Bab ini juga salah satu favoritku, yaitu kisah Nabi Yesaya saat pertama kali dipanggil oleh Allah. Inilah satu-satunya bab yang menampilkan Yesaya sebagai sosok yang ‘manusiawi’. Kalau kita ingin mengenal seperti apa sosok Yesaya yang sesungguhnya, bab inilah yang menggambarkannya dengan tepat. Kita akan merasakan karakternya terpantul: apa adanya, blak-blakan, emosional dan impulsive. Ini terlihat terutama pada bagian monolognya ketika melihat penampakan Tuhan:
“Celakalah aku! Aku binasa!
Sebab aku ini seorang yang najis bibir,
Dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,
Namun mataku telah melihat Sang Raja,
Yakni Tuhan semesta alam.”
Aku dapat
merasakan betapa penampakan kemegahan Tuhan dan para serafimNya telah membuat Yesaya
sekaligus: menyadari kedosaannya, dan ketakjubannya karena Tuhan yang begitu
mulia sudi menampakinya. Jawabannya yang singkat, tandas, namun penuh keyakinan,
tanpa ragu seharusnya menjadi sikap kita semua saat Tuhan memanggil kita:
“Ini aku, utuslah aku!”
Yesaya tak
pernah bertanya apa yang harus ia lakukan, atau kemana Tuhan akan mengutusnya.
Tidak. Ia mengingatkanku pada Petrus yang impulsive—namun kelak terbukti paling
kokoh imannya—yang dari awal langsung meninggalkan perahu dan jalanya dan
mengikuti Yesus.
Tugas pertama
Tuhan untuk Yesaya sungguh aneh bagi seorang nabi. Yesaya diperintahkan untuk
membuat “hati bangsa ini keras” agar Tuhan dapat menimpakan hukumannya. Pun
demikian Yesaya, alih-alih bertawar menawar dengan Tuhan seperti Musa atau
Abraham, hanya bertanya: “sampai berapa lama, ya Tuhan?”
No comments:
Post a Comment
What do you think?