(conclusion in English is at the bottom of this post)
Bagaikan
matahari, ada saatnya terbit, ada saatnya tenggelam, begitu pula kehidupan
manusia, ada saat ia mengalami kejayaan masa muda, namun akan tiba saatnya
kejayaan itu menyusut tiba-tiba. Empat sahabat pengawal ekslusif Raja Prancis
yang dulu mengalami kejayaan, kini—tiga puluh tahun kemudian—mau tak mau
menyaksikan tenggelamnya masa-masa indah itu. Mereka adalah the three
musketeers: Athos, Porthos, Aramis, ditambah sahabat setia mereka D’Artagnan,
para pengawal raja yang termashyur dengan semboyan: ‘one for
all and all for one’. Kisah karya Alexandre Dumas yang berdasarkan sejarah pemerintahan Louis
XIII hingga Louis XIV ini dirangkai ke dalam tiga sekuel. Dimulai dari The
Three Musketeers, disusul Twenty Years After, dan ditutup dengan The Vicomte de
Bragelonne. Sekuel ketiga ini—karena begitu panjangnya (sekitar 2000
halaman)—dibagi ke dalam 3 bagian. The Man in The Iron Mask ini adalah bagian
terakhir dari sekuel ketiga itu (jadi ia sebenarnya bukan novel yang berdiri
sendiri), di mana para musketeers telah memasuki usia 50-60 tahunan.
Seperti yang
telah kuduga, Alexandre Dumas merangkai kisah ini dengan plot yang rumit,
terbagi atas beberapa konflik yang melibatkan tokoh yang berbeda-beda. Mungkin
ini adalah akibat cara penulisan kisah ini yang asalnya berupa serial
(bukan novel). Karena itu, aku akan mengulas sedikit kisah dari 5 tokoh utama,
beserta bumbu-bumbu konflik yang mengelilinginya.
Aramis
Adalah
Aramis (sudah menjadi uskup) yang merancang kudeta terhadap Louis XIV dengan
menukarnya dengan saudara kembar Louis yang sejak kecil diasingkan kemudian
dipenjara agar tidak mengganggu takhta Louis. Phillipe, si saudara kembar
malang inilah yang kemudian menjadi the man in the iron mask. Sedang Aramis
sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan Raja yang dipimpin D’Artagnan, karena
pemberontakannya.
Athos
Setelah pensiun
dari musketeers, Athos—kini Comte de la Verre—hidup tenang bersama putra
tunggalnya yang kini meneruskan pelayanannya kepada Raja: Vicomte Raoul de
Bragelonne. Sayangnya Raoul terlibat cinta segitiga dengan Louis XIV, yang
dimenangkan—tentu saja—oleh sang Raja. Raoul bukan saja patah hati, namun juga
patah semangat hidup. Hal yang membuat Athos marah dan menyalahkan Raja dengan
kata-kata kasar. Raoul lalu berangkat perang ke Arab, meninggalkan Athos
kesepian. Kisah ayah-anak ini yang paling tak aku sukai, penuh kegalauan!
D’Artagnan
Adalah
satu-satunya yang masih mengabdi kepada monarki, dengan menjadi Kapten
Musketeers. Karakter D’Artagnan sudah kuulas di sini. D’Artagnan
tersinggung karena Louis XIV tak sepenuhnya memberinya kepercayaan saat ia
bertugas memburu Aramis dan Porthos, lalu mengundurkan diri dari jabatannya
(dan bukan sekali ini saja ia ‘ngambek’ dan mengancam mengundurkan diri).
Porthos
Digambarkan
sebagai yang paling baik hati dari keempat sahabat ini, memiliki tubuh raksasa,
namun tak terlalu cerdik. Diperalat Aramis untuk mengkudeta Louis XIV, namun
toh tak membenci sahabatnya meski ia lalu menjadi buronan padahal tak bersalah.
Dumas menuliskan epitaph yang sangat menyentuh emosi bagi musketeer yang satu
ini!
Louis XIV
Kukira
bolehlah disimpulkan bahwa sang Raja, Louis XIV, merupakan inti dari semua
konflik yang ada di kisah ini, sekaligus yang memiliki karakter paling
kompleks. Aku telah sedikit mengulasnya di sini. Selain berkonflik
dengan jagoan-jagoan kita di atas, ia juga mencopot Menteri Keuangannya: M.
Foquet setelah Foquet mengadakan pesta super mewah yang membuat pamor Louis XIV
sebagai raja seolah ‘tenggelam’. Dipicu oleh kecemburuan, Colbert yang
mengincar posisi Foquet pun ikut ‘mengipasi’ amarah Louis.
Dari
konfliknya dengan semua tokoh, aku melihat bahwa Louis XIV bukanlah tokoh
antagonis yang diktator, dan malah menurutku tindakannya wajar bagi seorang
raja. Mari kita lihat dari kasus Aramis, ia jelas-jelas adalah pemberontak,
musuh kerajaan, dan hukuman mati memang masuk akal baginya meski ia adalah
sahabat D’Artagnan. Ketika ‘menukar’ Louis dengan Phillipe, jelas-jelas
Porthoslah yang membantu Aramis, maka tak heran bila Louis menganggapnya juga
sebagai pemberontak.
Tindakannya
terhadap Foquet memang keterlaluan karena dipicu ego pribadi. Namun bagiku
Foquet memang terlalu berlebihan saat mengadakan pesta mewah padahal kondisi
keuangannya sedang carut-marut. Ia memang bangsawan yang terhormat dalam sikap
dan kepribadian, namun ia terlalu membanggakan kehormatan yang dimilikinya,
tanpa memperhatikan ego rajanya. Lagipula tampaknya ia memang bukan menteri
keuangan yang kompeten, karena dari apa yang kutangkap dari buku, pembukuannya
kacau sehingga kas kerajaan bercampur dengan kas rumah tangganya.
Takdir
memang tak bersahabat bagi Raoul, namun kupikir juga kurang pada tempatnya bagi
Athos untuk melampiaskan amarah pada Raja, apalagi karena La Valliere
sendirilah yang memutuskan Raoul demi mengejar cinta Louis. Sedang dalam kasus
D’Artagnan, aku justru mengangkat dua jempol bagi Louis XIV yang benar-benar
memahami watak bawahan yang paling ia percayai itu. D’Artagnan sangat setia,
namun kelemahannya terletak pada kebanggaannya yang agak berlebihan pada
kehormatan. Louis jelas tak dapat mempercayai D’Artagnan untuk benar-benar
menangkap kedua sahabatnya. Di bagian akhir kisah ini, Louis XIV menunjukkan
bahwa dirinya bukanlah anak muda manja yang dijadikan raja. Ialah sang pemimpin
mutlak negara. Inilah cuplikkan dialog yang menunjukkan kematangan Louis XIV
sebagai raja.
Conclusion:
I see The
Man In The Iron Mask as a symbol of changing times. What applies in the old
days may not be able to impose on us in the present days. We should uphold the
principles that we think is right, however we must also be flexible with the
present situation. Honor could be maintained in a different way, not by
violence, coercion, let alone the rebellion!
Athos,
Porthos, Aramis and d'Artagnan is a symbol of past glory, and they will always
be admired and respected at all times. But times have changed, the values which they used to stand then, may not mean anything anymore
now. Whose fault is that? The past, or the present? The answer is none. Life
will continue, and we inevitably must adapt to it.
Thirty years
after the golden age for the four musketeers, they were (through d'Artagnan in
his conversation with Louis XIV) reminded that their time has gone. The new
horizon has come, and what left for them are these choices: to get out of it
with honor, or try to live with it. Still, their honorable manner is something
that should be inspiring the future generations.
As usual,
Alexandre Dumas has presented a complex story with a complex plot, involving
many characters with their own problems, which at first seem unrelated, but in
the end interlocked each other. Unfortunately, there are things still unrevealed
until the end of the novel—for example: what exactly is Madam de Chevreuse’s
motive in her intrigue to topple Foquet? It seems she wanted to revenge against
Aramis, but why? Maybe I'll get the answer from the two previous novels.
Nevertheless, The Man In The Iron Mask is an unforgettable story, part of a
wonderful epic, about honor, loyalty, love and friendship.
Four swords
for The Man In The Iron Mask and Alexandre Dumas!
Title: The
Man In The Iron Mask
Author:
Alexandre Dumas
Introduction
& Notes: Keith Wren
Publisher:
Wordsworth Classics
Published:
2002
Pages: 632
Aku belum baca, aku belum baca. (Jadi ga berani baca review-nya). Tapi sepertinya agak berbeda dengan filmnya ya? I'll read it for sure (one day) :D
ReplyDeleteBukan hanya agak berbeda, tp memang beda sama filmnya. Film lbh fokus ke 'man in the iron mask', sedangkan di buku 'man in the iron mask' hanya sebagai pemicu hal2 yg lain, Phillipe seolah2 hanya bumbu saja di bukunya.
Delete