Nama King Arthur pasti tak asing lagi bagi pecinta kisah klasik. King Arthur adalah seorang raja yang, menurut legenda, memerintah Inggris pada sekitar abad 5 atau 6. Meski kisahnya telah sering kita dengar, namun fakta sejarahnya masih saja diragukan. Belum ada yang membuktikan bahwa ada seorang King Arthur yang pernah hidup, kecuali (menurut buku karya Thomas Malory) sebuah kuburan dengan coretan di atasnya yang berbunyi: “Here lies Arthur, king once, and king to be”. Sudah banyak Arthurian (epic tentang King Arthur) yang telah terbit, namun “Le Morte d’Arthur” karya Thomas Malory-lah yang menjadi sumber bagi T.H. White untuk menulis ulang epic King Arthur dengan gayanya sendiri, yang boleh kita sebut sebagai epic fantasy atau modern epic. Dan inilah seri pertama dari tetralogi The Once and Future King: The Sword in The Stone.
Suatu hari di bulan Juli, pada jaman Inggris kuno, Sir Ector sedang mempertimbangkan untuk mencari guru untuk mengajar kedua anak lelakinya, Kay dan Wart. Yah, sebenarnya putra kandungnya adalah Kay, sedang Wart adalah putra angkatnya. Meski Kay kelak akan menjadi seorang ksatria, sedang Wart hanyalah pengawal, Sir Ector memberikan pendidikan yang sama bagi keduanya. Meski demikian, bahkan dari awal pun sudah terlihat bahwa Wart jauh lebih terampil dan berkarakter lebih baik daipada Kay. Kay cenderung pemarah, manja dan egois, sedang Wart murah hati, penuh kasih, dan memiliki sikap mau berkorban.
Tanpa spoiler pun, anda pasti akan dapat menebak siapa yang kelak akan menjadi King Arthur. Arthur? Ya, memang nama keduanya bukan Arthur. Namun The Sword in The Stone ini adalah kisah awal kehidupan King Arthur hingga menjadi Raja.
Pada suatu hari saat tersesat di hutan, Wart bertemu dengan seorang penyihir bernama Merlyn. Penggambaran Merlyn sama persis seperti yang diilustrasikan tentangnya selama ini: berjanggut putih panjang, berjubah panjang, berkacamata, memakai topi berujung runcing (mengingatkan anda pada Dumbledore di Harry Potter? Yah, mungkin saja beliau cucu buyut Merlyn??). Singkat kata, Merlyn (bersama dengan burung hantunya yang bernama Archimides) akhirnya menetap di rumah Sir Ector untuk menjadi guru bagi kedua anak lelaki Sir Ector, terutama Wart.
Jangan membayangkan pelajaran-pelajaran Merlyn akan seperti kurikulum di Hogwarts, metode Merlyn lebih membumi dan praktis. Biasanya Merlyn menyihir Wart menjadi hewan dan tumbuhan. Awalnya ikan, lalu burung elang, lalu disusul oleh ular dan burung hantu. Saat menjadi ikan, Wart belajar tentang kekuatan dari Raja Parit. Ketika menjadi seekor burung merlin, Wart diajari tentang kekuatan kaki sebagai pijakan oleh teman-teman burung lainnya.
Yang menarik mungkin saat seekor ular mengajari Wart tentang manusia (homo sapiens). Lucu juga rasanya membayangkan seekor ular membicarakan tentang penciptaan dan evolusi makhluk hidup. Atau ketika Wart berada di dunia para burung hantu berkat bantuan Archimides. Bukan lagi tentang burung hantu yang mereka bicarakan, Archimides malah menguliahi Wart tentang penciptaan alam semesta, lengkap dengan penglihatan tentang terciptanya alam semesta!
Selain dari hewan dan tumbuhan, Wart juga belajar banyak tentang strategi penyerangan di hutan ketika bersama Kay ia berjumpa dengan Robin Hood, yang di kisah ini bernama Robin Wood. Asyik juga ketika tokoh-tokoh di kisah Robin Hood, seperti Little John dan Marian turut meramaikan kisah ini.
Lalu pertanyaannya, apa hubungan semua petualangan seru bin lucu yang dialami oleh Wart itu dengan King Arthur? Hal itu akan terjawab di bagian akhir cerita. Seperti di kisah King Arthur oleh Thomas Malory, di mana King Arthur menjadi raja karena ia satu-satunya orang yang mampu menarik sebilah pedang yang terkubur di dalam batu (the sword in the stone), maka begitu pulalah penahbisan si calon raja kita di buku ini, setelah Raja Inggris kala itu—Uther Pendragon mangkat. Yang menjadi pertanyaannya, bagaimana cara ia mencabut pedang itu bila semua yang lain gagal? Di sinilah makna dari semua pengajaran Merlyn akan terungkap.
Saat awal membaca buku ini, aku berpikir ini adalah cara T.H. White memperkenalkan Arthurian kepada anak-anak. Namun ketika aku mengikuti pembicaraan ular dan Archimides yang agak berbau filosofis dan sains, aku jadi agak meragukan bahwa ini adalah cerita anak-anak. Menurutku, T.H. White memang bermaksud membawa pembaca yang belum membaca epic Arthurian sebelumnya, mengenal King Arthur secara lebih pribadi dan manusiawi terlebih dahulu. King Arthur memang digambarkan sebagai raja dan ksatria yang tangguh. Namun apa yang membuatnya demikian? Nah, mungkin buku inilah yang akan menjawab pertanyaan itu sehingga akhirnya King Arthur bukan hanya merupakan mitos yang menghibur, namun sekaligus memberikan pelajaran moral bagi seorang pemimpin atau calon-calon pemimpin masa depan.
Menilik keunikan buku ini, aku berani menganugerahkan empat burung hantu, eh…bintang maksudku, untuk The Sword In The Stone!
Judul: The Sword in The Stone
Penulis: T.H. White
Penerjemah: Rahmawati Rusli
Penerbit: Mahda Books
Terbit: April 2011
Tebal: 282 hlm
Suatu hari di bulan Juli, pada jaman Inggris kuno, Sir Ector sedang mempertimbangkan untuk mencari guru untuk mengajar kedua anak lelakinya, Kay dan Wart. Yah, sebenarnya putra kandungnya adalah Kay, sedang Wart adalah putra angkatnya. Meski Kay kelak akan menjadi seorang ksatria, sedang Wart hanyalah pengawal, Sir Ector memberikan pendidikan yang sama bagi keduanya. Meski demikian, bahkan dari awal pun sudah terlihat bahwa Wart jauh lebih terampil dan berkarakter lebih baik daipada Kay. Kay cenderung pemarah, manja dan egois, sedang Wart murah hati, penuh kasih, dan memiliki sikap mau berkorban.
Tanpa spoiler pun, anda pasti akan dapat menebak siapa yang kelak akan menjadi King Arthur. Arthur? Ya, memang nama keduanya bukan Arthur. Namun The Sword in The Stone ini adalah kisah awal kehidupan King Arthur hingga menjadi Raja.
Pada suatu hari saat tersesat di hutan, Wart bertemu dengan seorang penyihir bernama Merlyn. Penggambaran Merlyn sama persis seperti yang diilustrasikan tentangnya selama ini: berjanggut putih panjang, berjubah panjang, berkacamata, memakai topi berujung runcing (mengingatkan anda pada Dumbledore di Harry Potter? Yah, mungkin saja beliau cucu buyut Merlyn??). Singkat kata, Merlyn (bersama dengan burung hantunya yang bernama Archimides) akhirnya menetap di rumah Sir Ector untuk menjadi guru bagi kedua anak lelaki Sir Ector, terutama Wart.
Jangan membayangkan pelajaran-pelajaran Merlyn akan seperti kurikulum di Hogwarts, metode Merlyn lebih membumi dan praktis. Biasanya Merlyn menyihir Wart menjadi hewan dan tumbuhan. Awalnya ikan, lalu burung elang, lalu disusul oleh ular dan burung hantu. Saat menjadi ikan, Wart belajar tentang kekuatan dari Raja Parit. Ketika menjadi seekor burung merlin, Wart diajari tentang kekuatan kaki sebagai pijakan oleh teman-teman burung lainnya.
Yang menarik mungkin saat seekor ular mengajari Wart tentang manusia (homo sapiens). Lucu juga rasanya membayangkan seekor ular membicarakan tentang penciptaan dan evolusi makhluk hidup. Atau ketika Wart berada di dunia para burung hantu berkat bantuan Archimides. Bukan lagi tentang burung hantu yang mereka bicarakan, Archimides malah menguliahi Wart tentang penciptaan alam semesta, lengkap dengan penglihatan tentang terciptanya alam semesta!
Selain dari hewan dan tumbuhan, Wart juga belajar banyak tentang strategi penyerangan di hutan ketika bersama Kay ia berjumpa dengan Robin Hood, yang di kisah ini bernama Robin Wood. Asyik juga ketika tokoh-tokoh di kisah Robin Hood, seperti Little John dan Marian turut meramaikan kisah ini.
Lalu pertanyaannya, apa hubungan semua petualangan seru bin lucu yang dialami oleh Wart itu dengan King Arthur? Hal itu akan terjawab di bagian akhir cerita. Seperti di kisah King Arthur oleh Thomas Malory, di mana King Arthur menjadi raja karena ia satu-satunya orang yang mampu menarik sebilah pedang yang terkubur di dalam batu (the sword in the stone), maka begitu pulalah penahbisan si calon raja kita di buku ini, setelah Raja Inggris kala itu—Uther Pendragon mangkat. Yang menjadi pertanyaannya, bagaimana cara ia mencabut pedang itu bila semua yang lain gagal? Di sinilah makna dari semua pengajaran Merlyn akan terungkap.
Saat awal membaca buku ini, aku berpikir ini adalah cara T.H. White memperkenalkan Arthurian kepada anak-anak. Namun ketika aku mengikuti pembicaraan ular dan Archimides yang agak berbau filosofis dan sains, aku jadi agak meragukan bahwa ini adalah cerita anak-anak. Menurutku, T.H. White memang bermaksud membawa pembaca yang belum membaca epic Arthurian sebelumnya, mengenal King Arthur secara lebih pribadi dan manusiawi terlebih dahulu. King Arthur memang digambarkan sebagai raja dan ksatria yang tangguh. Namun apa yang membuatnya demikian? Nah, mungkin buku inilah yang akan menjawab pertanyaan itu sehingga akhirnya King Arthur bukan hanya merupakan mitos yang menghibur, namun sekaligus memberikan pelajaran moral bagi seorang pemimpin atau calon-calon pemimpin masa depan.
Menilik keunikan buku ini, aku berani menganugerahkan empat burung hantu, eh…bintang maksudku, untuk The Sword In The Stone!
Judul: The Sword in The Stone
Penulis: T.H. White
Penerjemah: Rahmawati Rusli
Penerbit: Mahda Books
Terbit: April 2011
Tebal: 282 hlm
Jadi legenda tentang king arthur itu kayaknya beneran ada ya mba?
ReplyDeleteoh kukira king arthur itu memang pernah hidup dan tercatat dalam literatur2 sejarah, jadi bukti kesejarahannya msh merahukan toh...
ReplyDelete@Annisa: Kalau maksudmu King Arthur beneran ada, sampai sekarang masih diragukan. Jadi masih sebatas legenda
ReplyDelete@Tanzil: Kukira juga gitu, tapi ternyata masih diragukan
disini tidak ada tokoh naganya ya?
ReplyDelete