Les Miserables. Dua kata dalam bahasa Prancis yang semenjak aku kecil telah menarik hatiku. Padahal saat itu aku bahkan tak tahu apa artinya. Selain merupakan judul buku karya salah seorang penulis klasik terbesar dunia--Victor Hugo, Les Miserables juga telah banyak dimainkan sebagai drama maupun film. Baru tahun ini aku berhasil mendapatkan versi terjemahannya (berkat penerbit Bentang Pustaka). Ternyata, arti kata Les Miserables tidaklah seeksotik kedengarannya. Les Miserables dapat diartikan sebagai para jembel (the miserable ones atau the poor ones). Memang bahasa Prancis selalu mampu menyulap semua kata menjadi terdengar indah bukan?
Kembali pada Les Miserables, novel ini bernuansa ganda. Di satu sisi, Hugo hendak menyoroti situasi sosial di Prancis--khususnya Paris pada sekitar tahun 1832, di mana para jembel--atau yang dalam kisah ini diwakili mahasiswa dan masyarakat menengah ke bawah, melakukan pemberontakan yang disebut Pemberontakan bulan Juni (June Rebelion). Di sisi lain, Hugo juga ingin menggambarkan bagaimana kebaikan dan kejahatan selalu berperang dalam batin manusia. Dengan kata lain, manusia selalu memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi jahat yang selalu berperang. Sisi mana yang akan menang, semua tergantung pada diri kita sendiri. Namun bagaimana pun juga, sisi gelap manusia akan selalu membayanginya, sekeras apapun ia berusaha memenangkan sisi baiknya.
Dalam kisah ini, Hugo memakai tokoh Jean Valjean untuk menggambarkan "perang" itu. Gara-gara mencuri sepotong roti, lalu dihukum kerja paksa di sebuah kapal, menjadikan jiwa Valjean muda menjadi gelap. Setelah sembilan belas tahun mengalaminya, ia akhirnya bebas. Bebas dari kerja paksa, namun tak bebas dari stempel "narapidana" yang terus menempel pada dirinya. Dan kalau kita membaca terus, tampaknya pengaruh buruk dari penghukuman itu juga terus membayangi dirinya.
Valjean tiba di kota D____ (yang identitasnya disembunyikan dalam versi novel ini, dan sebenarnya adalah kota Digne), dan merasakan keramahan dan kepercayaan seorang uskup yang baik hati. Meski perlakuan baik sang Uskup menghangatkan hatinya, mau tak mau kecenderungan untuk berbuat jahat tetap muncul dalam diri Valjean. Valjean lalu melarikan diri ke kota M___ sur M___ (Montreuil sur Mer), dan berkat kecerdikannya, berhasil menjadi pengusaha dengan menggunakan nama Monsieur Madeleine. Ia bahkan akhirnya menjadi walikota. Namun bayangan kejahatannya di masa lampau kembali mengejarnya dalam bentuk seorang Inspektur Polisi berdedikasi bernama Javert. Di sini sisi baik dan sisi jahat Valjean berperang lagi.
Melarikan diri lagi, Valjean pun bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya di novel ini, perempuan malang bernama Fantine yang memiliki putri kecil bernama Cosette. Fantine menitipkan Cosette pada keluarga Thenardier, yang ternyata adalah keluarga jahat dan pemeras. Valjean lalu menjadikan Cosette putrinya, dan berpindah lagi ke ibukota Prancis, Paris. Meski selama itu Valjean berusaha hidup dengan baik, bayangan kelam masa lalu tetap mengikutinya. Ketika Cosette dewasa dan mulai jatuh cinta pada pemuda Marius, Paris dilanda pemberontakan oleh mahasiswa dan masyarakat miskin. Mau tak mau, para tokoh kita pun terlibat di dalamnya. Bermunculan juga di bagian ini para tokoh mahasiswa.
Terus terang, aku agak terganggu dengan narasi panjang yang disuguhkan Hugo mengenai ekskalasi politik yang berujung pada pemberontakan, yang memang tercatat dalam sejarah Prancis itu. Aku hampir tertidur membaca bagian ini, padahal aku tengah penasaran untuk mengetahui kelanjutan nasib Jean Valjean dan Cosette. Akhirnya aku terpaksa melompati beberapa bagian yang kurasa tak penting dan tak berkaitan langsung dengan kisah utama. Jujur saja, aku agak kecewa dengan Les Miserables ini. Aku lebih menyukai karya Victor Hugo lainnya, yaitu The Hunchback of Notre Dame yang sama-sama bersetting di Prancis.
Tampaknya, Hugo memiliki dua fokus cerita yang kemudian berusaha ia jalin menjadi satu. Antara sejarah sosial dan pergulatan batin seseorang. Menurutku sah-sah saja, namun kadang menjadikan novel ini jadi kehilangan gregetnya. Belum lagi, karena ada dua fokus cerita, tokoh-tokohnya menjadi begitu banyak, sehingga aku seringkali 'tersesat'. Untunglah endingnya lumayan menawan, sehingga memberikan kesan mendalam setelah Anda membacanya. Bagaimana pun, cara bertutur Victor Hugo yang khas dan menghibur tetap tak menghalangiku untuk meneruskan kisah ini hingga tamat, dan memberikan empat bintang baginya.
Review ini kupersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Victor Hugo yang jatuh tepat pada hari ini, tanggal 26 Februari 2012. Happy Birthday opa Hugo!
Judul: Les Miserables
Penulis: Victor Hugo
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juli 2008
Tebal: 602 hlm
Kembali pada Les Miserables, novel ini bernuansa ganda. Di satu sisi, Hugo hendak menyoroti situasi sosial di Prancis--khususnya Paris pada sekitar tahun 1832, di mana para jembel--atau yang dalam kisah ini diwakili mahasiswa dan masyarakat menengah ke bawah, melakukan pemberontakan yang disebut Pemberontakan bulan Juni (June Rebelion). Di sisi lain, Hugo juga ingin menggambarkan bagaimana kebaikan dan kejahatan selalu berperang dalam batin manusia. Dengan kata lain, manusia selalu memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi jahat yang selalu berperang. Sisi mana yang akan menang, semua tergantung pada diri kita sendiri. Namun bagaimana pun juga, sisi gelap manusia akan selalu membayanginya, sekeras apapun ia berusaha memenangkan sisi baiknya.
Dalam kisah ini, Hugo memakai tokoh Jean Valjean untuk menggambarkan "perang" itu. Gara-gara mencuri sepotong roti, lalu dihukum kerja paksa di sebuah kapal, menjadikan jiwa Valjean muda menjadi gelap. Setelah sembilan belas tahun mengalaminya, ia akhirnya bebas. Bebas dari kerja paksa, namun tak bebas dari stempel "narapidana" yang terus menempel pada dirinya. Dan kalau kita membaca terus, tampaknya pengaruh buruk dari penghukuman itu juga terus membayangi dirinya.
Valjean tiba di kota D____ (yang identitasnya disembunyikan dalam versi novel ini, dan sebenarnya adalah kota Digne), dan merasakan keramahan dan kepercayaan seorang uskup yang baik hati. Meski perlakuan baik sang Uskup menghangatkan hatinya, mau tak mau kecenderungan untuk berbuat jahat tetap muncul dalam diri Valjean. Valjean lalu melarikan diri ke kota M___ sur M___ (Montreuil sur Mer), dan berkat kecerdikannya, berhasil menjadi pengusaha dengan menggunakan nama Monsieur Madeleine. Ia bahkan akhirnya menjadi walikota. Namun bayangan kejahatannya di masa lampau kembali mengejarnya dalam bentuk seorang Inspektur Polisi berdedikasi bernama Javert. Di sini sisi baik dan sisi jahat Valjean berperang lagi.
Melarikan diri lagi, Valjean pun bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya di novel ini, perempuan malang bernama Fantine yang memiliki putri kecil bernama Cosette. Fantine menitipkan Cosette pada keluarga Thenardier, yang ternyata adalah keluarga jahat dan pemeras. Valjean lalu menjadikan Cosette putrinya, dan berpindah lagi ke ibukota Prancis, Paris. Meski selama itu Valjean berusaha hidup dengan baik, bayangan kelam masa lalu tetap mengikutinya. Ketika Cosette dewasa dan mulai jatuh cinta pada pemuda Marius, Paris dilanda pemberontakan oleh mahasiswa dan masyarakat miskin. Mau tak mau, para tokoh kita pun terlibat di dalamnya. Bermunculan juga di bagian ini para tokoh mahasiswa.
Terus terang, aku agak terganggu dengan narasi panjang yang disuguhkan Hugo mengenai ekskalasi politik yang berujung pada pemberontakan, yang memang tercatat dalam sejarah Prancis itu. Aku hampir tertidur membaca bagian ini, padahal aku tengah penasaran untuk mengetahui kelanjutan nasib Jean Valjean dan Cosette. Akhirnya aku terpaksa melompati beberapa bagian yang kurasa tak penting dan tak berkaitan langsung dengan kisah utama. Jujur saja, aku agak kecewa dengan Les Miserables ini. Aku lebih menyukai karya Victor Hugo lainnya, yaitu The Hunchback of Notre Dame yang sama-sama bersetting di Prancis.
Tampaknya, Hugo memiliki dua fokus cerita yang kemudian berusaha ia jalin menjadi satu. Antara sejarah sosial dan pergulatan batin seseorang. Menurutku sah-sah saja, namun kadang menjadikan novel ini jadi kehilangan gregetnya. Belum lagi, karena ada dua fokus cerita, tokoh-tokohnya menjadi begitu banyak, sehingga aku seringkali 'tersesat'. Untunglah endingnya lumayan menawan, sehingga memberikan kesan mendalam setelah Anda membacanya. Bagaimana pun, cara bertutur Victor Hugo yang khas dan menghibur tetap tak menghalangiku untuk meneruskan kisah ini hingga tamat, dan memberikan empat bintang baginya.
Review ini kupersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Victor Hugo yang jatuh tepat pada hari ini, tanggal 26 Februari 2012. Happy Birthday opa Hugo!
Judul: Les Miserables
Penulis: Victor Hugo
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Juli 2008
Tebal: 602 hlm
Hehehe bagian2 tertentu buku ini memang melelahkan buat dibaca, tapi aku tetep kasih 5 bintang :D
ReplyDeleteOya pertanyaan yang belom terjawab sampe sekarang: kenapa yang mejeng di covernya si Javert (itu Javert kan ya?) dan Jean Valjean cuma numpang lewat di belakangnya??
I agree, Les Miserables sound really 'romantic' (specially when it said with french attitude :D now I juts miss my tutor haha)
ReplyDeleteOh, have you studied Francais too? In CCF/CCCL? Me too! :)
DeleteIni pasti versi abridged ya? Saya baca versi unabridged terbitan Visimedia, dan di sana narasinya jauh lebih panjang daripada versi Bentang Pustaka. Di volume 1 aja 90 halaman pertama malah menceritakan tokoh Uskup Myriel tanpa ada sama sekali Jean Valjean. Benar-benar butuh perjuangan untuk melewatkan bagian ini haha. Memang nyebelin sih fokus ceritanya terasa mondar-mandir ke sana-sini, tapi Victor Hugo sepertinya sengaja menyisipkan bab2 yang terkesan seperti filler ini untuk memahami cerita lebih dalam lagi.
ReplyDeleteYup, versi Bentang ini abridged-nya. Dan untung aku pilih yg ini, gak bayangin kalo kudu baca unabridged....
Delete