Pages

Pages 2

Wednesday, September 19, 2012

Robinson Crusoe


[conclusion in English is at the bottom of this post]

361 tahun lalu, tepat pada tanggal 1 September 1651 seorang pria Inggris bernama Robinson Crusoe memulai pelayarannya yang pertama. Crusoe adalah putra sebuah keluarga pedagang menengah di Inggris. Ia tak memiliki bakat berdagang, namun kepalanya selalu dipenuhi impian untuk bertualang ke laut. Mengabaikan nasihat ayahnya, ia pun memutuskan untuk ikut dalam sebuah pelayaran. Tak lama kemudian terbukti itu keputusan yang salah, namun bukannya belajar dari pengalaman, Crusoe malah terlibat dalam pelayaran-pelayaran berikutnya—yang kadang berhasil memberinya keuntungan dari berdagang, namun kadang memberinya kemalangan seperti menjadi budak orang Moor (orang kulit hitam).

Bahkan ketika ia akhirnya berhasil memiliki perkebunan yang cukup sukses di Brazil, hasratnya untuk melaut lagi-lagi mengalahkan akal sehatnya. Maka tepat delapan tahun setelah pelayaran pertamanya yang gagal, Crusoe kembali melaut pada 1 September 1659. Pelayaran kali ini benar-benar membawa celaka, karena kapal mereka karam dalam sebuah badai, dan hanya menyisakan Crusoe seorang diri terdampar di pulau terpencil dan tak berpenghuni. Sendirian. Di tengah ancaman kanibalisme di perairan Karibia di abad 17.

Itulah inti kisah ini, yakni pergulatan hidup Crusoe selama dua puluh delapan tahun tinggal di pulau itu. Bagaimana ia bertahan hidup dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ia ambil dari kapalnya sebelum karam, bagaimana ia membuat dengan tangannya sendiri segala kebutuhannya, mulai dari rumah, meja kursi, kuali, keranjang anyaman hingga piring-cangkir, termasuk segala alat bertukang yang ia butuhkan, hingga kano atau perahu; dan bagaimana ia bergantung pada alam.

Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana Crusoe bergulat dengan jiwanya sendiri menghadapi segala ketakutan, keputus-asaan, serta kesepian di sepanjang hidupnya di pulau, tanpa siapapun yang dapat ia ajak berdiskusi. Di tengah pergulatan itu, ia pun akhirnya mampu melihat Tangan Tuhan yang bekerja dalam setiap langkah hidupnya. Betapa, jauh dari sengsara, Tuhan justru telah menyediakan segala kebutuhannya dan melindunginya, serta terlebih-lebih memberikan kesempatan pada Crusoe untuk tetap hidup—ketika semua temannya mati dalam badai yang tak memungkinkan manusia untuk selamat. Dan untuk tujuan apakah semuanya itu dilakukan Tuhan? Di titik inilah pertobatan Crusoe terjadi. Bukan pertobatan yang gampang, melainkan melalui serangkaian pergulatan yang keras dalam jiwanya.

Defoe membuat Robinson Crusoe ini dalam bentuk semacam jurnal yang ditulis oleh Crusoe sendiri. Dengan sendirinya, bahasa Inggris yang dipakai adalah bahasa sehari-hari yang bisa anda bayangkan dipakai seorang pelaut dalam menulis jurnalnya, yang jauh dari sempurna dalam sintaksisnya. Karena itu, kalau anda menemui kalimat-kalimat yang agak aneh, kesalahan mungkin bukan terletak pada penerjemahan, karena versi aslinya memang tidak tertulis dengan sempurna. Inilah letak kehebatan Defoe, yang membuat anda berpikir buku ini adalah jurnal sungguhan, bukannya kisah fiksi.

Yang paling menarik bagiku adalah bagaimana Defoe bermonolog dalam jurnalnya, terutama pada bagian apa yang ia rasakan dan pikirkan. Bagian ini terasa sungguh hidup sehingga membuat pembaca seolah bisa melihat pergolakan emosi Crusoe yang sungguh…benar-benar melelahkan untuk diikuti, namun membuat kita menyadari betapa sulitnya manusia untuk melalui proses pertobatan; betapa panjang, rumit dan sabar Tuhan menuntun Crusoe pada keselamatan.

Yang jelas Robinson Crusoe mengajarkan pada kita untuk dapat mensyukuri apapun yang terjadi pada kita, bahwa justru saat kita merasa kita sedang dibawa pada kehancuran, pada saat itulah Tuhan sebenarnya tengah mengarahkan kita pada keselamatan. Seperti yang terefleksikan dalam quote ini:

Begitu kecilnya kita melihat ke depan di dunia, dan begitu banyaknya alasan yang kita miliki untuk bergantung dengan gembira pada Sang Pencipta dunia. Dia tidak meninggalkan makhluknya sangat kekurangan, tapi dalam kondisi terburuk mereka selalu punya sesuatu untuk disyukuri dan kadang lebih dekat ke keselamatan dibanding apa yang mereka bayangkan, tidak, bahkan dibawa pada keselamatan dengan cara yang menurut mereka akan membawa kehancuran bagi mereka.

Empat bintang bagi Robinson Crusoe yang bukan saja menyediakan kisah petualangan menarik, seru, tegang, namun mampu membawa kita pada sebuah refleksi yang mendalam pula.

Judul: Robinson Crusoe
Penulis: Daniel Defoe
Penerjemah: Maria Renny
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: April 2007
Tebal: 385 hlm.

Conclusion:

How lucky I am that I saw o (delaisse)’s post about reading Robinson Crusoe on the 361st celebration of Crusoe’s adventure, on September 1st 2012. The book (Indonesian translation) has been on my TBR list for…perhaps a year, but I haven’t got the mood to read it. I was afraid because this book was not written in good English, so what if I could not get the meaning and couldn’t enjoy it? Reading with a friend gives me encouragement, and the moment is so perfect, so I began flipping the first pages of Robinson Crusoe, and…hey…I like it!

I think most of you already know what this book is about—or even have read it, so I won’t bother to write about the story. What impressed me is how Defoe wrote it as a sailor’s journal. He wrote in detail about how he built the cave, how he brought things from the wrecked ship, how he managed and prepared his foods, and all these stuffs—such, that if one day someone might fell in the same faith as Crusoe, he could have survived if he had learned this book before.

The best part of this book is Crusoe’s repentance process. It was a long, tedious and emotional—yet interesting—process through everything that had happened during his stay on the island. I was moved to read about how God brought Crusoe to realization that all of those happened to him were a Great Design of God; from the corn seed which cultivated on the particular soil, to the discovery of worn out Bible Crusoe had grabbed from the wrecked ship’s cabin. But more interestingly, was how Crusoe seemed to forget (too quickly) all these realizations when something bad happened (and this happened more than once). It seemed that Defoe took us to witness God’s tremendous patience towards stubborn sinners. All of these soul struggling monologs are worth to read!

I granted this book four stars, for I was a little disappointed with the ending. Actually I like Crusoe’s struggle on the island more than the adventures after he was saved. And after following Crusoe for twenty eight years, I was wondering how Crusoe seemed to be easily left the island just like that. I imagined that he should have been quite emotional when the time came to ‘say good bye’ to his home. Of course it was far from being called home, but the island could be assumed to be his island, he built the ‘houses’ himself, worked the corn plantation as well as the mini farm with his own hands; in short he has created a miniature of a country. And that had happened for twenty eight years, half of his life! But I did not see anything emotional from Crusoe when he left. Well… I was a little emotional at this part, just as how I got emotional every time I must move from an old house to a new one. I think a little hint of emotion would satisfy me more.

The adventures after he returned to civilization (fighting the wolves) seemed a bit anti-climax. The adventures were heart-pounding, but it washed away my previous emotional bond with the island and the divine experiences, which I think was the ‘heart’ of this story. More over, I wish Defoe closed the story at the ending, instead of hang it for a sequel to come. So now I’m just wondering, is Moll Flanders worth to read after this?...anyone?

13 comments:

  1. kok aq belum pernah liat buku ini ya, terbitan bentang tahun berapa ?

    ReplyDelete
  2. baru tau kalau buku ini menyelipkan cerita pertobatan dan refleksi..kirain hanya petualangan dan survival story ala cast awaynya tom hanks. menarik =)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga nggak menyangka, menjadikan buku ini makin berbobot

      Delete
  3. I'm not even 100 pages in and the repenting-forgetting circle has already started! The English version is written in the more old-fashioned style, with some different spellings of words and a lot (a LOT) of capital letters for nouns. It's starting to annoy me a little. But I'll persevere...!
    Can't wait till he and his Indian (?) friend get to their island.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh...lucky me, I can read the translated version. I do not usually prefer the translation, but for this particular book I feel grateful I don't have to read the original version...

      You will enjoy it when Crusoe has landed on the island!

      Delete
    2. I think you did well doing that, Fanda! I've seen a few of the comments on my review and I will have to hunt down a children's version of the tale so I can compare.

      Delete
    3. ...and I will hunt down a copy of Moll Flanders ;)
      But I think it will totally be different from Crusoe. Crusoe's main strength, I think, is in the search of his existence, not (firstly) in the adventure.

      Delete
  4. I'm sorry that I'm just getting to read your post now Fanda! (And there are probably a good many waiting as well) but I am really excited to read this book... more so now after reading your post!! -Sarah

    ReplyDelete
    Replies
    1. It's OK Sarah, thanks anyway to stop by and reading it.
      Crusoe won't disappoint you, although many people complain about the writing, but I think the repentance was sweet and touching.

      Delete
  5. dulu waktu sma saya pernah baca buku, namun lupa judulnya apa.
    tentang orang yang terdampar di pulau dengan anjingnya. ia sempat lupa cara berbicara, namun akhirnya ada ia menyelamatkan seorang yang akan dibunuh, namnya neb. ia diajari membuat senjata untuk berburu berupa tali yang diberi batu. endingnya neb ikut pedagang budak yang mampir di pulau itu, sedngkan protagonis tetap di pulau. apakah buku ini yang saya baca.?

    ReplyDelete
  6. What a great review! I agree that his spiritual formation experience was my favorite part of the book and that it was odd that he didn't have much emotional experience with leaving the island when he was rescued even though he spent 28 years there.

    Here is my review, if interested! https://elle-alice.blogspot.com/2020/09/the-classics-club-robinson-crusoe.html

    ReplyDelete

What do you think?