Showing posts with label Mahda Books. Show all posts
Showing posts with label Mahda Books. Show all posts

Thursday, March 8, 2012

The Wind In The Willows

Sebenarnya kisah fabel untuk anak-anak The Wind in the Willows karya Kenneth Grahame ini adalah kisah yang amat sederhana, yakni tentang persahabatan empat ekor binatang di tepi sungai Thames dan di hutan rimba Inggris. Tapi saat membaca kisah ini, aku jadi merasa kisah ini tak sepenuhnya "anak-anak" dan tak sesederhana yang nampak. Sebaliknya, banyak penggambaran tentang kehidupan yang terlukis dibalik kisah fabel ini.

Kisah dibuka oleh seekor tikus tanah yang merasa bosan setelah bersih-bersih rumah dan ingin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara musim semi yang cerah. Ketika ia mendekati tepi sungai, Tikus Tanah yang bernama Molly ini bertemu seekor teman baru, seekor Tikus Air bernama Ratty. Ratty mengusulkan mereka berdua untuk mendayung sambil berpiknik di tepi sungai. Kehidupan yang dirasakan nyaris sempurna oleh Molly, sehingga akhirnya Molly setuju untuk tinggal bersama Ratty di rumah Tepi Sungai. Kedua sahabat inipun akan menemui berbagai petualangan seru, yang kuibaratkan sebagai perjalanan hidup manusia.

Dalam perjalanan itu perahu mereka melewati hutan rimba, dan Ratty menjelaskan kepada Molly bahwa di sana hidup berbagai macam hewan, ada yang--bagi Ratty--cukup menyenangkan seperti Luak dan kelinci, namun ada juga yang lain seperti rubah, rase, cerpelai yang menurut Ratty "lumayan dengan caranya sendiri".

"Mereka semua lumayan, dengan caranya sendiri, tapi kau tak bisa sepenuhnya percaya kepada mereka, dan begitulah kenyataannya." ~hlm 11.

Bagiku, kata-kata Ratty itu menggambarkan sifat manusia. Di dunia ini ada bermacam-macam sifat manusia. Tak ada yang sepenuhnya hitam (jahat) atau putih (baik), mereka memiliki kedua sifat itu. Pada saat-saat tertentu mereka dapat hidup dengan baik bersama tetangganya, namun pada saat tertentu mereka mungkin merugikan tetangganya. Lewat Tuan Luak, Kenneth mengajarkan kepada pembaca cara untuk menghadapinya:

"...satwa-satwa pindah kemari... yang baik dan yang jahat. Di dunia selalu ada dua segi itu. Kita harus hidup dan memberi kesempatan kepada yang lain untuk hidup." (Tuan Luak) ~hlm. 47.

Kembali kepada perjalanan piknik Molly dan Ratty, berikutnya mereka melewati rumah besar bernama Puri Katak, tempat tinggal Toady, sang Tuan Katak. Toady mewakili karakter manusia yang terobsesi dengan kekayaan dan terbawa arus hedonisme, mendewa-dewakan benda-benda duniawi nan indah tapi melupakan nilai-nilai yang lebih luhur dalam hidup. Toady juga tipe orang-orang sombong yang menganggap dirinyalah pusat semua kehidupan. Tipe orang yang merasa dirinya pandai dan bijaksana, namun sebenarnya yang terbodoh dari yang hidup. Di sini Toady digambarkan sebagai trouble maker yang tergila-gila pada kendaraan mewah. Awalnya caravan, sampai akhirnya ia terpesona pada mobil balap. Semua hobbynya (yang berganti-ganti terus itu) hanya membawa kesialan baginya.

Inti kisah The Wind in The Willows ini adalah upaya Molly, Ratty dan sahabat mereka yang penyendiri--Tuan Luak--dalam misi untuk "menyelamatkan" Toady. Toady akhirnya kebablasan, dan harus meringkuk di penjara. Sementara itu Puri Kataknya diam-diam diduduki oleh para rase, cerpelai dan rubah. Ketiga sahabatnya lah yang dengan gigih dan berani berjuang demi Toady. Sebuah sikap persahabatan yang patut diacungi jempol. Alih-alih memikirkan keselamatan sendiri dan membiarkan saja teman yang toh sering mengecewakan, mereka bertiga bertekad menolong Toady. Akhirnya, bukan Puri Katak saja yang berhasil diselamatkan, mereka pun berhasil "menyelamatkan" Toady dari hidupnya yang sia-sia selama ini. Sebuah bukti bahwa kombinasi persahabatan yang tulus dan kesabaran masih mungkin mengubah cara pandang dan hidup seseorang.

Di sisi lain, ada juga petualangan Molly dan Ratty ketika mencoba menyelamatkan anak Berang-Berang bernama Portly yang hilang dari rumah. Mereka menemukan Portly cilik di pulau kecil indah yang penuh ditumbuhi bunga. Di sini Molly dan Ratty bertemu sesosok makhluk besar bertanduk yang sedang meniup panpipe buluh (sejenis flute) yang disebut sebagai Pelindung Makhluk-Makhluk Kecil. Makhluk ini dalam mitos Yunani merupakan dewa pelindung ternak dan hewan liar. Ada nuansa "surgawi" yang terutama dirasakan Molly ketika berada di pulau ini. Yang menarik adalah percakapan Molly dan Ratty. Molly merasa mendengar sesuatu:

"Hilang!" Tikus Air menghela napas sambil duduk kembali. "Tidak! Ternyata ada lagi!" Ia terkesima dan tidak berbicara cukup lama.
"Aku tidak mendengar apa-apa," ujar Tikus Tanah, "selain embusan angin di pohon dedalu." ~hlm. 71.

Jadi dari situlah judul buku ini berasal: embusan angin di pohon dedalu, the wind in the willows. Aku lalu menghubungkannya dengan sang Pelindung Makhluk-Makhluk Kecil yang melindungi Portly dan membuat si kecil merasa damai. Apakah keberadaan sang dewa ini menggambarkan kehadiran Tuhan di dunia yang merupakan satu-satunya "tempat" yang aman untuk berlindung? Dan angin yang berhembus di pohon dedalu itu menggambarkan sesuatu yang membawa kebahagiaan dan kedamaian? Entahlah...

Hal lain yang menarik adalah setelah pulang dari salah satu petualangan, Tikus Tanah tiba-tiba rindu rumahnya sendiri yang sudah lama terbengkalai, karena si empunya masih terbuai suasana di rumah Tikus Air. Dari sini kita diajak merenungkan bahwa kadang kita memang harus mengambil resiko pergi ke tempat baru, mencoba hal baru. Dengan begitu kita akan tahu di mana "tempat" kita yang sebenarnya. Apakah hidup yang kita jalani sekarang sudah tepat? Apakah kita hanya sekedar jenuh saja?

Empat bintang kuberikan untuk The Wind in the Willows, yang dengan sukses menggabungkan unsur hiburan, persahabatan, petualangan dan nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Bravo juga untuk Kenneth Grahame yang kebetulan hari ini kita rayakan ulang tahunnya yang ke 153 (8 Maret 1859 - 8 Maret 2012). Happy birthday to Mr. Grahame!

Judul: The Wind in the Willows
Penulis: Kenneth Grahame
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penerbit: Mahda Books
Terbit: April 2010
Tebal: 134 hlm

Friday, November 4, 2011

The Sword In The Stone

Nama King Arthur pasti tak asing lagi bagi pecinta kisah klasik. King Arthur adalah seorang raja yang, menurut legenda, memerintah Inggris pada sekitar abad 5 atau 6. Meski kisahnya telah sering kita dengar, namun fakta sejarahnya masih saja diragukan. Belum ada yang membuktikan bahwa ada seorang King Arthur yang pernah hidup, kecuali (menurut buku karya Thomas Malory) sebuah kuburan dengan coretan di atasnya yang berbunyi: “Here lies Arthur, king once, and king to be”. Sudah banyak Arthurian (epic tentang King Arthur) yang telah terbit, namun “Le Morte d’Arthur” karya Thomas Malory-lah yang menjadi sumber bagi T.H. White untuk menulis ulang epic King Arthur dengan gayanya sendiri, yang boleh kita sebut sebagai epic fantasy atau modern epic. Dan inilah seri pertama dari tetralogi The Once and Future King: The Sword in The Stone.

Suatu hari di bulan Juli, pada jaman Inggris kuno, Sir Ector sedang mempertimbangkan untuk mencari guru untuk mengajar kedua anak lelakinya, Kay dan Wart. Yah, sebenarnya putra kandungnya adalah Kay, sedang Wart adalah putra angkatnya. Meski Kay kelak akan menjadi seorang ksatria, sedang Wart hanyalah pengawal, Sir Ector memberikan pendidikan yang sama bagi keduanya. Meski demikian, bahkan dari awal pun sudah terlihat bahwa Wart jauh lebih terampil dan berkarakter lebih baik daipada Kay. Kay cenderung pemarah, manja dan egois, sedang Wart murah hati, penuh kasih, dan memiliki sikap mau berkorban.

Tanpa spoiler pun, anda pasti akan dapat menebak siapa yang kelak akan menjadi King Arthur. Arthur? Ya, memang nama keduanya bukan Arthur. Namun The Sword in The Stone ini adalah kisah awal kehidupan King Arthur hingga menjadi Raja.

Pada suatu hari saat tersesat di hutan, Wart bertemu dengan seorang penyihir bernama Merlyn. Penggambaran Merlyn sama persis seperti yang diilustrasikan tentangnya selama ini: berjanggut putih panjang, berjubah panjang, berkacamata, memakai topi berujung runcing (mengingatkan anda pada Dumbledore di Harry Potter? Yah, mungkin saja beliau cucu buyut Merlyn??). Singkat kata, Merlyn (bersama dengan burung hantunya yang bernama Archimides) akhirnya menetap di rumah Sir Ector untuk menjadi guru bagi kedua anak lelaki Sir Ector, terutama Wart.

Jangan membayangkan pelajaran-pelajaran Merlyn akan seperti kurikulum di Hogwarts, metode Merlyn lebih membumi dan praktis. Biasanya Merlyn menyihir Wart menjadi hewan dan tumbuhan. Awalnya ikan, lalu burung elang, lalu disusul oleh ular dan burung hantu. Saat menjadi ikan, Wart belajar tentang kekuatan dari Raja Parit. Ketika menjadi seekor burung merlin, Wart diajari tentang kekuatan kaki sebagai pijakan oleh teman-teman burung lainnya.

Yang menarik mungkin saat seekor ular mengajari Wart tentang manusia (homo sapiens). Lucu juga rasanya membayangkan seekor ular membicarakan tentang penciptaan dan evolusi makhluk hidup. Atau ketika Wart berada di dunia para burung hantu berkat bantuan Archimides. Bukan lagi tentang burung hantu yang mereka bicarakan, Archimides malah menguliahi Wart tentang penciptaan alam semesta, lengkap dengan penglihatan tentang terciptanya alam semesta!

Selain dari hewan dan tumbuhan, Wart juga belajar banyak tentang strategi penyerangan di hutan ketika bersama Kay ia berjumpa dengan Robin Hood, yang di kisah ini bernama Robin Wood. Asyik juga ketika tokoh-tokoh di kisah Robin Hood, seperti Little John dan Marian turut meramaikan kisah ini.

Lalu pertanyaannya, apa hubungan semua petualangan seru bin lucu yang dialami oleh Wart itu dengan King Arthur? Hal itu akan terjawab di bagian akhir cerita. Seperti di kisah King Arthur oleh Thomas Malory, di mana King Arthur menjadi raja karena ia satu-satunya orang yang mampu menarik sebilah pedang yang terkubur di dalam batu (the sword in the stone), maka begitu pulalah penahbisan si calon raja kita di buku ini, setelah Raja Inggris kala itu—Uther Pendragon mangkat. Yang menjadi pertanyaannya, bagaimana cara ia mencabut pedang itu bila semua yang lain gagal? Di sinilah makna dari semua pengajaran Merlyn akan terungkap.

Saat awal membaca buku ini, aku berpikir ini adalah cara T.H. White memperkenalkan Arthurian kepada anak-anak. Namun ketika aku mengikuti pembicaraan ular dan Archimides yang agak berbau filosofis dan sains, aku jadi agak meragukan bahwa ini adalah cerita anak-anak. Menurutku, T.H. White memang bermaksud membawa pembaca yang belum membaca epic Arthurian sebelumnya, mengenal King Arthur secara lebih pribadi dan manusiawi terlebih dahulu. King Arthur memang digambarkan sebagai raja dan ksatria yang tangguh. Namun apa yang membuatnya demikian? Nah, mungkin buku inilah yang akan menjawab pertanyaan itu sehingga akhirnya King Arthur bukan hanya merupakan mitos yang menghibur, namun sekaligus memberikan pelajaran moral bagi seorang pemimpin atau calon-calon pemimpin masa depan.

Menilik keunikan buku ini, aku berani menganugerahkan empat burung hantu, eh…bintang maksudku, untuk The Sword In The Stone!

Judul: The Sword in The Stone
Penulis: T.H. White
Penerjemah: Rahmawati Rusli
Penerbit: Mahda Books
Terbit: April 2011
Tebal: 282 hlm