D’Artagnan
The Man In The Iron Mask by Alexandre Dumas
Masih ingat D’Artagnan, musketeer yang termuda saat bergabung dengan Three Musketeers? Karakternya makin nampak di buku ini dibanding ketika di Three Musketeers (yang lebih banyak menampilkan action-nya).
Lebih dari 20 tahun berlalu, ketika rekan-rekannya sudah
memilih jalan hidup masing-masing, D’Artagnan masih mengabdi pada Raja Prancis
(di kisah ini Louis XIV), kini sebagai Kapten Musketeers. D’Artagnan adalah sosok
yang kesetiaannya kepada Raja tak diragukan. Hal ini sudah diakui Louis XIV
sendiri maupun rekan-rekan dan semua orang yang mengenalnya. Namun, prinsipnya
yang selalu menjunjung tinggi kehormatan, kesetiaan dan persahabatan membuatnya
sulit untuk dapat menuruti semua perintah Raja Louis XIV yang semena-mena.
Bagaimana kiat D’Artagnan untuk menyeimbangkan kedua hal yang penting baginya
inilah yang membuat sosoknya menarik.
Yang paling sulit tentu saja saat D’Artagnan diperintahkan
Raja menangkap sahabatnya sendiri, seorang dari ke-3 mantan musketeer. D’Artagnan
di satu sisi setia pada persahabatannya, namun di sisi lain juga patuh pada
Raja dan negara. Jalan mana yang dipilihnya? Ternyata ia memilih keduanya atau
boleh dibilang bukan keduanya. Heran? Di buku ini anda akan membaca sendiri
kisahnya, bagaimana D’Artagnan dengan cerdiknya memelintir perintah Raja itu
tanpa bisa dibilang membangkang, dan membuat (memaksa?) Raja akhirnya
membebaskan sahabatnya.
Dari segi pembawaannya, terlihat bahwa D’Artagnan memiliki
karisma sendiri yang dihormati sekaligus disegani.
“D’Artagnan had never
allowed himself to become common at court, and although seen at all sorts of
times and places, he always produce an effect whenever and wherever he made his
appearance. It’s natural to some people to resemble, in this respect, thunder
and lightning. Everyone knows what they are, but, nevertheless they are always
received with certain amount of surprise, and they always leave behind them the
impression that their last appearance has been more remarkable than any that
had preceded it.” ~hlm. 318.
Bisa jadi jabatannya sebagai Kapten Musketeers membuat
banyak orang merasakan sensasi tak nyaman saat berada bersama D’Artagnan.
Bayangan bahwa ia adalah abdi setia Raja (apalagi ketika sang Raja adalah sosok
pemarah dan kejam), pasti membuat orang merasa tak nyaman bersamanya. Atau saat
seseorang tiba-tiba menerima kunjungan D’Artagnan, mungkin dalam hati tersirat
kengerian bahwa ia—entah bagaimana—telah menyinggung perasaan Raja dan kini
akan diseret ke penjara.
D’Artagnan adalah orang yang sangat cerdik, dengan keahlian
pedang yang tak perlu diragukan lagi serta intuisi yang sangat tajam ketika
suatu intrik sedang terjadi di dekatnya. Hal ini juga terbukti saat
perjumpaannya dengan Aramis ketika Aramis sedang menggarap “proyek mission
impossible-nya”. Meski tak ada bukti kuat, namun D’Artagnan mampu mencium ada
sesuatu yang ‘besar’ yang sedang terjadi, entah apa, yang direncanakan oleh
sahabatnya itu. Sebuah kualitas yang dibutuhkan oleh Kapten Musketeers,
sekaligus yang ditakutkan oleh lawan-lawannya (termasuk juga sahabatnya ketika akan
melakukan sesuatu untuk melawan Raja).
Namun kualitas dalam dirinya yang paling aku kagumi adalah
kesetiaannya terhadap persahabatan. Meski integritasnya untuk melayani raja dan
negara tinggi, namun baginya, persahabatannya dengan three musketeers adalah
segalanya.
“I should say to him
[King] straight out: ‘Sire, imprison, exile, kill everyone in France or in
Europe, order me to arrest or poniard anyone in the world, even were it monsieur
your brother, but do not touch either of the four musketeers. If one of them be
harmed, I will not answer for the consequences.’” ~hlm. 147.
Memang benar itu hanyalah pengandaian saja, tak benar-benar
terjadi dalam kisah ini, namun dari ungkapan itu, kita bisa menilai betapa
berartinya persahabatan bagi seorang D’Artagnan, selain kehormatan. Karena ia
menjunjung tinggi kehormatan, ia pun dapat membayangkan bagaimana seorang ‘gentleman’
seperti Monsieur Fouquet akan terhina jika ia menaati titah Raja untuk
menangkapnya ketika Raja tengah menginap di rumahnya! Sebuah dilema yang berat,
namun bukan D’Artagnan kalau ia tak bisa menemukan cara untuk memuaskan kedua
pihak. Di satu pihak menaati perintah Raja, dan di pihak lain menjaga
kehormatan calon tawanannya. Salut untuk D’Artagnan yang punya prinsip dan
teguh menjaganya!
Ini adalah sosok Gabriel Byrne yang memerankan D’Artagnan di
film adaptasi The Man In The Iron Mask versi th. 1998. Agak kurang cocok
menurutku karena di sini D’Artagnan nampak terlalu melankolis-romantis, dan
kurang menunjukkan sosok D’Artagnan yang energetik, periang dan punya sense of
humor tinggi.