Friday, April 29, 2011

Oliver Twist


Label “bocah malang” mungkin paling pas disematkan pada tokoh anak yatim piatu di Inggris yang hidup pada abad 19 rekaan Charles Dickens ini: Oliver Twist. Bagaimana tidak, begitu lahir dari hubungan orang tua yang tidak jelas (baca: di luar nikah), ia langsung menjadi yatim piatu. Ayahnya sudah lama pergi entah kemana, sedang ibunya yang ringkih meninggal tak lama setelah ia lahir. Nasib anak yatim piatu yang tak memiliki akar sejarah yang jelas amatlah menyedihkan pada jaman itu. Mereka berada di bawah pengawasan semacam Dinas Sosial yang dikelola oleh pemerintah, dan ditempatkan di Rumah Sosial yang dikelola warga dan ditunjang oleh pemerintah. Jangan berpikir bahwa mereka bisa hidup enak di sana. Kebanyakan rumah sosial itu justru tidak sosial sama sekali, mereka malah mengambil keuntungan dengan menyunat anggaran untuk makanan dan kebutuhan anak-anak itu dari anggaran sebenarnya yang sudah sangat kecil dari pemerintah. Alhasil, anak-anak itu menderita kurang gizi parah, belum lagi perlakuan tidak manusiawi seperti tempat tidur kumuh dan sempit, bekerja berat dan siksaan fisik menjadikan hidup anak-anak yatim itu semakin suram.

Di lingkungan seperti itulah Oliver Twist kecil tumbuh selama delapan tahun. Saking parahnya keadaan itu, Dickens menggambarkan rakusnya Oliver saat diberi makanan basi atau makanan anjing, karena makanan yang didapat di rumah sosial lebih parah lagi! Dickens mampu menggambarkan situasi suram itu dengan demikian hidup karena situasi itu memang nyata terjadi di London saat ia menulis kisah ini, dan konon Dickens sendiripun pernah menjadi pekerja anak-anak di masa kecilnya.

Oliver Twist sendiri nampaknya akan menghabiskan seumur hidupnya sebagai anak yatim piatu malang, kalau saja suatu hari ia tidak memberanikan diri memohon untuk mendapatkan tambahan makanan kepada staf rumah sosial. Tak dinyana, keberaniannya itu berbuah petaka bagi Oliver. Ia disebut sebagai berandalan cilik, dilaporkan kepada Dewan, yang akhirnya dalam sebuah sidang memutuskan Oliver harus “dibuang” dari pengasuhan mereka kepada siapapun yang mampu dan mau membelinya seharga lima pound. Bayangkan, minta tambah makanan (dari porsi yang memang tidak manusiawi) dengan memelas ternyata dianggap sebagai kejahatan besar! Betapa tak adil dan tak manusiawinya perlakuan mereka….

Akhirnya seorang pengusaha rumah kematian bernama Tuan Sowerberry mengambil dan mempekerjakan Oliver. Oliver pun diantar oleh Tuan Bumble, seorang pejabat Sekretaris Desa yang sok kuasa dan mata duitan. Awalnya semua berjalan lancar, bahkan Oliver sempat menjadi andalan bisnis Tuan Sowerberry. Hingga suatu hari ‘anak buah’ Tuan Sowerberry lainnya yang bernama Noah Claypole memancing gara-gara karena iri pada kemajuan karir si anak baru Oliver. Ia menghina ibu Oliver yang memang dicap ‘penjahat’ oleh masyarakat. Akibatnya, Oliver yang kecil dan lemah itu marah besar dan mampu menyerang dan memukuli Noah yang bertubuh lebih besar. Anda pasti dapat menduga kelanjutannya…lagi-lagi Oliver dicap sebagai berandalan dan penjahat cilik. Tak tahan menanggung semuanya, Oliver pun melarikan diri dari kediaman Sowerberry. Berkelana tanpa tujuan jelas, kelaparan dan tak memiliki tempat berteduh, dalam perjalanan Oliver sempat mengunjungi Dick, sahabatnya di rumah sosial dulu. Nasib Dick tak kalah menyedihkannya dibanding Oliver, namun alih-alih menangisi nasib sendiri, Dick justru menyemangati Oliver untuk melanjutkan hidupnya. “Tuhan memberkatimu” adalah kata-kata Dick yang menghidupkan harapan di hati Oliver.

Oliver melanjutkan perjalanan hingga tibalah ia di dekat batu penanda jalan (milestone) yang menunjukkan jarak 70 mil menuju London (yang menjadi gambar cover buku ini). Di titik ini Oliver memutuskan bahwa ia akan mengadu nasib di kota London. Tiba di London, Oliver yang kecapekan dan kelaparan tak disangka-sangka mendapat uluran tangan dari seorang pemuda yang baru dikenalnya. Sekali lagi…nasib baik belum berpihak pada Oliver. Karena pemuda yang menolongnya itu justru adalah penjahat dan pencopet bernama Artful Dodger yang dididik oleh Tuan Fagin, si raja pencuri!

Untuk sementara Oliver memiliki tempat berteduh dan makanan yang cukup untuknya melanjutkan hidup. Tapi, semua itu tak ia dapat secara cuma-cuma. Tuan Fagin menampungnya untuk dididik menjadi seorang pencopet cilik, menemani Dodger dan Charley Bates yang sudah duluan menekuni “bisnis” mendapatkan barang secara ilegal dengan mencopet dan mencuri. Awalnya Oliver yang polos tak menyadari kenyataan ini. Matanya baru terbuka saat ia diperbolehkan ikut “bekerja” bersama Dodger dan Bates. Oliver menyaksikan dengan ngeri bagaimana kedua rekan mudanya mencopet saputangan milik seorang pria terhormat yang sedang asyik membaca buku di sebuah lapak buku. Secara naluriah, Oliver langsung lari ketakutan dari tempat kejadian, terpisah dari kedua rekannya. Si tuan korban pencurian langsung mengejarnya karena mengira ia pencopetnya, dan segera diikuti oleh massa yang sengaja digerakkan Dodger dan Bates untuk menjauhkan mereka sendiri dari kecurigaan. Seperti biasa, yang paling lantang berteriak ‘maling’ pastilah si maling sendiri!

Dan sekali lagi nasib buruk menghampiri Oliver. Ketakutan, babak belur dipukuli massa, iapun dituduh melakukan kejahatan tanpa kesempatan membela diri dan dijebloskan ke penjara. Beruntunglah, pria terhormat korban pencopetan yang bernama Tuan Brownlow benar-benar layak menyandang gelar ‘terhormat’. Ia merasa Oliver tak bersalah, dan berkat kesaksian pemilik lapak buku tempat Tuan Brownlow kecopetan, yang menyaksikan sendiri kejadian itu, akhirnya Oliver dibebaskan dari penjara. Kini Oliver boleh bernapas lega. Ia dirawat dengan baik dan penuh kasih sayang oleh Tuan Brownlow dan pengasuh tua bernama Nyonya Bedwin. Di sini pula Oliver pertama kali mendapatkan siraman kasih yang seumur hidupnya yang kelam tak pernah ia rasakan.

Sayang, kebahagiaan itu hanya berumur jagung, karena Tuan Fagin dan gerombolannya tak kenal lelah berusaha mencari dan menemukan Oliver. Di sini mulai bermunculanlah satu per satu anggota komplotan Tuan Fagin. Mulai dari Nancy, gadis muda yang menaruh kasihan pada Oliver, Bill Sikes perampok kejam yang jadi kekasihnya, lalu ada juga seorang pria misterius bernama Monks yang tampaknya sangat membenci Oliver dan ingin menghancurkannya. Saat Oliver menunaikan amanat Tuan Brownlow untuk mengembalikan buku ke lapak buku, Oliver pun diculik oleh gerombolan Fagin dan sekali lagi ia harus mendekam di tempat kumuh yang kian tampak suram karena aura kejahatan yang meracuni udaranya. Sekali lagi Oliver dididik untuk menjadi penjahat, dan suatu hari dipinjamkan pada Bill Sikes yang ingin merampok sebuah rumah. Lalu bagaimana reaksi Oliver? Apakah pendidikan Tuan Fagin akan menampakkan hasilnya dan menjadikan Oliver sejahat yang lain? Atau berhasilkah ia tetap mempertahankan kesucian moralnya? Kalaupun yang terakhir yang terjadi, bagaimana ia dapat mengelak dari takdir gelap yang seolah mengejarnya kemanapun ia pergi? Lalu siapakah Oliver Twist sebenarnya? Sejarah kelam seperti apakah yang membuat nasibnya malang?

Ini adalah salah satu buku yang sayang untuk dilewatkan. Selain membawa kita menyaksikan potret buram kehidupan di kota besar abad 19, Dickens juga mau mengusik kemanusiaan kita. Bahkan di abad modern ini, masih banyak orang yang menancapkan stigma negatif pada orang-orang yang berbeda atau tidak sejalan dengan kebanyakan orang di masyarakat. Prasangka dengan mudahnya diletakkan ke atas seseorang tanpa terlebih dahulu menelusuri kebenarannya. Kita layak belajar dari Tuan Brownlow yang tidak serta merta setuju dengan pendapat Tuan Grimwig kawannya, yang yakin bahwa Oliver Twist pasti melarikan diri dengan uang dan buku yang dipercayakan kepadanya, serta takkan kembali dari lapak buku. Sebaliknya, ketika Oliver Twist memang tak kembali (meski tentu saja bukan karena hendak lari melainkan karena diculik), Tuan Brownlow berinisiatif melacak sejarah Oliver Twist.

Di bab-bab awal peran Oliver memang cukup mencolok dalam kisah ini. Namun di bagian-bagian selanjutnya, justru tokoh-tokoh lainlah yang menurutku lebih menonjol. Mungkin memang Dickens ingin mengupas tuntas tentang kejahatan dan kemunafikan yang ada di masyarakat saat itu. Tapi tetap saja itu membuatku kurang puas. Selain itu, aku merasa karakter Oliver Twist kurang menarik. Ia anak yang baik, sopan, ramah, penuh kasih, namun juga lemah lembut. Kubayangkan anak yang tumbuh sendirian di lingkungan yang keras akan menjadi anak yang keras juga, tangguh dan keras kepala. Menangis mungkin sudah tak masuk dalam kamusnya karena derita dan sakit hati pasti sudah biasa ia rasakan. Tapi Oliver ternyata gampang sekali tersentuh hatinya, dan tubuhnya sendiri lemah. Mungkin itu karena ekspektasiku sendiri sebelum membaca buku ini ya, atau memang Dickens memang ingin membuat perbandingan yang sangat mencolok antara sisi jahat dan sisi baik manusia, sehingga yang jahat dibuat sangat jahat dan yang baik menjadi sangat baik sehingga kurang manusiawi. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah karya sastra, dan kita memang harusnya menikmatinya apa adanya kan?

Terakhir terima kasih pada Bentang Pustaka yang telah memilih novel yang telah lama kunantu-nantikan ini untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Hanya sayang masih ada beberapa typo dan kesalahan penerjemahan. Salah satunya dalam kalimat ini: "Angin menggigit yang berkelebat di jalanan tampaknya telah mengosongkannya dari para penumpang....". Ada yang aneh dengan kata 'penumpang' disini yang tidak pas maksudnya. Mungkinkah ada kesalahan penerjemahan 'passager' (=pejalan kaki), keliru diterjemahkan sebagai 'passenger' (=penumpang)? Atau akukah yang kurang menangkap dengan baik?... Untunglah keanehan tadi tak mengurangi kenikmatan membaca cara bertutur Charles Dickens yang disampaikan dalam kalimat-kalimat panjang yang sarat arti!

Judul: Oliver Twist
Penulis: Charles Dickens
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Maret 2011
Tebal: 578 hlm

Monday, April 25, 2011

The Yearling

Yearling, menurut Wikipedia adalah hewan atau kuda muda yang baru meninggalkan masa kecil menuju masa dewasa. Masa muda, ingatkah anda akan masa-masa yang pernah atau sedang anda lewati itu? Masa-masa yang indah sekaligus membingungkan, karena pada masa-masa itu kita merasa seperti berada di puncak dunia. Lalu, baru saja kita merasa demikian, kitapun lalu dihempaskan pada kenyataan yang sesungguhnya. Hidup ternyata memang indah, namun tak pernah mudah. Kalau pengertian itu sudah kita dapatkan, berarti kita telah memasuki kedewasaan. Itulah yang ingin diungkapkan Marjorie Kinnan Rowlings dalam bukunya yang sangat indah ini: The Yearling.

Jody Baxter adalah seorang bocah lelaki yang sedang menanjaki usia remaja. Ia hidup di pertanian bersama Penny Baxter, ayahnya yang kurus ceking dan Ma Baxter yang gemuk. Keluarga Baxter hidup di pondok di dataran tinggi yang dikenal sebagai Pulau Baxter, yang sama sekali bukan pulau, melainkan lahan pertanian yang luas. Hidup bagi Jody sedang di puncak keindahan. Sebagai putra seorang penggarap ladang, ia mulai diajari bekerja meladang dan beternak. Namun karena usianya yang masih muda, tak berat tanggung jawab yang ia pikul sehingga ia pun merasa bebas untuk bermain dan bermanja di sela-sela pelajaran bertani dan berburu yang diberikan oleh Pa-nya, Penny Baxter.

Penny Baxter sendiri adalah sosok lelaki kurus kecil dengan mental sebesar beruang dan memiliki karakter kuat serta memegang teguh prinsipnya. Penny mengingatkanku pada papaku sendiri. Ia juga kurus meski lumayan tinggi. Namun, sama seperti Penny, Papa juga orang yang sangat kuat memegang prinsipnya akan kebenaran, kejujuran dan keadilan, sehingga kehidupan justru sering mengecewakannya. Di mata orang lain, terutama tetangga mereka: keluarga Forrester, bahkan juga di mata istrinya, Penny adalah pria yang (terlalu) lemah lembut dan tak berguna. Penny memiliki prinsip ia takkan membunuh hewan bila tak amat sangat membutuhkan atau bila hewan itu tak mengganggu keluarganya. Meski tahu bahwa daging atau kulit beruang mahal harganya bila dijual dan kesempatan untuk menembak sekawanan beruang terbuka lebar, ia hanya akan menembak secukupnya untuk makanan keluarganya untuk waktu tertentu. Penny percaya bahwa alam memiliki keseimbangannya sendiri, bahwa lebih baik membiarkan rusa tetap hidup, dan bahwa kalau ia harus mati, biarlah ia menjadi santapan hewan besar lainnya. Keluarga Baxter hanya mengambil apa yang mereka butuhkan untuk menyambung hidup, agar dengan demikian terjadi keseimbangan alam yang akhirnya juga akan mereka nikmati secara timbal balik.

Karakter Penny inilah yang teramat sangat dikagumi Jody, anak tunggal keluarga Baxter. Hal itu pula yang menyebabkan Jody sangat cocok dan dekat dengan ayahnya, tapi tak mampu memahami ibunya yang setelah berkali-kali kehilangan bayi, berubah menjadi manusia getir dan sinis. Jody pun makin sering berbagi waktu bersama ayahnya dalam perburuan beruang atau rusa yang mengasyikkan, juga berbagi ketertarikan pada alam dan hewan. Ayahnya juga yang mampu memahami rasa kesepian dalam diri Jody, kebutuhannya untuk memiliki seorang teman, yang akhirnya terkompensasi pada kehadiran seekor anak rusa yang bulunya berbintik cantik. Meski Ma Baxter tak menyetujui keinginan Jody memelihara anak rusa itu, namun ayahnya membela Jody. Maka kini bertambahlah satu anggota termuda keluarga Baxter: si anak rusa yang kemudian diberi nama Flag (karena ekornya yang selalu mengibas-ngibas seperti bendera kecil...).

Jody sangat menyayangi Flag. Ia yang selalu kelaparan dan bernafsu makan besar, malah bersedia mengorbankan susu jatahnya dan sebagian makan malamnya untuk diberikan kepada Flag, karena ibunya keberatan kalau harus memberi makan satu mulut lagi. Semakin besar Flag, semakin tak terpisahkanlah kedua anak muda itu: Jody dan Flag.

Sampai di sini anda mungkin heran. Bagaimana cerita yang terlihat amat sederhana itu bisa menjadi rangkaian kisah sepanjang 501 halaman? Ah...kekuatan utama buku ini memang bukan pada inti ceritanya, namun justru pada detailnya. Membaca The Yearling ini membuat kita merasa seakan pindah ke dunia lain, di abad yang lalu. Begitu anda membuka halaman pertama, anda akan langsung merasa tersihir oleh rangkaian kata-kata yang disemat menjadi untaian kalimat-kalimat indah yang mampu menggambarkan keindahan alam dan suasananya yang mempesona. Yang paling memukauku adalah adegan bangau menari yang secara tak sengaja disaksikan Penny dan Jody di suatu senja ketika pulang memancing. Penggambaran bias merah jambu matahari yang sedang tenggelam dan susana yang kurasakan hampir-hampir magis ketika para bangau memainkan bunyi-bunyian musik dan menari dalam sebuah lingkaran, ahh...seolah begitu nyata dan seakan aku dapat mendengar musik itu sendiri dan menyaksikan pertunjukan itu secara langsung.

Kalaupun ada alur yang agak dinamis dan menegangkan di buku ini, itu terjadi pada setiap perburuan. Perburuan ala Penny bukan perburuan liar yang hanya asal menghabisi saja. Penny memiliki insting yang sangat bagus dan pengetahuan tentang karakter hewan. Meski ia sendirian, ia dapat berhasil mendapatkan buruan karena insting dan kecerdikannya itu, dan dibantu juga oleh anjing pemburunya yang setia: Julia dan Rip. Hanya Slewfoot Tua, seekor beruang pincang yang amat cerdas yang nyaris mengalahkan Penny dan mungkin satu-satunya yang pernah membuat Penny begitu marah hingga hampir tak mampu berpikir jernih. Anda akan tak habis pikir, bagaimana si ceking Penny bisa memiliki keberanian begitu besar. Saat keluarga Forrester yang bermoral rendah dan sering bikin onar mengeroyok seorang pemuda, Penny pun berani melindungi si pemuda. Ia memang menjadi babak belur dan nampak konyol di depan istrinya, namun sesungguhnya sikapnya itu sungguh mulia: menolong siapapun yang diperlakukan dengan tak adil.

Sementara itu, dalam perjalanannya menjadi pria dewasa, Jody telah menyaksikan dan belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana masa lalu dapat mengubah seseorang, bagaimana seorang wanita dapat membuat dua orang pria rela bertarung hidup dan mati, bagaimana alam memberi seorang anak kemampuan intuisi yang tajam, namun di sisi lain mengambil daripadanya tubuh yang sehat dan menggantikannya dengan kecacatan. Namun mungkin pelajaran yang paling berharga yang ia dapat dari ayahnya, selain berburu dan bertani, adalah pelajaran tentang menjadi dewasa dan menghadapi kenyataan hidup, seperti yang diungkapkan oleh Penny:


"Semua orang ingin agar hidupnya indah dan mudah. Hidup memang indah, Nak, sangat indah, namun tidak mudah. Hidup akan menjatuhkan seseorang dan begitu orang itu bangkit, dia akan dijatuhkan lagi."

"Aku ingin agar hidupmu mudah. Lebih mudah daripada yang kualami. Hati seorang ayah sakit saat melihat anak-anaknya menghadapi dunia. Tahu bahwa mereka akan terluka, sama sepertinya... Lalu apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia lakukan ketika jatuh? Tentu saja ia harus menerima hal itu dan melanjutkan hidup."

Nasihat yang sungguh indah dan mengena, yang lagi-lagi mengingatkanku pada surat Papa untukku saat aku berulang tahun ke 17. Hal yang sama seperti yang diajarkan Penny pada Jody. Bahwa hidup tak selalu mudah, meski toh di sana-sini kita akan boleh melihat beberapa keindahan. Ada saat-saat Penny dan Jody terluka atau kesakitan saat menghadapi hewan buruan, namun ada saatnya juga mereka menikmati pertunjukan bangau menari atau anak beruang main ayunan saat berburu. Sama halnya dengan hidup kita. Namun pada akhirnya, kita semua toh harus tetap menerima semuanya, dan melanjutkan hidup...

Akhirnya terima kasih pada Gramedia yang telah menghadirkan sebuah kisah klasik yang memukau( menjadi pemenang Pulitzer Price tahun 1939), dengan penerjemahan yang indah ini di ranah perbukuan kita. Kita telah boleh mereguk keindahannya, sekaligus memetik pelajaran berharga dari buku ini.

Judul: The Yearling
Pengarang: Marjorie Kinnan Rowling
Alih bahasa: Rosemary Kesauly
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Maret 2011
Tebal: 501 hlm

Monday, April 4, 2011

Of Mice And Men


Yang paling menarik dari buku ini adalah kalimat-kalimat pendek yang berhasil dirajut dengan indah oleh John Steinbeck menjadi sebuah kisah yang indah pula. Ini sebuah bukti bahwa untuk bertutur dengan indah, kita tak selalu butuh kalimat panjang yang penuh metafora. Inti kisahnya juga sederhana dan alurnya pun mengalir dengan nyaman.

Of Mice and Men bertutur tentang sepasang pengelana yang, meski amat berbeda satu sama lain, namun tetap memiliki saling keterikatan satu sama lain. George adalah pria bertubuh kecil yang cerdas namun nasib tak berpihak padanya untuk meraih sukses. Salah satu kendalanya adalah Lennie. Lennie, seorang pria dungu bertubuh besar, sangat memuja George. Ia selalu menuruti perkataan George dan begitu takut mengecewakan George. George sebenarnya merasa terbeban dengan keberadaan Lennie yang seolah mengikatnya, namun ia tetap menjaga dan melindungi Lennie.

Kedua pria ini tak dapat memiliki pekerjaan yang tahan lama karena Lennie yang dungu selalu mengacaukannya. Bukan dengan sengaja tentu saja, tenaganya menjadi sangat kuat ketika ia ketakutan, dan ia tak mampu mengendalikannya sehingga akhirnya membahayakan orang lain, dan juga masa depannya dan George. Sebenarnya George memiliki impian memiliki rumah sendiri di atas tanah sendiri dan hidup mandiri berdua Lennie. Ketika bertemu Candy, lelaki tua cacat di peternakan tenpat kerja baru mereka, tampaknya impian itu akan dapat terwujud. Candy yang galau akan masa depannya, ingin bergabung dengan mereka, patungan membeli tanah. Namun sebelum semuanya itu terwujud, banyak hal akan terjadi dan kemungkinan Lennie membawa kekacauan sangatlah besar. Dapatkah George menolongnya kali ini?

Kisah ini mengingatkan aku bahwa cinta itu butuh pengorbanan. Makin besar cinta kita, makin besar pula pengorbanan yang dituntut dari kita. Berjuang demi kesuksesan dan kebahagiaan orang yang kita cintai mungkin biasa, karena kelak kita akan mengalami kegembiraan bersamanya. Namun bagaimana dengan orang yang selalu membawa kesulitan dalam hidupnya? Mencintainya berarti bak terborgol tangan kita bersamanya sehingga ketika ia jatuh, kita tahu bahwa kita pun akan ikut jatuh. Dibutuhkan cinta yang sangat besar untuk tetap mencintai orang seperti itu. Ketika kita dapat dengan bebas memilih, dan kita meninggalkan impian kenikmatan demi cinta itu, itulah cinta sejati. Sulit? Sangat!

Buku ini sangat enak dinikmati, namun aku tidak setuju dengan ironi yang ditawarkan Steinbeck sebagai endingnya yang menurutku terlalu dangkal. Menurutku, kisah klasik ini akan dapat lebih menyentuh pembaca jika Steinbeck mau mengeksplorasi kedalaman cinta. Seringkali pemecahan masalah sesaat bukanlah jawaban segala prahara hidup ini. Masalah tak selalu dapat dipecahkan, namun cinta akan mampu membawa kita melewatinya dengan baik. Bukankah itu juga yang diteladankan Tuhan pada kita?

Jadi maaf saja John, aku hanya bisa memberikan tiga bintang saja pada karya klasik yang telah kautulis dengan begitu indah ini.. Bagi yang sudah membaca, silakan menanggapi penilaianku ini asal jangan sampai memunculkan spoiler bagi yang belum membaca ya...

Judul: Of Mice And Men
Pengarang: John Steinbeck
Penerbit: Ufuk
Cetakan: Desember 2009
Tebal: 238 hlm