Showing posts with label Sir Arthur Conan Doyle. Show all posts
Showing posts with label Sir Arthur Conan Doyle. Show all posts

Friday, June 6, 2014

The Hound of the Baskervilles

I didn't read the whole book, only
The Hound of the Baskervilles
The Hound of the Baskervilles might be the last Holmes novella I’ll ever read, and it’s actually the one I have been most curious about. My first interest in Holmes was A Study in Scarlet, as it combines historical facts with detective story. This one is more exciting because it combines gothic-thriller with detective investigation. I was actually interested in it because of the dark theme, more than the detective aspects. And it turned to be quite enjoyable to the end.

There is a trace of malignity in the Baskervilles family; especially Hugo Baskerville. There was a legend of a hellhound which was started around 17 century, when Hugo sold his soul to the devil in order to capture a farmer’s daughter he wanted to marry. He was later found dead in the moor surrounding the Baskervilles Hall, with a huge black hound tore out his throat. The legend became the hound of the Baskervilles, and it was believed to be a curse to all Baskerville descendents.

Sir Charles Baskervilles was found dead of heart attack outside the Baskerville Hall; a huge animal’s footprints were found near the body. Fearing for the family curse, Dr. Mortimer, a family’s friend, consulted Sherlock Holmes about the arrival of the new Baronet: Sir Henry Baskerville, who would move in to the Baskerville Hall. Holmes took the case very excitingly, because he didn’t believe much in superstition and legends. So along the fifteen chapters of this novella, Doyle brought us to the thrill terror and exciting actions surrounding the gloom moor, to reveal the murderer, and to prevent the next one. I was mostly curious about the hellhound; did it really exist, or was it just a disguised attempt of the villain to murder the Baskervilles?

When I said (in paragraph one) that this would be my last Holmes to read, it is because normally I don’t like Doyle’s Holmes. I think it’s too theoretically, and mostly involves brain and intelligence, rather than empathy. But The Hound of Baskervilles has caught my interest because of its grim theme, and so I decided to read it after all. In the end I quite enjoyed it; the grim mystery and the thrilling action were entertaining. But when it came to the investigation, I wasn’t impressed. And I disliked the writing style, making it as Watson’s journal, and thus reducing the sense of being present inside the scene. Watson’s explanation of the mystery also becomes anticlimax; it feels more like reading a newspaper, rather than a mystery/detective story.

For all that…. Three stars for The Hound of the Baskervilles.

~~~~~~~~~

I read from The Complete Sherlock Holmes hardback edition

This book is counted as:



Tuesday, May 22, 2012

The Adventures Of Sherlock Holmes


[conclusion in English is in the bottom of this post] Buku ini berisi kumpulan cerita pendek kasus-kasus kecil yang ditangani Sherlock Holmes, yang dicatat dan dituliskan oleh rekannya, Dr. Watson. Ke 12 kisah ini dipilih Watson karena keunikannya, dan sebagian besar merupakan kasus yang nampaknya rumit, padahal pemecahannya sedeana saja. Kasus-kasusnya bervariasi, dari saat Watson masih berbagi apartemen dengan Holmes di Baker Street hingga saat Watson sudah menikah dan menempati rumah sendiri namun masih sering menemani Holmes dalam penyelidikannya.

Yang paling menarik mungkin adalah kasus pertama, A Scandal in Bohemia. Klien Holmes adalah seorang Pangeran penerus tahta kerajaan Bohemia yang pernah menjalin hubungan asmara dengan artis opera cantik bernama Irene Adler. Sekarang ia ingin mendapatkan kembali foto mereka berdua yang kini disembunyikan Irene, yang dikhawatirkan akan menjadi skandal bila terungkap. Kasus ini menjadi sangat menarik karena di sini Holmes berhadapan dengan musuh yang seimbang, yakni Irene Adler. Irene bukan hanya cantik namun juga cerdik, dan menurut Watson hanya Irene-lah wanita yang pernah memberikan pengaruh dalam hidup Holmes, meski mungkin bukan dalam hal romansa namun lebih kepada kecerdikannya yang dikagumi Holmes. Selanjutnya Holmes beberapa kali menyinggung tentang Irene dengan menyebutnya sebagai 'wanita itu'.

Sedangkan kasus yang akan membuat anda paling jantungan mungkin adalah The Adventure of The Specled Band, yang mengisahkan sebuah keluarga dengan ayah dan dua anak perempuan tirinya. Si ayah pernah berkelana ke Asia, dan kini hidup terisolir. Saat anak gadis sulungnya akan menikah, terjadi sebuah tragedi. Si gadis meninggal padahal tak mungkin ada orang lain masuk ke kamarnya. Yang lebih aneh lagi adalah dua kata yang diteriakkannya sebelum menghembuskan napas yang terakhir: speckled band! Apa maksudnya? Sebuah teka-teki yang membutuhkan keahlian analisis dan deduksi setaraf seorang Sherlock Holmes untuk memecahkannya. Yang jelas ketegangan pada detik-detik menunggu 'speckled band' itu benar-benar memacu adrenalin!

Selain itu ada kasus yang melibatkan pembalasan dendam Ku Klux Klan yang lumayan mengerikan. Kasus ini menonjol karena Holmes harus berpacu dengan waktu untuk menghindarkan kematian calon korban berikutnya. Kengerian tiap kali kita mendengar atau membaca tentang sepak terjang KKK ini lumayan terasa di sini.

Meski keahlian Holmes sangat mengagumkan, namun kurasa Conan Doyle kurang menunjukkan sisi manusiawi Holmes di buku ini. Seperti yang ditulis Watson tentang Holmes, yang ia ibaratkan sebagai sebuah mesin,

“He was, I take it, the most perfect reasoning and observing machine that the world has seen, but as a lover he would have placed himself in a false position.”

Conclusion:

Being the only short stories collection of Sir Arthur Conan Doyle which was included in 1001 Books You Must Read Before You Die, of course The Adventures of Sherlock Holmes has been quite intriguing for me.

Overall, The Adventures of Sherlock Holmes is varied from boring cases, to an exotic case (A Scandal in Bohemia), and suspenseful ones. I can get to know better about Holmes (by personal character and by his methods) from this book, however I still feel the lack of emotional tight in it. Perhaps it’s because this book is a collection of short stories, or perhaps Conan Doyle has written (through Watson) the stories in a formal and descriptive style, that it feels like I'm reading a report, instead of stories.

After reading this book, I can’t but compare Holmes with the works of Agatha Christie. Christie was more focus on characters who are involved in the cases. It is how the conflicts were built, as if we were involved emotionally inside the scene. Then from there, the detectives build their analysis. In Doyle’s works, he often uses narratives (most of them were narrated by Watson, although there are several which were narrated by Holmes himself, and the rest by third persons). I guess that's what makes Holmes stories seems dry and emotionless, despite the greatness of the deduction made ​​by the master of reasoner and 'father' of the next generations of detective stories, Sherlock Holmes. Good, but emotionless.

Three pipes for The Adventures of Sherlock Holmes, are the special gift I’d like to give to Sir Arthur Conan Doyle for his 153rd  birthday which is today, May 22nd, 2012. Happy birthday Sir, we are thanking you for bringing such a famous detective and great cases to our literary world for over a century!

Title: The Adventures of Sherlock Holmes
Author: Sir Arthur Conan Doyle
Fomat: e-book
Publisher: Project Gutenberg

Thursday, December 8, 2011

A Study In Scarlet

Selamat datang di 221B Baker Street, London! Dari sebuah apartemen berkamar dua inilah, genre fiksi detektif modern pertama kali lahir. “Ayah”nya adalah Sir Arthur Conan Doyle, yang menciptakan tokoh detektif yang sangat cakap dalam hal deduksi: Sherlock Holmes. Lewat 4 novel panjang dan 56 cerita pendek, Sherlock Holmes menciptakan tren baru bagi kisah fiksi detektif, dan menginspirasi banyak penulis genre ini setelah era Doyle.

A Study In Scarlet merupakan novel pertama dari 4 novel panjang tentang Holmes. Di kisah inilah Holmes dan Dr. Watson pertama kali dipertemukan. Watson adalah seorang dokter veteran perang yang sedang mencari tempat tinggal murah di London. Oleh mantan koleganya, ia dipertemukan dengan seorang ahli kimia misterius bernama Sherlock Holmes. Awalnya Watson terheran-heran bagaimana Holmes dapat menebak secara tepat latar belakang seseorang hanya dalam hitungan detik; termasuk mengenali Watson sebagai dokter yang baru pulang dari perang Afganistan—yang mana tepat sekali dengan kenyataannya. Hingga akhirnya, misteri bidang pekerjaan Holmes terungkap ketika terjadi sebuah pembunuhan di rumah kosong di Brixton.

Sebagai konsultan kasus kriminal, Holmes dimintai oleh dua detektif terkemuka Scotland Yard untuk memecahkan misteri pembunuhan yang aneh itu. Korbannya seorang pengusaha bernama Drebber, tak ada luka di tubuhnya, namun ada darah terpercik di TKP. Juga ada tulisan “Rache” tertulis dengan darah di dinding. Penting untuk dicatat, konon di kisah inilah pertama kalinya kaca pembesar digunakan sebagai salah satu alat penyidikan oleh seorang detektif.

Holmes mempelajari tulisan darah “Rache” di dinding, melalu kaca pembesar

Hanya dengan sekali pengamatan, Holmes mampu membuat kolega-koleganya (termasuk Watson yang ikut mendampingi Holmes) ternganga karena dapat langsung menyebutkan ciri-ciri pembunuhnya! Bagaimana Holmes dapat mengidentifikasi pembunuhnya? Dan siapa sang pembunuh tersebut? Apa motifnya?

Nah, di sinilah letak perbedaan kisah ini dengan novel detektif yang biasa kubaca. Aku adalah pecinta novel-novel detektif karya Agatha Christie, jadi mau tak mau aku langsung membandingkan Holmes dengan Poirot. Terbiasa dengan kronologi penyidikan hingga ditutup dengan kesimpulan pada akhir kisah, aku terperangah juga ketika Holmes berhasil menangkap pembunuhnya hanya ketika kisah ini sampai di pertengahan. Hanya saja, siapa-mengapa-bagaimana-nya tetap tersimpan rapi sebagai misteri di penghujung bagian pertama buku ini.

Pada bagian kedua kisah ini kita tiba-tiba diajak menjelajah ke daerah Utah--Amerika Utara, yang gersang, pada tahun 1847. Seorang pria bersama seorang anak perempuan tengah tersesat di dataran yang luas selama berhari-hari, tanpa makanan, tanpa air, siap menghadapai ajal. Tiba-tiba lewatlah serombongan besar orang yang akhirnya menyelamatkan mereka. Rombongan itu ternyata adalah rombongan kaum Mormon (sekte pecahan dari Gereja Kristen) yang dipimpin oleh Birgham Young.

Bila kita menilik sejarah, Birgham Young adalah pendiri kota Salt Lake City—ibukota Negara bagian Utah. Awalnya kota itu didirikan untuk populasi kaum penganut Mormonisme, namun saat ini penganut Mormon hanyalah separuh populasi Salt Lake City.

Brigham Young, tokoh pelopor penganut Mormon

Kembali pada tokoh kita, pria bernama John Ferrier dan anak perempuan yang kemudian diangkatnya sebagai anak, Lucy Ferrier. Dari kisah keduanya inilah, anda akan mendapati benang merah yang menghubungkan kisah bagian kedua ini dengan pembunuhan di bagian pertama tadi. Maka, tak salah bila Holmes kemudian menamai kasus ini sebagai “penelusuran benang merah” atau A Study in Scarlet.

Sebenarnya daya tarik utama kisah ini—bagiku—adalah kisah di bagian kedua, dan bagaimana ia dibuat memiliki benang merah dengan bagian pertama. Mengenai metode penyidikan Holmes dan karakter sang detektif sendiri, aku tetap lebih menyukai Hercule Poirot, “anak” Agatha Christie. Penangkapan si pembunuh pada pertengahan kisah rasanya menjadi anti klimaks. Dan karena porsi Holmes hanya setengah lebih sedikit, maka karakternya kurang tergali di sini. Entah di ke 3 novel yang lain.

Empat bintang aku sematkan untuk kasus Holmes ini!

Judul: A Study In Scarlet
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: B. Sendra Tanuwidjaja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2007
Tebal: 216 hlm