Inggris banget! Itulah kesanku selama membaca buku ini. Dan memang The Prince and The Pauper ditulis oleh Mark Twain berlatar belakangkan peristiwa yang terjadi dalam sejarah Inggris di akhir abad 16, ketika Raja Henry VIII memerintah. Dalam masa ini hiduplah keluarga Canty dalam gelimang kemiskinan. Tinggak di gubuk nan reyot dan kotor, pekerjaan mereka adalah mengemis dan mencuri. Terlepas dari moral ayahnya yang buruk, Tom kecil tumbuh sebagai remaja yang terpelajar berkat didikan seorang pendeta. Banyak buku yang berkisah tentang kerajaan dan kehidupan bangsawan yang dilahap Tom. Dan semua kisah itu menjelma menjadi mimpi-mimpi indah yang menemani tidurnya di malam hari, menjadikannya penawar sengsara setelah seharian dipaksa mengemis, lalu disiksa dan dibentak-bentak oleh ayah dan neneknya kalau ia tak membawa hasil memuaskan dari mengemis. Dan akhirnya bukan hanya mimpi, kerajaan dan kebangsawanan pun menjadi obsesi Tom. Ia mulai berbicara layaknya bangsawan, dan bermain sebagai raja bersama saudara-saudaranya. Hingga suatu hari ia tiba-tiba ingin melihat seorang Pangeran sungguhan di istana kerajaan sungguhan.
Harapannya terwujud, karena tepat saat itu Pangeran Wales yang bernama Edward, putra Raja Henry VIII tengah berada di luar istana. Sang Pangeran melihat Tom tepat ketika para penjaga pintu gerbang memukuli anak gelandangan berpakaian lusuh itu. Pangeran menghentikan penyiksaan itu sambil memarahi si penjaga, lalu segera mengundang Tom ke istananya. Layaknya dua remaja lelaki seusia, mereka dengan cepat menjadi akrab. Tom terpesona pada istana dan semua di dalamnya, yang hingga saat itu hanya ia lihat melalui buku. Sedang Edward, yang sejak kecil terkungkung di istana, terpesona mendengar cerita Tom tentang kehidupan bocah seusia mereka di luar sana. Bermain bersama teman-teman, berenang di sungai, dan semua kenakalan dan kebebasannya. Dan tiba-tiba muncul ide iseng untuk saling bertukar pakaian. Pangeran yang mengenakan pakaian lusuh Tom, dan Tom yang mengenakan pakaian gemerlap Edward, sama-sama terpana saat memandang cermin. Betapa miripnya mereka berdua!
Harapannya terwujud, karena tepat saat itu Pangeran Wales yang bernama Edward, putra Raja Henry VIII tengah berada di luar istana. Sang Pangeran melihat Tom tepat ketika para penjaga pintu gerbang memukuli anak gelandangan berpakaian lusuh itu. Pangeran menghentikan penyiksaan itu sambil memarahi si penjaga, lalu segera mengundang Tom ke istananya. Layaknya dua remaja lelaki seusia, mereka dengan cepat menjadi akrab. Tom terpesona pada istana dan semua di dalamnya, yang hingga saat itu hanya ia lihat melalui buku. Sedang Edward, yang sejak kecil terkungkung di istana, terpesona mendengar cerita Tom tentang kehidupan bocah seusia mereka di luar sana. Bermain bersama teman-teman, berenang di sungai, dan semua kenakalan dan kebebasannya. Dan tiba-tiba muncul ide iseng untuk saling bertukar pakaian. Pangeran yang mengenakan pakaian lusuh Tom, dan Tom yang mengenakan pakaian gemerlap Edward, sama-sama terpana saat memandang cermin. Betapa miripnya mereka berdua!
ilustrasi Tom & Edward di istana. Ini sesaat sebelum atau sesudah mereka berganti pakaian? Hayoo..tebak!
Tanpa sempat berganti pakaian kembali, Edward keluar ke halaman istana untuk menegur penjaga yang tadi memukuli sahabat barunya. Bisa anda tebak, si penjaga menganggap Edward sebagai anak gelandangan yang menyebabkannya dimarahi oleh Pangeran. Meski Edward berkeras bahwa ia adalah sang Pangeran sendiri, namun tak ada yang mempercayainya. Ia malah semakin ditertawakan karena bersikap sok memerintah. Sedang Tom, yang menanti kedatangan kembali sahabatnya agar mereka dapat bertukar pakaian kembali, akhirnya menelan kekecewaan karena Edward tak kunjung datang. Malahan ia dikira sang Pangeran sendiri, terlepas dari pengakuannya yang jujur, yang malah dikira sebagai gejala kegilaan sementara. Bahkan Sang Raja pun mengira Tom adalah putranya sendiri yang sedang sakit! Hal yang sama terjadi pada Edward. Ketika ayah Tom menemukannya, ia begitu yakin si bocah lusuh adalah anaknya yang nakal yang lagi-lagi tak membawa hasil mengemis, lalu menghadiahinya pukulan.
Begitulah nasib The Prince and The Pauper kita ini. Cerita jujur mereka malah dianggap lelucon dan bahkan "penyakit pada otak" oleh mereka yang mendengarnya. Baik teman-teman maupun orang terdekat mereka. Banyak cerita lucu saat Tom menjadi "pangeran". Di bagian ini kentara sekali bagaimana Mark Twain mengajak kita untuk menertawakan keabsurdan monarki pada saat itu. Saat rakyatnya banyak yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan tirani Henry VIII, kemewahan yang menggelikan dan sungguh tak perlu terus saja dipraktekkan di istana. Contohnya adalah upacara memakaikan pakaian bagi "Pangeran" Tom di pagi hari. Untuk menyerahkan sepotong kaus hingga dipakaikan pada Tom, butuh 13 orang petugas yang mengangsurkan pakaian itu ke lainnya, terus hingga ke petugas yang memakaikannya pada Tom. Dan ke 13 petugas itu punya jabatan yang mentereng: First Lord of Bedchamber, Second Gentleman of The Bedchamber, Chief Equerry in Waiting, dll. Lalu bagaimana reaksi Tom saat melihat "prosesi kaus" ini? ~"Teman kecil kita terlihat bingung. Itu mengingatkannya pada acara oper-mengoper ember di festival." (hal. 151). Ketika salah satu kaus kaki yang akan dipakaikan pada kaki Tom ditemukan hilang labelnya, kaus kaki itu pun dikembalikan melewati prosesi yang sama!
Tom yang terbiasa serba bebas dalam kehidupan miskinnya, awalnya tak terbiasa dengan pengaturan yang kaku dan serba seremonial dalam segala hal, termasuk ketika bersantap. Yang paling lucu adalah ketika seorang bangsawan mengangsurkan sebuah mangkuk berisi air mawar untuk mencuci tangan. Tom yang bingung, akhirnya malah meminum air itu. Waktu mengembalikan mangkuk pada si bangsawan, yang pasti terkaget-kaget, Tom berkata: "Tidak....aku tidak menyukainya, Tuan. Memang rasanya cukup enak, tapi terlalu keras untukku." (hal. 73). Dan akupun sukses tertawa ngakak waktu membaca bagian ini. Lihat saja ekspresi si bangsawan dalam ilustrasi ini:
Sebaliknya dari kisah Tom yang lucu, cerita sengsara tak henti-hentinya menghinggapi Edward saat menjadi anak gelandangan. Kisah Edward jelas lebih menarik karena ia berulang kali bernasib malang, diselamatkan, kembali jatuh dalam kemalangan, begitu terus. Salah satu penyelamatnya adalah seorang pria bernama Miles Hendon yang dulunya prajurit Raja, namun telah ditipu oleh saudaranya yang jahat: Arthur. Dalam semua kemalangannya, Edward belajar banyak tentang kehidupan dan penderitaan yang dialami rakyatnya. Ia pun tak lupa menjanjikan ganjaran atas kebaikan mereka yang pernah menolongnya sekecil apapun.
Begitulah kedua teman kita ini menjalani hidup yang fantastis di dunia yang berbeda, hingga suatu hari sang Raja Henry VIII mangkat. Dan sang Pangeran Wales pun harus dinobatkan menjadi raja berikutnya! Dan di sinilah petualangan kedua teman kita akan berakhir.
Yang menarik bagiku, dalam buku ini Mark Twain tidak saja menyuguhkan kehidupan ala raja-raja Inggris jaman lampau, namun ia juga ingin menyentil tentang kepribadian manusia. Mari kita melihat bagaimana pertukaran identitas ini berpengaruh pada Tom dan Edward. Edward, meskipun berbaju gembel, namun tetap berperilaku dan berbicara layaknya pangeran. Bahkan Miles si penyelamatnya tak boleh makan semeja dengannya, dan harus menunggu hingga ia selesai makan. Meski ia dihina dan direndahkan, kehormatan dalam dirinya tak pernah luntur. Sekarang mari kita kihat kasus Tom. Hanya butuh waktu 3 bulan, Tom si pengemis yang awalnya canggung dengan kegemerlapan istana, perlahan-lahan mulai terbiasa. Bahkan menjelang penobatannya sebagai Raja, ia cenderung menganggap dirinya memang raja, dan membuang semua masa lalu kelam yang tak ingin ia akui. Bahkan ibunya pun sempat ia sangkal ketika sang ibu mengenali putranya (lihat, bagaimanapun rapat sebuah penyamaran, mata seorang ibu tak mungkin tertipu!). Di sini kita melihat bahwa manusia cenderung berubah saat berada pada puncak kekayaan atau kekuasaan. Sudah menjadi sifat manusia untuk berkawan dengan kenikmatan. Aku pernah membaca entah di mana, sebuah penelitian psikologi pada sekelompok orang yang dihadapkan pada kekuasaan mutlak. Hasilnya, hanya dalam waktu singkat perangai mereka berubah 180 derajat! Kita sering mencemooh teman atau kenalan kita yang berubah saat menjadi kaya. Namun, pernahkah anda berpikir, bahwa bila anda yang dianugerahi kekayaan itu, bukan tak mungkin anda pun akan berubah seperti teman itu.
Hal kedua yang menggelitikku adalah begitu mudahnya manusia menilai orang lain hanya dari atribut fisiknya saja, dari luarnya saja. Lihat saja bagaimana semua orang tak mampu mengenali perbedaan antara Tom dan Edward ketika mereka berganti pakaian. Karena, begitu mereka melihat pakaian lusuh, berarti pemakainya adalah orang miskin, malas, bodoh, kasar, bahkan mungkin jahat. Yang berpakaian mewah pasti agung, berkedudukan, cerdas dan terhormat. Sungguh ironis bagaimana stereotip macam itu sudah melekat pada diri manusia sepanjang jaman.
Akhirnya, anda pasti akan bertanya-tanya, bagaimana cara Pangeran Edward membuktikan bahwa ia lah yang layak dinobatkan menjadi Raja? Akankah Tom menolak asal-usul dirinya? Itulah sebabnya anda perlu membaca kisah berlatar sejarah yang asyik, kocak sekaligus seru ini! Sisipan di belakang buku membantu kita untuk sedikit lebih memahami seluk beluk protokoler kerajaan Inggris saat itu. 3 bintang untuk buku ini, 1 untuk Tom, 1 untuk Edward, 1 untuk Mark.
Gambar di atas adalah ilustrasi ketika Edward berusaha membuat "pembuktian" bahwa dirinya adalah raja yang sah.
Akhirnya aku tergoda untuk mencermati gambar pada cover buku ini, apakah itu gambar sosok asli kedua bocah itu, ataukah gambar ketika mereka bertukar peran? Bagaimana menurut anda?
Judul: The Prince and The Pauper
Penulis: Mark Twain
Penerbit: Orange Books (Grup Penerbit Mizan)
Terbit: Nopember 2010
Tebal: 418 hlm
Kita sering mencemooh teman atau kenalan kita yang berubah saat menjadi kaya. Namun, pernahkah anda berpikir, bahwa bila anda yang dianugerahi kekayaan itu, bukan tak mungkin anda pun akan berubah seperti teman itu.
ReplyDeleteOww.. bagian yang ini bener bangets, haha.. bisa jadi ketika kita yang ada dalam "posisi" dia, perilaku kita malah lebih parah dari mereka yang kita cemooh itu, hahahaha.. *ironis* :))