Thursday, December 8, 2011

A Study In Scarlet

Selamat datang di 221B Baker Street, London! Dari sebuah apartemen berkamar dua inilah, genre fiksi detektif modern pertama kali lahir. “Ayah”nya adalah Sir Arthur Conan Doyle, yang menciptakan tokoh detektif yang sangat cakap dalam hal deduksi: Sherlock Holmes. Lewat 4 novel panjang dan 56 cerita pendek, Sherlock Holmes menciptakan tren baru bagi kisah fiksi detektif, dan menginspirasi banyak penulis genre ini setelah era Doyle.

A Study In Scarlet merupakan novel pertama dari 4 novel panjang tentang Holmes. Di kisah inilah Holmes dan Dr. Watson pertama kali dipertemukan. Watson adalah seorang dokter veteran perang yang sedang mencari tempat tinggal murah di London. Oleh mantan koleganya, ia dipertemukan dengan seorang ahli kimia misterius bernama Sherlock Holmes. Awalnya Watson terheran-heran bagaimana Holmes dapat menebak secara tepat latar belakang seseorang hanya dalam hitungan detik; termasuk mengenali Watson sebagai dokter yang baru pulang dari perang Afganistan—yang mana tepat sekali dengan kenyataannya. Hingga akhirnya, misteri bidang pekerjaan Holmes terungkap ketika terjadi sebuah pembunuhan di rumah kosong di Brixton.

Sebagai konsultan kasus kriminal, Holmes dimintai oleh dua detektif terkemuka Scotland Yard untuk memecahkan misteri pembunuhan yang aneh itu. Korbannya seorang pengusaha bernama Drebber, tak ada luka di tubuhnya, namun ada darah terpercik di TKP. Juga ada tulisan “Rache” tertulis dengan darah di dinding. Penting untuk dicatat, konon di kisah inilah pertama kalinya kaca pembesar digunakan sebagai salah satu alat penyidikan oleh seorang detektif.

Holmes mempelajari tulisan darah “Rache” di dinding, melalu kaca pembesar

Hanya dengan sekali pengamatan, Holmes mampu membuat kolega-koleganya (termasuk Watson yang ikut mendampingi Holmes) ternganga karena dapat langsung menyebutkan ciri-ciri pembunuhnya! Bagaimana Holmes dapat mengidentifikasi pembunuhnya? Dan siapa sang pembunuh tersebut? Apa motifnya?

Nah, di sinilah letak perbedaan kisah ini dengan novel detektif yang biasa kubaca. Aku adalah pecinta novel-novel detektif karya Agatha Christie, jadi mau tak mau aku langsung membandingkan Holmes dengan Poirot. Terbiasa dengan kronologi penyidikan hingga ditutup dengan kesimpulan pada akhir kisah, aku terperangah juga ketika Holmes berhasil menangkap pembunuhnya hanya ketika kisah ini sampai di pertengahan. Hanya saja, siapa-mengapa-bagaimana-nya tetap tersimpan rapi sebagai misteri di penghujung bagian pertama buku ini.

Pada bagian kedua kisah ini kita tiba-tiba diajak menjelajah ke daerah Utah--Amerika Utara, yang gersang, pada tahun 1847. Seorang pria bersama seorang anak perempuan tengah tersesat di dataran yang luas selama berhari-hari, tanpa makanan, tanpa air, siap menghadapai ajal. Tiba-tiba lewatlah serombongan besar orang yang akhirnya menyelamatkan mereka. Rombongan itu ternyata adalah rombongan kaum Mormon (sekte pecahan dari Gereja Kristen) yang dipimpin oleh Birgham Young.

Bila kita menilik sejarah, Birgham Young adalah pendiri kota Salt Lake City—ibukota Negara bagian Utah. Awalnya kota itu didirikan untuk populasi kaum penganut Mormonisme, namun saat ini penganut Mormon hanyalah separuh populasi Salt Lake City.

Brigham Young, tokoh pelopor penganut Mormon

Kembali pada tokoh kita, pria bernama John Ferrier dan anak perempuan yang kemudian diangkatnya sebagai anak, Lucy Ferrier. Dari kisah keduanya inilah, anda akan mendapati benang merah yang menghubungkan kisah bagian kedua ini dengan pembunuhan di bagian pertama tadi. Maka, tak salah bila Holmes kemudian menamai kasus ini sebagai “penelusuran benang merah” atau A Study in Scarlet.

Sebenarnya daya tarik utama kisah ini—bagiku—adalah kisah di bagian kedua, dan bagaimana ia dibuat memiliki benang merah dengan bagian pertama. Mengenai metode penyidikan Holmes dan karakter sang detektif sendiri, aku tetap lebih menyukai Hercule Poirot, “anak” Agatha Christie. Penangkapan si pembunuh pada pertengahan kisah rasanya menjadi anti klimaks. Dan karena porsi Holmes hanya setengah lebih sedikit, maka karakternya kurang tergali di sini. Entah di ke 3 novel yang lain.

Empat bintang aku sematkan untuk kasus Holmes ini!

Judul: A Study In Scarlet
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: B. Sendra Tanuwidjaja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2007
Tebal: 216 hlm

2 comments:

  1. Waktu SMA dulu aku disuruh guruku baca "The Hound of the Baskervilles" dibuat sebagai essay dan drama kelas untuk ujian akhir. Yah, karena buku itu "buku sekolah", aku jadi gak suka sama Doyle ;p inget dikejar tugas soalnya, hehehe....
    Tapi sekarang aku malah penasaran pingin baca lagi, dan juga karya beliau lainnya :)

    ReplyDelete
  2. izin copas ^_^
    ini link blog saya
    http://rizkimiftachul.blogspot.com/2013/10/sherlock-holmes-a-study-in-scarlet.html

    ReplyDelete

What do you think?