Tak heran kalau Gustave Flaubert disebut sebagai penulis yang perfeksionis [Flaubert was notoriously a perfectionist about his writing and claimed always to be searching for le mot juste ("the right word") ~wikipedia]. Novel Madame Bovary ini membuktikannya. Untuk menggambarkan suatu keadaan atau suasana, Flaubert seolah menggabungkan realisme dengan romantisme. Ia menuliskan segala sesuatunya dengan gamblang, amat jelas tiap detailnya, namun kadang menggunakan kalimat-kalimat metafora juga. Dan sungguh, metaforanya benar-benar mempesona. Lihat saja contohnya:
“…sinar bulan menerpa permukaan air sungai yang membuat permukaan air berkilau-kilau bagai kelap-kelip bintang; cahayanya yang keperakan bagai menembus sampai ke dasar sungai bagai seekor ular tanpa kepala yang seluruh tubuhnya tertutup sisik yang bersinar. Sinar itu juga mirip sebuah lilin raksasa yang melelehkan untaian intan bercahaya di sepanjang sisinya.” ~hlm. 290.
Tak diragukan, itu pasti salah satu hasil pemilihan kata yang amat cermat dari seorang Gustave Flaubert, yang menyulap cerita yang biasa-biasa saja menjadi karya sastra yang indah. Konon, dibanding dengan rekan-rekan sesama penulis besar di jamannya, Flaubert termasuk yang paling sedikit menelurkan karya. Rupanya perfeksionisme tak berjalan lurus dengan produktivitas. Madame Bovary kebetulan menjadi karya pertamanya yang paling terkenal sekaligus kontroversial. Mengapa kontroversial?
Madame Bovary bermuatan kritik sosial yang diteriakkan Flaubert atas borjuisme dan ketidakberdayaan wanita di Prancis pada jaman itu (kisah ini bersetting di sekitar Normandy pada paruh kedua abad 19). Karya tersebut dianggap meresahkan karena tidak bermoral dan tidak beragama. Flaubert bahkan diseret ke pengadilan, meski akhirnya menang berkat seorang pengacara asal Rouen bernama Marie-Antoine Jules Sénard. Kepada sang pengacara lah novel ini kemudian didedikasikan, seperti terbaca di surat yang dilampirkan setelah halaman judul. Hingga di sini, anda tentu makin penasaran dengan inti kisah Madame Bovary. Inilah dia…
Kisah dibuka oleh tokoh Charles Bovary, anak laki-laki biasa, penggugup dan tidak menarik, yang tinggal di kota kecil. Ia tumbuh sebagai pria yang baik hati, berwawasan sempit, dan agak malas. Setelah belajar mati-matian, Charles akhirnya berhasil menggenggam gelar dokter. Meski begitu, karena sama sekali tak memiliki ambisi, ia hanya menjadi dokter kelas desa dan kehidupannya tak pernah menanjak. Suatu hari ia mendapat panggilan untuk menyembuhkan kaki seorang petani kaya yang patah. Di sana ia akhirnya bertemu dan berkenalan dengan anak gadis sang petani yang cantik dan anggun, bernama Emma.
Kebalikan dari Charles, Emma gadis yang menarik, penuh imajinasi, memiliki minat pada gemerlapnya kota, romansa percintaan ala novel, serta kehidupan borjuis. Sejak awal Charles jelas tertarik pada Emma, meski saat itu ia telah beristri wanita sederhana yang kalah jauh dibanding Emma. Tiba-tiba di usia muda sang istri mendadak meninggal. Charles menjadi duda, dan mulai serius mendekati Emma. Gayung bersambut, keduanya pun menikah. Emma meninggalkan rumahnya di pertanian membosankan yang ia benci, siap menyambut masa depan baru yang lebih menjanjikan.
Sayangnya, impian romantis Emma jauh dari kenyataan. Charles memang dokter yang berdedikasi, namun ia pria sederhana membosankan yang hanya melakukan tugasnya saja. Pasiennya orang-orang desa Tostes, tempat mereka tinggal sebelum akhirnya pindah ke Yonville. Padahal yang diinginkan Emma adalah gaun-gaun mewah, pesta dansa, chatteu, pria-pria tampan dan ambisius. Pendek kata, Emma bosan, tak puas dengan hidupnya, bahkan setelah melahirkan Berthe—anak perempuannya.
Hasrat Emma untuk keluar dari hidup yang membosankannya, membawanya pada perselingkuhan. Awalnya dengan Léon, asisten notaris setempat yang cerdas lagi romantis, sama-sama menghargai keindahan yang dipuja Emma. Namun kisah cinta itu tak berlangsung lama karena kegamangan Emma menjalani perselingkuhan. Ia lalu kembali (mencoba) setia kepada suaminya. Sayangnya, hal itu juga tak berlangsung lama. Karena begitu seorang pria kaya dan playboy bernama Rodolphe muncul dalam kehidupan Emma, suaminya langsung terlihat labih buruk di mata Emma daripada sebelumnya. Dengan segala cara Emma berusaha untuk merengkuh kehidupan yang diimpikannya. Selain dengan perselingkuhan, juga dengan mulai berhutang pada seorang pedagang.
Pertanyaannya, apakah akhirnya sang Madame Bovary akan merasakan kebahagiaan yang diimpikannya? Anda akan dibawa pada pertistiwa demi peristiwa, dan suasana sang Madame yang berubah-ubah, sebelum akhirnya pertanyaan itu dapat terjawab di akhir cerita.
Dengan menulis buku ini, Flaubert membuka problem sosial pada jamannya, di mana wanita harus menggantungkan nasibnya 100% pada kaum pria. Begitu menjadi istri, seorang wanita diharapkan mengurus rumah tangga saja. Ke mana pun sang suami mengarahkan bahtera rumah tangga mereka, sang istri hanya bisa ikut hanyut saja. Kalaupun seorang wanita memiliki impian sendiri, hanya dua pilihan yang dimilikinya. Mengejar impian itu dengan resiko melepaskan segala yang ia miliki, atau mengubur impian itu dalam-dalam dan menelan saja apa yang ada. Buku ini kelak dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme.
Di sisi lain, aku juga melihat jurang yang tak terjembatani antara Charles dan Emma. Klise sebetulnya, masalah suami-istri yang tak memiliki kesamaan visi. Hal itu yang kuamati banyak menimbulkan perceraian di masa modern ini. Padahal jaman dahulu hal yang sama juga terjadi, namun karena nilai-nilai religiusitas dan martabat masih dipegang tinggi, maka semuanya hanya bagai api dalam sekam.
Pada akhirnya, kaum wanita jaman sekarang harus merasa beruntung karena mereka memiliki kesempatan yang sama dengan kaum pria untuk mengejar dan mewujudkan impian mereka. Namun tetap saja, impian juga harus ada batasnya. Ketika mustahil untuk menggapai impian tertentu, kita harus dapat menerima kenyataan dan mengembangkan apa yang kita miliki untuk menberikan kebahagiaan bagi kita. Bagaimana pun, kebahagiaan toh sesuatu yang harus kita ciptakan, bukan sesuatu yang jatuh dari langit, kan?
Empat bintang kukemas rapi sebagai hadiah Ulang Tahun untuk Gustave Flaubert yang ke 190, tepat pada hari ini, 12 Desember 2011!
Judul: Madame Bovary
Penulis: Gustave Flaubert
Penerjemah: Santi Hendrawati
Penyunting: M. Sidik Nugraha
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2010
Tebal: 507 hlm
“…sinar bulan menerpa permukaan air sungai yang membuat permukaan air berkilau-kilau bagai kelap-kelip bintang; cahayanya yang keperakan bagai menembus sampai ke dasar sungai bagai seekor ular tanpa kepala yang seluruh tubuhnya tertutup sisik yang bersinar. Sinar itu juga mirip sebuah lilin raksasa yang melelehkan untaian intan bercahaya di sepanjang sisinya.” ~hlm. 290.
Tak diragukan, itu pasti salah satu hasil pemilihan kata yang amat cermat dari seorang Gustave Flaubert, yang menyulap cerita yang biasa-biasa saja menjadi karya sastra yang indah. Konon, dibanding dengan rekan-rekan sesama penulis besar di jamannya, Flaubert termasuk yang paling sedikit menelurkan karya. Rupanya perfeksionisme tak berjalan lurus dengan produktivitas. Madame Bovary kebetulan menjadi karya pertamanya yang paling terkenal sekaligus kontroversial. Mengapa kontroversial?
Madame Bovary bermuatan kritik sosial yang diteriakkan Flaubert atas borjuisme dan ketidakberdayaan wanita di Prancis pada jaman itu (kisah ini bersetting di sekitar Normandy pada paruh kedua abad 19). Karya tersebut dianggap meresahkan karena tidak bermoral dan tidak beragama. Flaubert bahkan diseret ke pengadilan, meski akhirnya menang berkat seorang pengacara asal Rouen bernama Marie-Antoine Jules Sénard. Kepada sang pengacara lah novel ini kemudian didedikasikan, seperti terbaca di surat yang dilampirkan setelah halaman judul. Hingga di sini, anda tentu makin penasaran dengan inti kisah Madame Bovary. Inilah dia…
Kisah dibuka oleh tokoh Charles Bovary, anak laki-laki biasa, penggugup dan tidak menarik, yang tinggal di kota kecil. Ia tumbuh sebagai pria yang baik hati, berwawasan sempit, dan agak malas. Setelah belajar mati-matian, Charles akhirnya berhasil menggenggam gelar dokter. Meski begitu, karena sama sekali tak memiliki ambisi, ia hanya menjadi dokter kelas desa dan kehidupannya tak pernah menanjak. Suatu hari ia mendapat panggilan untuk menyembuhkan kaki seorang petani kaya yang patah. Di sana ia akhirnya bertemu dan berkenalan dengan anak gadis sang petani yang cantik dan anggun, bernama Emma.
Kebalikan dari Charles, Emma gadis yang menarik, penuh imajinasi, memiliki minat pada gemerlapnya kota, romansa percintaan ala novel, serta kehidupan borjuis. Sejak awal Charles jelas tertarik pada Emma, meski saat itu ia telah beristri wanita sederhana yang kalah jauh dibanding Emma. Tiba-tiba di usia muda sang istri mendadak meninggal. Charles menjadi duda, dan mulai serius mendekati Emma. Gayung bersambut, keduanya pun menikah. Emma meninggalkan rumahnya di pertanian membosankan yang ia benci, siap menyambut masa depan baru yang lebih menjanjikan.
Sayangnya, impian romantis Emma jauh dari kenyataan. Charles memang dokter yang berdedikasi, namun ia pria sederhana membosankan yang hanya melakukan tugasnya saja. Pasiennya orang-orang desa Tostes, tempat mereka tinggal sebelum akhirnya pindah ke Yonville. Padahal yang diinginkan Emma adalah gaun-gaun mewah, pesta dansa, chatteu, pria-pria tampan dan ambisius. Pendek kata, Emma bosan, tak puas dengan hidupnya, bahkan setelah melahirkan Berthe—anak perempuannya.
Hasrat Emma untuk keluar dari hidup yang membosankannya, membawanya pada perselingkuhan. Awalnya dengan Léon, asisten notaris setempat yang cerdas lagi romantis, sama-sama menghargai keindahan yang dipuja Emma. Namun kisah cinta itu tak berlangsung lama karena kegamangan Emma menjalani perselingkuhan. Ia lalu kembali (mencoba) setia kepada suaminya. Sayangnya, hal itu juga tak berlangsung lama. Karena begitu seorang pria kaya dan playboy bernama Rodolphe muncul dalam kehidupan Emma, suaminya langsung terlihat labih buruk di mata Emma daripada sebelumnya. Dengan segala cara Emma berusaha untuk merengkuh kehidupan yang diimpikannya. Selain dengan perselingkuhan, juga dengan mulai berhutang pada seorang pedagang.
Pertanyaannya, apakah akhirnya sang Madame Bovary akan merasakan kebahagiaan yang diimpikannya? Anda akan dibawa pada pertistiwa demi peristiwa, dan suasana sang Madame yang berubah-ubah, sebelum akhirnya pertanyaan itu dapat terjawab di akhir cerita.
Dengan menulis buku ini, Flaubert membuka problem sosial pada jamannya, di mana wanita harus menggantungkan nasibnya 100% pada kaum pria. Begitu menjadi istri, seorang wanita diharapkan mengurus rumah tangga saja. Ke mana pun sang suami mengarahkan bahtera rumah tangga mereka, sang istri hanya bisa ikut hanyut saja. Kalaupun seorang wanita memiliki impian sendiri, hanya dua pilihan yang dimilikinya. Mengejar impian itu dengan resiko melepaskan segala yang ia miliki, atau mengubur impian itu dalam-dalam dan menelan saja apa yang ada. Buku ini kelak dianggap sebagai pelopor gerakan feminisme.
Di sisi lain, aku juga melihat jurang yang tak terjembatani antara Charles dan Emma. Klise sebetulnya, masalah suami-istri yang tak memiliki kesamaan visi. Hal itu yang kuamati banyak menimbulkan perceraian di masa modern ini. Padahal jaman dahulu hal yang sama juga terjadi, namun karena nilai-nilai religiusitas dan martabat masih dipegang tinggi, maka semuanya hanya bagai api dalam sekam.
Pada akhirnya, kaum wanita jaman sekarang harus merasa beruntung karena mereka memiliki kesempatan yang sama dengan kaum pria untuk mengejar dan mewujudkan impian mereka. Namun tetap saja, impian juga harus ada batasnya. Ketika mustahil untuk menggapai impian tertentu, kita harus dapat menerima kenyataan dan mengembangkan apa yang kita miliki untuk menberikan kebahagiaan bagi kita. Bagaimana pun, kebahagiaan toh sesuatu yang harus kita ciptakan, bukan sesuatu yang jatuh dari langit, kan?
Empat bintang kukemas rapi sebagai hadiah Ulang Tahun untuk Gustave Flaubert yang ke 190, tepat pada hari ini, 12 Desember 2011!
Judul: Madame Bovary
Penulis: Gustave Flaubert
Penerjemah: Santi Hendrawati
Penyunting: M. Sidik Nugraha
Penerbit: Serambi
Terbit: Juni 2010
Tebal: 507 hlm
baca reviewmu..bikin pengen baca mba..penasaran dgn api feminisme yang dimunculkan di novel ini.
ReplyDeleteNggak begitu sering baca buku klasik. Baru tahu tentang buku ini. hehehe
ReplyDeleteSettingnya beneran di Prancis mba?
@althesia: sebenarnya feminisme-nya gak sampai berapi-api juga sih. hanya penggambaran kondisi Mme Bovary ini kemungkinan membuat para wanita mulai menyadari kedudukan sosial di masyarakat ya?
ReplyDelete@aleetha: yoi, di Prancis. Aku suka penggambaran Flaubert yg detail, juga tentang tempat2 di Prancis ini
wah mesti dibaca nih. duh tapi tebel juga ya.
ReplyDeleteAku suka banget topik feminisme.. novel ini yg kata mba Fanda salah satu pemantik emansipasi kayaknya layak baca deh..
ReplyDelete@Fanny: tumben dirimu pengen baca yg tebel2, Fan? hehehe...
ReplyDelete@okeyzz: Ayoh baca!
Hahaha. Kebayang deh jaman dulu betapa kontroversialnya cerita ini.. :)
ReplyDeleteMenonton Film-nya emg lebih cepat.. hehe dan suguhan visual yg agak vulgar sangat banyak :)
ReplyDeleteemang keren bgt tp kasihan Charles, dan ending-nya pun mengerikan!
saya dari malaysia. blog kamu sangat memberi info kepada saya. teroskan menulis ya:)
ReplyDeleteTerima kasih... :)
DeleteNovel klasik yang sangat bagus.
ReplyDeleteKunjungi balik blog kami ya, isinya benyak juga tentang buku-buku luar negeri
Saingannya Anna Karenina by Leo Tolstoy 🤭🙏
ReplyDelete