Ini adalah tentang kehidupan yang indah, penuh warna, menggairahkan, dan penuh cinta. Itulah kesan yang kudapat selama membaca buku ini. Buku yang bercerita tentang si yatim piatu berambut merah yang berpembawaan ceria, ceriwis, begitu mencintai alam, dan memiliki daya imajinasi yang tinggi dan hidup. Semangat dan keceriaannya cenderung meluap-luap, dan kehadirannya selalu membuat orang di sekitarnya gembira. Itulah Anne.
Awalnya, Avonlea adalah sebuah dusun pertanian kecil dengan pemandangan yang indah, namun dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Terutama di pertanian Green Gables yang dihuni oleh kakak beradik yang sudah setengah baya, Matthew dan Marilla Cuthbert. Mereka berdua tidak menikah, dan rumah mereka terasa sepi dan dingin. Sampai suatu ketika, Mrs. Rachel Lynde melihat sesuatu yang aneh. Pagi-pagi benar Matthew Cuthbert pergi naik kereta dengan berkemeja rapi. Di desa yang kecil, di mana kehidupan penghuninya sudah terjadwal, perginya Matthew membuat heran Mrs. Rachel. Maka ia mengunjungi Marilla. Dan dari mulut Marilla meluncurlah berita heboh: Matthew pergi ke stasiun menjemput seorang anak lelaki dari Panti Asuhan!
Ya, Matthew butuh seseorang untuk membantunya di pertanian, maka mereka titip pesan pada Mrs. Spencer untuk membawakan seorang anak lelaki dari panti asuhan. Pagi itu, ketika Matthew tiba di stasiun, yang ia dapati hanyalah seorang anak perempuan berpakaian lusuh, wajah pucat berbintik-bintik dan rambut merah. Rupanya ada kesalahpahaman dengan Mrs. Spencer! Tapi, si anak perempuan sudah terlanjur kegirangan mengetahui bahwa ada keluarga yang menginginkannya, sehingga ia tak perlu menetap di panti. Maka, diajaknyalah si anak perempuan itu pulang oleh Matthew. Sebagian karena ia tak tega meninggalkannya begitu saja di stasiun, dan sebagian lagi karena karakter unik si anak perempuan.
Bayangkan, sepanjang perjalanan naik kereta itu ia menyerocos terus. Begitu melihat pohon ceri dan birch yang berbunga putih menjulur agak rendah ke jalan, Anne bisa membayangkan cadar halus putih seorang pengantin! Benar-benar imajinasi yang hebat! Dan itulah yang akan anda baca dan rasakan di sepanjang buku ini.
Awalnya, Marilla tak dapat menerima kehadiran Anne. Namun, mau tak mau diakuinya juga bahwa Anne telah sedikit demi sedikit memberi warna dalam kehidupannya yang tadinya membosankan. Maka akhirnya Marilla pun luluh, dan berniat tetap mengadopsi Anne. Anne begitu bahagia dengan keputusan itu, dan ia berusaha keras untuk memuaskan Marilla. Masalahnya, ia terlalu banyak berkhayal. Ketika disuruh melakukan tugas rumah tangga, ia begitu rajin awalnya. Namun, di tengah-tengah pekerjaannya pikirannya akan melantur kemana-mana saat ia memandang ke arah pepohonan, misalnya. Dan akhirnya ada saja tugas yang ia lupakan.
Waktu Anne mulai masuk sekolah, Marilla menjahitkannya gaun-gaun yang amat sederhana (dan membosankan buat anak kecil). Padahal yang diinginkan Anne adalah gaun dengan lengan model menggelembung yang waktu sedang populer.
Lalu Anne menemukan seorang sahabat, yang ia sebut sebagai ‘belahan jiwa’, seorang anak bernama Diana. Rumah Diana terletak di pertanian di seberng Green Gables, tapi jendela kamar tidur Diana bisa dilihat oleh Anne dari kamarnya sendiri. Kedua gadis kecil ini sering mengirimkan isyarat berupa kilatan sinar senter (mirip kode morfe). Kalau salah satu dari mereka melihat signal ini, maka ia akan segera bergegas ke rumah yang lain, karena pasti si pengirim signal memiliki berita penting untuk diberitahukan pada yang lain.
Begitulah, kedatangan Anne ke Avonlea ternyata membawa banyak perubahan pada hidup di sekitarnya. Ia adalah virus keceriaan di sebuah dusun yang membosankan, warna-warna yang hidup pada selembar kain putih yang menjemukan. Anne adalah seseorang dengan emosi yang meluap-luap. Ia bisa menjadi sangat antusias pada suatu rencana yang indah, namun bisa dengan cepat menjadi putus asa saat keinginannya tak tercapai.
Ada seorang anak laki-laki bernama Gilbert Blythe yang cerdas tapi senang mengusili Anne. Anne jengkel sekali padanya ketika Gilbert memanggilnya ‘wortel’. Anne sangat sensitif kalau mengenai warna rambutnya yang semerah wortel. Ia bisa sangat tersinggung, seperti halnya reaksinya terhadap Gilbert. Alhasil, ia memusuhi Gilbert selama sekolah, dan bersaing dengannya dalam hal prestasi, karena ia dan Gilbert sama pintarnya di kelas.
Ketika sekolah hampir berakhir, dalam sebuah adegan ‘penyelamatan’ di sungai, Gilbert meminta maaf pada Anne bahwa ia dulu mengoloknya. Anne merasakan debaran aneh jantungnya, tapi harga diri yang tinggi membuatnya menolak mentah-mentah ajakan Gilbert untuk kembali berteman.
Pada akhir tahun pelajaran, mereka berdua (Anne dan Gilbert) beserta beberapa murid lain mengikuti ujian masuk ke Akademi Queen di kota. Sayangnya orang tua Diana tidak mengijinkan anak mereka untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anne akhirnya menjadi nomor satu dalam ujian itu, dan ia pun bersiap-siap untuk melanjutkan pendidikan di Queen.
Di Queen, Anne belajar dengan tekun dan berusaha untuk melupakan home-sicknya. Ia mendengar bahwa Queen akan memberikan sebuah beasiswa Avery, untuk menempuh pendidikan di sebuah universitas di Inggris. Namun Anne lebih terpacu untuk mengejar medali emas. Dan di penghujung masa belajar di Queen, ketika Anne pulang untuk berlibur di rumah, ia begitu yakin akan masa depan cemerlang yang terbentang di depannya ketika ia ternyata justru memenangkan beasiswa Avery (sedang medali emasnya direbut saingan beratnya, Gilbert). Anne begitu bahagia terutama karena Matthew, yang sudah mulai menua dan sakit-sakitan, malam itu mengungkapkan pada Anne bahwa ia sangat bangga pada pencapaian Anne.
Namun, seperti dalam kehidupan manapun juga, duka itu datang dengan sangat tiba-tiba. Sang malaikat maut menjemput Matthew Cuthbert. Maka kini tinggallah mereka berdua, Marilla dan anak angkatnya, Anne. Apakah yang akan dilakukan Anne? Tetap pergi ke kota untuk meraih cita-cita tertingginya dan meninggalkan Marilla sendirian? Ataukah ia menemani Marilla dan melepas impiannya?
Apapun penutup kisahnya, Anne of Green Gables memang menyediakan keindahan dan kisah yang penuh cinta di setiap kata dan kalimatnya. Bukan sebuah masterpiece seperti To Kill A Mocking Bird atau Harry Potter, namun tetap sebuah bacaan yang akan membuat hati ini gembira demi melihat keindahan dan merasakan cinta!
Judul : Anne of Green Gables
Pengarang : Lucy Montgomery
Penerbit : Qanita, 2008
Harga : Rp 50.150,- (toko buku online)
Awalnya, Avonlea adalah sebuah dusun pertanian kecil dengan pemandangan yang indah, namun dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Terutama di pertanian Green Gables yang dihuni oleh kakak beradik yang sudah setengah baya, Matthew dan Marilla Cuthbert. Mereka berdua tidak menikah, dan rumah mereka terasa sepi dan dingin. Sampai suatu ketika, Mrs. Rachel Lynde melihat sesuatu yang aneh. Pagi-pagi benar Matthew Cuthbert pergi naik kereta dengan berkemeja rapi. Di desa yang kecil, di mana kehidupan penghuninya sudah terjadwal, perginya Matthew membuat heran Mrs. Rachel. Maka ia mengunjungi Marilla. Dan dari mulut Marilla meluncurlah berita heboh: Matthew pergi ke stasiun menjemput seorang anak lelaki dari Panti Asuhan!
Ya, Matthew butuh seseorang untuk membantunya di pertanian, maka mereka titip pesan pada Mrs. Spencer untuk membawakan seorang anak lelaki dari panti asuhan. Pagi itu, ketika Matthew tiba di stasiun, yang ia dapati hanyalah seorang anak perempuan berpakaian lusuh, wajah pucat berbintik-bintik dan rambut merah. Rupanya ada kesalahpahaman dengan Mrs. Spencer! Tapi, si anak perempuan sudah terlanjur kegirangan mengetahui bahwa ada keluarga yang menginginkannya, sehingga ia tak perlu menetap di panti. Maka, diajaknyalah si anak perempuan itu pulang oleh Matthew. Sebagian karena ia tak tega meninggalkannya begitu saja di stasiun, dan sebagian lagi karena karakter unik si anak perempuan.
Bayangkan, sepanjang perjalanan naik kereta itu ia menyerocos terus. Begitu melihat pohon ceri dan birch yang berbunga putih menjulur agak rendah ke jalan, Anne bisa membayangkan cadar halus putih seorang pengantin! Benar-benar imajinasi yang hebat! Dan itulah yang akan anda baca dan rasakan di sepanjang buku ini.
Awalnya, Marilla tak dapat menerima kehadiran Anne. Namun, mau tak mau diakuinya juga bahwa Anne telah sedikit demi sedikit memberi warna dalam kehidupannya yang tadinya membosankan. Maka akhirnya Marilla pun luluh, dan berniat tetap mengadopsi Anne. Anne begitu bahagia dengan keputusan itu, dan ia berusaha keras untuk memuaskan Marilla. Masalahnya, ia terlalu banyak berkhayal. Ketika disuruh melakukan tugas rumah tangga, ia begitu rajin awalnya. Namun, di tengah-tengah pekerjaannya pikirannya akan melantur kemana-mana saat ia memandang ke arah pepohonan, misalnya. Dan akhirnya ada saja tugas yang ia lupakan.
Waktu Anne mulai masuk sekolah, Marilla menjahitkannya gaun-gaun yang amat sederhana (dan membosankan buat anak kecil). Padahal yang diinginkan Anne adalah gaun dengan lengan model menggelembung yang waktu sedang populer.
Lalu Anne menemukan seorang sahabat, yang ia sebut sebagai ‘belahan jiwa’, seorang anak bernama Diana. Rumah Diana terletak di pertanian di seberng Green Gables, tapi jendela kamar tidur Diana bisa dilihat oleh Anne dari kamarnya sendiri. Kedua gadis kecil ini sering mengirimkan isyarat berupa kilatan sinar senter (mirip kode morfe). Kalau salah satu dari mereka melihat signal ini, maka ia akan segera bergegas ke rumah yang lain, karena pasti si pengirim signal memiliki berita penting untuk diberitahukan pada yang lain.
Begitulah, kedatangan Anne ke Avonlea ternyata membawa banyak perubahan pada hidup di sekitarnya. Ia adalah virus keceriaan di sebuah dusun yang membosankan, warna-warna yang hidup pada selembar kain putih yang menjemukan. Anne adalah seseorang dengan emosi yang meluap-luap. Ia bisa menjadi sangat antusias pada suatu rencana yang indah, namun bisa dengan cepat menjadi putus asa saat keinginannya tak tercapai.
Ada seorang anak laki-laki bernama Gilbert Blythe yang cerdas tapi senang mengusili Anne. Anne jengkel sekali padanya ketika Gilbert memanggilnya ‘wortel’. Anne sangat sensitif kalau mengenai warna rambutnya yang semerah wortel. Ia bisa sangat tersinggung, seperti halnya reaksinya terhadap Gilbert. Alhasil, ia memusuhi Gilbert selama sekolah, dan bersaing dengannya dalam hal prestasi, karena ia dan Gilbert sama pintarnya di kelas.
Ketika sekolah hampir berakhir, dalam sebuah adegan ‘penyelamatan’ di sungai, Gilbert meminta maaf pada Anne bahwa ia dulu mengoloknya. Anne merasakan debaran aneh jantungnya, tapi harga diri yang tinggi membuatnya menolak mentah-mentah ajakan Gilbert untuk kembali berteman.
Pada akhir tahun pelajaran, mereka berdua (Anne dan Gilbert) beserta beberapa murid lain mengikuti ujian masuk ke Akademi Queen di kota. Sayangnya orang tua Diana tidak mengijinkan anak mereka untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anne akhirnya menjadi nomor satu dalam ujian itu, dan ia pun bersiap-siap untuk melanjutkan pendidikan di Queen.
Di Queen, Anne belajar dengan tekun dan berusaha untuk melupakan home-sicknya. Ia mendengar bahwa Queen akan memberikan sebuah beasiswa Avery, untuk menempuh pendidikan di sebuah universitas di Inggris. Namun Anne lebih terpacu untuk mengejar medali emas. Dan di penghujung masa belajar di Queen, ketika Anne pulang untuk berlibur di rumah, ia begitu yakin akan masa depan cemerlang yang terbentang di depannya ketika ia ternyata justru memenangkan beasiswa Avery (sedang medali emasnya direbut saingan beratnya, Gilbert). Anne begitu bahagia terutama karena Matthew, yang sudah mulai menua dan sakit-sakitan, malam itu mengungkapkan pada Anne bahwa ia sangat bangga pada pencapaian Anne.
Namun, seperti dalam kehidupan manapun juga, duka itu datang dengan sangat tiba-tiba. Sang malaikat maut menjemput Matthew Cuthbert. Maka kini tinggallah mereka berdua, Marilla dan anak angkatnya, Anne. Apakah yang akan dilakukan Anne? Tetap pergi ke kota untuk meraih cita-cita tertingginya dan meninggalkan Marilla sendirian? Ataukah ia menemani Marilla dan melepas impiannya?
Apapun penutup kisahnya, Anne of Green Gables memang menyediakan keindahan dan kisah yang penuh cinta di setiap kata dan kalimatnya. Bukan sebuah masterpiece seperti To Kill A Mocking Bird atau Harry Potter, namun tetap sebuah bacaan yang akan membuat hati ini gembira demi melihat keindahan dan merasakan cinta!
Judul : Anne of Green Gables
Pengarang : Lucy Montgomery
Penerbit : Qanita, 2008
Harga : Rp 50.150,- (toko buku online)
Mengingat ini adalah buku klasik, gua termasuk telat bacanya, hahaha.. karena baru nyangkut ama buku yang satu ini baru sekian tahun yang lalu, tapii.. sukaa bangets pas pertama baca, sama Anne yang soo dreamyy.. kayanya dari 'kacamata' dia tuh yaa selalu ada hal yang luaarr biasa dari sesuatu yang sebenernya biasa2 ajaa :))
ReplyDelete