoul lalu berangkat perang ke Arab, meninggalkan Athos kesepian. Kisah ayah-anak ini yang paling tak aku sukai, penuh kegalauan!

D’Artagnan
Adalah satu-satunya yang masih mengabdi kepada monarki, dengan menjadi Kapten Musketeers. Karakter D’Artagnan sudah kuulas di sini. D’Artagnan tersinggung karena Louis XIV tak sepenuhnya memberinya kepercayaan saat ia bertugas memburu Aramis dan Porthos, lalu mengundurkan diri dari jabatannya (dan bukan sekali ini saja ia ‘ngambek’ dan mengancam mengundurkan diri).

Porthos
Digambarkan sebagai yang paling baik hati dari keempat sahabat ini, memiliki tubuh raksasa, namun tak terlalu cerdik. Diperalat Aramis untuk mengkudeta Louis XIV, namun toh tak membenci sahabatnya meski ia lalu menjadi buronan padahal tak bersalah. Dumas menuliskan epitaph yang sangat menyentuh emosi bagi musketeer yang satu ini!

Louis XIV
Kukira bolehlah disimpulkan bahwa sang Raja, Louis XIV, merupakan inti dari semua konflik yang ada di kisah ini, sekaligus yang memiliki karakter paling kompleks. Aku telah sedikit mengulasnya di sini. Selain berkonflik dengan jagoan-jagoan kita di atas, ia juga mencopot Menteri Keuangannya: M. Foquet setelah Foquet mengadakan pesta super mewah yang membuat pamor Louis XIV sebagai raja seolah ‘tenggelam’. Dipicu oleh kecemburuan, Colbert yang mengincar posisi Foquet pun ikut ‘mengipasi’ amarah Louis.

Dari konfliknya dengan semua tokoh, aku melihat bahwa Louis XIV bukanlah tokoh antagonis yang diktator, dan malah menurutku tindakannya wajar bagi seorang raja. Mari kita lihat dari kasus Aramis, ia jelas-jelas adalah pemberontak, musuh kerajaan, dan hukuman mati memang masuk akal baginya meski ia adalah sahabat D’Artagnan. Ketika ‘menukar’ Louis dengan Phillipe, jelas-jelas Porthoslah yang membantu Aramis, maka tak heran bila Louis menganggapnya juga sebagai pemberontak.

Tindakannya terhadap Foquet memang keterlaluan karena dipicu ego pribadi. Namun bagiku Foquet memang terlalu berlebihan saat mengadakan pesta mewah padahal kondisi keuangannya sedang carut-marut. Ia memang bangsawan yang terhormat dalam sikap dan kepribadian, namun ia terlalu membanggakan kehormatan yang dimilikinya, tanpa memperhatikan ego rajanya. Lagipula tampaknya ia memang bukan menteri keuangan yang kompeten, karena dari apa yang kutangkap dari buku, pembukuannya kacau sehingga kas kerajaan bercampur dengan kas rumah tangganya.

Takdir memang tak bersahabat bagi Raoul, namun kupikir juga kurang pada tempatnya bagi Athos untuk melampiaskan amarah pada Raja, apalagi karena La Valliere sendirilah yang memutuskan Raoul demi mengejar cinta Louis. Sedang dalam kasus D’Artagnan, aku justru mengangkat dua jempol bagi Louis XIV yang benar-benar memahami watak bawahan yang paling ia percayai itu. D’Artagnan sangat setia, namun kelemahannya terletak pada kebanggaannya yang agak berlebihan pada kehormatan. Louis jelas tak dapat mempercayai D’Artagnan untuk benar-benar menangkap kedua sahabatnya. Di bagian akhir kisah ini, Louis XIV menunjukkan bahwa dirinya bukanlah anak muda manja yang dijadikan raja. Ialah sang pemimpin mutlak negara. Inilah cuplikkan dialog yang menunjukkan kematangan Louis XIV sebagai raja.

Conclusion:

I see The Man In The Iron Mask as a symbol of changing times. What applies in the old days may not be able to impose on us in the present days. We should uphold the principles that we think is right, however we must also be flexible with the present situation. Honor could be maintained in a different way, not by violence, coercion, let alone the rebellion!

Athos, Porthos, Aramis and d'Artagnan is a symbol of past glory, and they will always be admired and respected at all times. But times have changed, the values ​​which they used to stand then, may not mean anything anymore now. Whose fault is that? The past, or the present? The answer is none. Life will continue, and we inevitably must adapt to it.

Thirty years after the golden age for the four musketeers, they were (through d'Artagnan in his conversation with Louis XIV) reminded that their time has gone. The new horizon has come, and what left for them are these choices: to get out of it with honor, or try to live with it. Still, their honorable manner is something that should be inspiring the future generations.

As usual, Alexandre Dumas has presented a complex story with a complex plot, involving many characters with their own problems, which at first seem unrelated, but in the end interlocked each other. Unfortunately, there are things still unrevealed until the end of the novel—for example: what exactly is Madam de Chevreuse’s motive in her intrigue to topple Foquet? It seems she wanted to revenge against Aramis, but why? Maybe I'll get the answer from the two previous novels. Nevertheless, The Man In The Iron Mask is an unforgettable story, part of a wonderful epic, about honor, loyalty, love and friendship.

Four swords for The Man In The Iron Mask and Alexandre Dumas!

Title: The Man In The Iron Mask
Author: Alexandre Dumas
Introduction & Notes: Keith Wren
Publisher: Wordsworth Classics
Published: 2002
Pages: 632

2 comments:

  1. Aku belum baca, aku belum baca. (Jadi ga berani baca review-nya). Tapi sepertinya agak berbeda dengan filmnya ya? I'll read it for sure (one day) :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan hanya agak berbeda, tp memang beda sama filmnya. Film lbh fokus ke 'man in the iron mask', sedangkan di buku 'man in the iron mask' hanya sebagai pemicu hal2 yg lain, Phillipe seolah2 hanya bumbu saja di bukunya.

      Delete

What do you think?